Bandung
Author POV
Dengan gemetar Hara meletakkan gelas di atas meja di depan tamu ayahnya.
"Kalau mereka saling mencintai, apa salahnya?" sahut Pak Hendra Wardana bersemangat.
Membuat Hara semakin salah tingkah. Membuat dia hampir terhuyung ketika berdiri.
"Jarang ada konglomerat yang punya pendapat seperti Pak Hendra!" sindir Pak Adi sambil tersenyum. "Saya hanya ingin tahu, Pak Hendra sudah pernah dengar gosipnya Dokter Maman?"
"Dokter Maman yang di ujung jalan itu?"
"Dokter muda itu belum lama menikah dengan pasiennya."
"Apa salahnya?"
"Tidak ada. Kecuali mereka tidak sederajat. Istrinya tidak lulus SD."
"Pernikahan kan bukan universitas, Pak! Masa menikah saja perlu ijazah SMA? Apa semua dokter mesti menikah dengan dokter juga?"
"Bukan begitu. Tapi kalau sang istri tidak dapat bergaul dengan sejawatnya, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, apa Dokter Maman tidak malu?"
"Kalau dokter-dokter itu sedang membicarakan operasi jantung, saya juga tidak mengerti, Pak!"
"Tapi saya tidak setuju kalau yang bodoh harus menikah dengan yang bodoh juga! Bagaimana kita dapat memperbaiki keturunan kalau yang bodoh hanya bergaul dengan yang bodoh-bodoh saja dan tetap bodoh seumur hidup?"
***
Belum pernah Hara merasa terharu seperti hari ini.
Belum pernah dia merasa demikian respek pada orang lain.
Ternyata selama ini dia sudah salah duga! Di balik tampangnya yang dingin, di balik sikapnya yang keras, di balik penampilannya yang angkuh, ternyata Pak Hendra menyimpan sebentuk hati yang sangat baik.
Bayangkan, konglomerat terhormat seperti dia, punya pikiran yang demikian luas! Dia tidak merendahkan orang-orang dari kalangan bawah. Dia menganggap mereka sederajat! Setara!
"Ayahmu berjiwa besar, Sultan," bisik Hara ketika malam itu, seperti biasa, Sultan menyelinap ke kamarnya. "Pikirannya luas. Hatinya mulia. Rasanya mulai sekarang kita tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Ayahmu bisa menerimaku seperti apa adanya. Dia pasti menyetujui hubungan kita."
"Kamu tahu seperti apa ayahku!" dengus Sultan muak. "Dia akan mencungkil mataku kalau tahu hubungan kita!"
"Kamu keliru, Sultan. Selama ini kita telah salah menilai ayahmu. Dengar apa pendapatnya tentang orang-orang seperti aku!"
Hara langsung menceritakan pembicaraan Pak Hendra dengan ayahnya.
"Aku ragu," gumam Sultan separo tidak percaya. "Kamu kan tahu, ayahku pintar berakting!"
"Tapi kalau kita tidak mau berterus terang, sampai kapan kita harus main belakang seperti ini, Sultan?"
"Kalau dia hanya pura-pura, hubungan kita selesai, Hara!"
"Daripada begini terus? Sampai kapan, Sultan? Sampai kapan aku harus menyembunyikan semua ini?"
Akhirnya karena didesak terus, Sultan memberanikan diri menghadap ayahnya. Dan menceritakan hubungannya dengan Hara.
Terlepas cerutu itu dari celah-celah bibir Pak Hendra.
"Apa?" Mengguntur suaranya bersama belalakan matanya. "Kamu mau menikah dengan Hara? Sudah gila kamu, ya?"
"Tapi papa bilang semua manusia sama di mata Tuhan, kan?" bantah Sultan sengit. "Hara juga manusia, Pa!"
"Kamu bicara apa? Ngawur!"
"Saya mencintai Hara, Pa! Saya ingin menikah dengan dia!"
"Tidak tahu malu! Siapa yang mengajarimu main gila dengan gadis pemilik wartel itu?" geram Pak Hendra murka.
"Papa!" dengus Sultan kesal. Merasa diperdayai ayahnya sendiri. "Jadi apa artinya kata-kata Papa kemarin? hanya sandiwara?"
"Tentu saja tidak!" sungut Pak Hendra judes. "Papa tidak melarang orang lain menikah dengan kelas bawah seperti Hara! Peduli apa? Itu urusan mereka! Tapi kamu? Anak Papa! Kamu tidak akan memberi malu keluarga dengan menikahinya!"
