Wardana's House
Author POV
Rangga berbaring di atas karpet, terlihat begitu pasrah, sedangkan Kasih duduk di atas dadanya, asik mendandani wajah Rangga.
Kasih baru saja mendapatkan hadiah alat-alat make up khusus anak-anak dari Tante Namira. Dan sejak menerimanya pagi tadi, Kasih langsung mengajak Rangga untuk bermain bersamanya.
"Pejamkan mata Papa," Perintah Kasih.
Rangga dengan pasrah memejamkan matanya, membiarkan Kasih mengoleskan eye shadow, disana, berwarna warni. Karena mengantuk, Rangga akhirnya memilih memejamkan mata dan membiarkan Kasih melukis wajahnya. Disela-sela tidur singkatnya, ia bisa merasakan Kasih mengikat rambutnya dengan karet-karet kecil, bibirnya terasa aneh dan juga tebal karena lipstik, wajahnya pun terasa tebal dan berat.
"Kasih..." Rangga bergumam dengan suara mengantuk. "Sudah?"
"Belum selesai." Ujar Kasih yang masih duduk di dada ayahnya. "Rambut Papa belum di ikat semua."
Rangga kembali memilih tidur sambil menunggu Kasih mengikat rambutnya. Ikatan yang sangat banyak dan kecil-kecil sekali hingga kulit kepala Rangga terasa tertarik. Tapi ia tidak protes sedikitpun.
Begitu selesai, Kasih berlari mengambil ponsel ibunya dan memotret wajah Rangga berkali-kali ia merasa puas.
"Sudah." Kasih memperlihatkan hasil fotonya kepada Rangga yang masih berbaring, pria itu memelotot melihat wajahnya yang tidak berbentuk. Alisnya tebal dan hitam, mata dan pipinya berwarna merah, lalu bibirnya berwarna ungu.
"Mas sudah cocok jadi badut jalanan." Gwen duduk di sofa dan menahan tawa.
Rangga mengangkat sebelah alis, bangkit berdiri dan mendekati istrinya. Ia sengaja menciumi wajah Gwen agar noda lipstik yang dioleskan Kasih ke bibirnya ikut menempel ke wajah Gwen.
"Mas!" Gwen berteriak beberapa kali sambil berusaha menghindari kecupan dari Rangga. Setelah puas menciumi wajah istrinya, Rangga lalu bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Sedangkan Kasih tampak asik membereskan alat-alat make up nya.
Lima menit kemudian, Gwen mendengar Rangga berteriak dari kamar mandi. Wanita itu mendekati suaminya sambil bertanya. Begitu sampai di kamar mandi, Rangga tampak frustasi menatap wajahnya.
"Ada apa?"
"Apa yang digunakan Kasih ke wajahku?" Rangga menunjuk alisnya yang hitam dan lebat, membentuk persegi panjang yang cukup lebar dan penuh.
Gwen mendekat, memeriksanya. Lalu kembali melangkah keluar dari kamar mandi dan Rangga mengikutinya.
"Kasih sayang, kamu tadi kasih apa ke alisnya Papa?" Gwen bertanya lembut.
Kasih yang tengah menggambar mengangkat wajah, lalu mencari-cari sesuatu di dalam box make up nya. Setelah menemukan barang yang ia cari, ia menunjukkannya kepada Gwen.
Spidol permanen berwarna hitam.
Gwen tidak mampu menahan tawa, ia menoleh pada Rangga yang berdiri pasrah di sampingnya. Melihat wajah mengenaskan suaminya, Gwen tertawa semakin keras.
"Besok pagi aku harus meeting di kantor." Ujar Rangga dengan nada yang sangat pasrah sambil berbaring di sofa.
Gwen mendekat, meletakkan kepala Rangga ke atas pangkuannya, ia terus saja tertawa melihat alis suaminya yang menyeramkan.
"Mas seperti Sinchan, hanya saja alis Mas lebih tebal dan lebih penuh."
Rangga berbaring sambil memeriksa foto-foto hasil kerja keras putrinya tadi. Wajahnya benar-benar tidak berbentuk, ia menatap horor pada alisnya.
Gwen terkikik geli, Rangga memelotot, tapi itu hanya membuat Gwen tertawa lebih keras.
Dan keesokan paginya, Rangga memilih untuk tidak berangkat kerja karena alisnya yang aneh dan seram itu. Gwen menertawakannya seharian, setiap kali menatap Rangga, tawa menyembut keluar dari bibir Gwen, dan bukan hanya Gwen, Kasih, Dara dan bahkan Tante Namira juga tertawa setiap kali menatap wajah Rangga yang aneh namun juga lucu. Gwen bahkan tersedak beberapa kali saat makan karena tidak bisa menahan tawa.
Rangga berjanji akan membuang semua spidol permanen jauh-jauh dari rumahnya.
***
Serena melambungkan bola tenisnya. Tinggi. Kemudian dipukulnya bola itu sekuat-kuatnya. Servis yang sempurna. Bola menukik tajam. Memantul hanya sedikit di bibir dalam garis tepi.
Lia tidak berusaha mengejar. Percuma. Dibiarkannya saja bola itu meluncur kencang. Dan langsung dipungut oleh pemungut bola. Lima belas kosong.
"Satu kali lagi servis macam itu, kupatahkan raketmu!" gerutu Lia setengah bergurau. Setengahnya lagi benar-benar jengkel. "Tidak pandang adik semua disikat habis!"
Serena hanya tersenyum tipis. Dan bertekad untuk mengulangi lagi servis mautnya. Kali ini Lia berhasil mengembalikan bola. Tetapi arahnya tidak tepat. Bola bergulir ke luar. Tiga puluh kosong.
"Bukan main permainan Serena sekarang," komentar Ralph dari bangku penonton. Tujuh puluh persen kagum. Tiga puluh persen ngeri.
"Dan tampaknya dia semakin sadis juga," sambung Percy sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Pada kedudukan empat puluh kosong, Lia terjerembap ketika berusaha mengejar bola di depan net. Dan dia membanting raketnya dengan kesal ketika kedua kakinya tidka mau diajak berdiri lagi.
Lagi-lagi Serena hanya tersenyum tipis melihat ulah temannya. Tanpa komentar, dia melangkah ke pinggir lapangan. Meletakkan raketnya di bangku. Dan mengambil handuknya. Disusutnya peluhnya dengan handuk itu.
"Selamat, Ren," cetus Ralph yang tahu-tahu sduah tegak di belakangnya. "Permainanmu maju pesat. Mau main bersama kami? Mixed double."
Serena menggeleng.
"Aku harus pulang," katanya singkat. Tanpa menoleh.
"Buat apa cepat-cepat pulang? Tidak ada yang menunggu di rumah, kan?"
"Besok pagi ada meeting." Serena mengambil botol minumannya. Membukanya tanpa terburu-buru. Dan meneguk isinya. "Aku tidak mau datang terlambat."
"Bagaimana kakimu, Lia?" sapa Percy pada Lia yang sedang mendatangi mereka dengan terpincang-pincang. "Ada sendi yang lepas?"
"Fraktur," gerutu Lia. "Ka Serena memang sadis!"
"Sorry, aku memang terburu-buru."
"Karena itu kamu buru-buru menghabisi aku?"
"Soalnya kamu kalau diberi leher minta kepala."
"Kapan aku pernah minta kepalamu? Aku hanya minta diberi dua. Eh, tau-taunya kamu babat aku enam kosong!"
"Pulang bareng, Ren?" tanya Ralph melihat Serena sudah mengenakan jaketnya.
"Oh, tidak usah. Bawa mobil kok."
"Aku ikut kamu, Ka," sambar Lia cepat-cepat.
"Oke. Tapi tidak ada acara mampir di restoran."
"Kamu juga belum makan, kan? Nah, apa salahnya seporsi bistik? Aku bayar sendiri!"
"Tidak salah kalau pinggangku tidak tambah satu senti."
"Ah, kamu masih langsing! Aku malah khawatir pinggangmu patah tertiup angin saking kecilnya!"
Lia benar. Serena memang ramping. Heran mengapa dia begitu pelit memberi kesenangan pada perutnya. Atau justru itu yang membuat tubuhnya tetap terjaga, ramping menggiurkan?
Lihat saja bagaimana manajer-manajer seperti Ralph dan Percy bersaing memperebutkannya. Tetapi Serena memang terbuat dari batu! Dingin dan beku. Entah lelaki seperti apa yang dicarinya! Benarkah kata orang, dia pernah patah hati karena tunangannya menikah dengan gadis lain?
***
Serena melempar kunci mobilnya ke atas meja. Meletakkan tas kantornya. Dan langsung masuk ke kamar.
Refleks tangannya menyentuh tombol televisi. Meskipun dia tidak berniat menontonnya. Hanya kebiasaan.
Lalu dibukannya pakaian tenisnya. Dilemparkan ke dalam keranjang rotan tempat pakaian kotor di sudut kamar. Kemudian dia melenggang ke kamar mandi. Dibukannya keran shower. Disiramnya tubuhnya dengan air hangat.
Terasa segar sekali. Rasanya seperti tidak mau menyingkir dari sana. Dia memang senang berdiam berlama-lama di bawah pancuran. Membiarkan air jatuh menimpa kepala dan tubuhnya, menyapu dan mengalirkan semua kotoran yang melekat di badannya.
Lalu dia akan mematikan keran air panasnya. Dan air dingin akan menyiram tubuhnya. Membuat dia merasa segar sampai ke setiap pori di kulitnya.
Ketika Serena masuk kembali ke kamar dengan berkerubung handuk, televisi sedang menyiarkan saluran berita. Tampaknya kasus operasi mata. Dan di hadapan mata Serena, tiba-tiba saja muncul wajah wanita itu. Cantik. Lincah. Tapi menjengkelkan.
Suaranya yang manja menggemaskan. Lagaknya yang genit mengundang .... dan Om Rama ... ada yang terasa perih di hati Serena setiap kali mengenangnya.
Sudah enam tahun Serena terpisah dari keluarga Wardana. Hampir tidak ada kabar berita dari Om Rama. Kecuali ketika dia mengabarkan kesembuhan istrinya, Tante Anita.
Ketika istri Om Rama meninggal, Serena tahu Om nya terpaksa menikahi perempuan itu, Anita. Dia merasa bersalah karena menggunakan Rangga selama ini untuk mendapatkan ayahnya. Dan menganggap pernikahan dapat dipakai sebagai alat pembayar hutang. Sungguh bodoh!
Tetapi ketika menerima kabar itu, tak urung hati Serena hancur berkeping-keping. Dia sudah hampir membunuh diri. Hanya satu hal yang menahannya. Dendamnya. Hutang yang belum lunas terbayar
Dan tidak sadar tangan Serena merenggut surat kabar di dekatnya. Di halaman itu ada iklan separuh halaman. Ucapan selamat atas pembukaan sebuah bank baru.
To Be Continued