"Tapi saya tidak malu menikah dengan Hara, Pa!"
"Papa yang malu!" damprat Pak Hendra pedas. "Sekarang jangan bicarakan Hara lagi! Atau Papa pastikan dia tidak hidup lagi!"
Dan malam itu juga, sebelum gelap menyelubungi Bandung, Sultan telah melangkah seorang diri menelusuri kaki lima. Meninggalkan sejuta kepalsuan di belakang tubuhnya.
***
Hara POV
"Kamu harus pulang ke kampung!" itu vonis ayahku enam bulan kemudian. "Pamanmu akan mengantur pernikahanmu dengan Bayu."
"Tidak! bantahku begitu cepat sampai hampir tersedak. "Aku tidak mau menikah! Apalagi sama Ka Bayu!"
"Kamu harus punya suami!"
"Tidak mau! Aku tidak mau punya suami playboy!"
Ayah mendengus gusar.
"Oke! Carilah pria baik hati yang masih mau menikahimu! Gadis yang sudah hamil tiga bulan!"
"Beri aku waktu, Ayah!"
"Sampai kapan? Sampai anakmu lahir? Sudah, jangan banyak tingkah lagi! Kamu harus menikah sebelum aibmu menistai seluruh keluarga kita!"
"Tapi jangan dengan Ka Bayu, Ayah!" protesku lirih. "Dia pelit! Pengecut! Sombong!"
"Kalau Hara tidak mencintai Bayu..."
"Aku bukan hanya tidak mencintainya, Bu! Aku membencinya!"
"Sudahlah kalau Hara tidak mau menikah," abangku coba menengahi perdebatan dalam keluargaku. Dia sengaja pulang dari Surabaya begitu mendengar musibah yang menimpa adiknya. Musibah. Ya, apa lagi namanya mengandung anak haram kalau bukan musibah? "Aku kenal seorang dokter di Surabaya. Dia bisa menolong Hara..."
"Aborsi maksudmu?" potong Ayah dengan suara mengguntur. "Yang mau kaubunuh itu cucu Ayah, Hans!"
"Tidak usah teriak-teriak, Pak," dumal ibu kesal. "Kami kan tidak tuli. Kalau Hara tidak mau menikah dengan Bayu, ya sudah. Kita cari orang lain saja."
"Enak saja Ibu ngomong! Memang mudah cari suami? Apalagi yang kualitasnya seperti si Bayu!"
"Kita tidak bisa sembarangan menyerahkan Hara ke tangan Bayu, Pak. Kalau dia menderita, kan kita juga yang repot!"
"Dia tidak akan menderita di tangan Bayu! Aku tahu sekali orang macam apa dia! Penderitaan datang kalau perempuan bodoh macam anakmu bertemu lelaki terkutuk seperti si Sultan!"
"Tapi Bayu kan belum ditanya mau atau tidak," sela Hans, masih berusaha membela adiknya. "Lagi pula dia baru satu tahun lulus SMA. Belum bisa dikatakan sah untuk menikah."
"Kita bisa menunggu."
***
Selama menunggu pernikahan itu, aku dilarang kembali ke Bandung. Ayah takut aku tidak kembali. Selama itu, aku sengaja tidak mau menemui Ka Bayu. Jadi aku tidak tahu bagaimana reaksinya.
Tetapi walaupun tidak melihat, aku sudah dapat menerka seperti apa wajahnya. Pasti menyiratkan kepuasan yang amat sangat. Matanya yang selalu bersorot dingin itu pasti melemparkan tatapan melecehkan. Dan bibirnya mengguratkan senyum yang menyakitkan.
Kami bertemu pada saat menikah. Dan setelah pernikahan, aku diboyonng ke rumahnya. Masih rumah ayahnya. Di sebelah rumahku.
Kami hanya menempati kamar sempit yang lebih kecil daripada kamarku di Bandung. Baru masuk saja aku sudah merasa tidak betah. Dan berharap semoga anakku cepat lahir supaya aku bisa segera meninggalkan kamar ini.
Di luar dugaan, Ka Bayu tidak pernah mengejekku. Barangkali benar kata abangku, suami yang dibeli sama hinanya dengan istri yang mengandung anak haram.
Dia tidak pernah menyinggung masalah kami, sama seperti dia tidak pernah menyentuh tubuhku. Kami hidup sendiri-sendiri seperti dua orang asing dalam satu atap.
Dan akhirnya, hari pembebasan itu tiba. Anikaku lahir.
To Be Continued