Flashback On
Bandung
Hara POV
Jarum jam dinding yang tergantung di atas pintu menunjuk angka sembilan. Tadi, pagi-pagi sekali aku mengayuh sepeda dengan bersemangat. Memakai celana jins panjang dan kemeja kotak-kotak, rambut dikepang, sandal gunung warna hitam. Aku menempuh jarak sekitar lima sampai tujuh kilo meter untuk sampai di wartel milik ayah. Ayah kembali berpesan untuk tidak pulang terlampau sore. Aku mengiyakan. Padahal di kepalaku terpikir tentang kondisi wartel yang seperti saat ini kurang tepat kalau aku tutup cepat. Tapi tentu ayah tidak akan mengizinkanku buka sampai malam, besok, hari Senin, aku harus sekolaah, itu tetap menjadi prioritas utama baginya.
Apa yang lebih menyenangkan dari minggu pagi berada di wartel? Setelah merapikan kursi-kursi, perangkat telepon berwarna putih, mengelap debu-debu, tak lupa menyapu dan mengepel lantai, kemudian menghempaskan diri di kursi.
Satu dua tiga pelanggaan datang, menelpon, layar kecil memanjang yang menempel pada tembok di atas perangkat telepon menunjukkan angka-angka, tarif telepon, printer berderit. Kebanyakan mereka orang-orang pasar, yang memesan stok barang mereka, atau memastikan beberapa hal pada koleganya.
Saat tak ada pelanggan, aku meraih earphone dari laci, menyambungkan dengan radio kesayanganku. Cuap-cuap penyiar di acara minggu pagi mulai terngiang. Lagu Pemuja Rahasia milik Sheila On7 diputar.
'Ku awali hariku dengan mendoakanmu
Agar kau selalu sehat dan bahagia di sana
Sebelum kau melupakanku lebih jauh
Sebelum kau meninggalkanku lebih jauh
Lagu berakhir, iklan radio terdengar, tangan kananku reflek melepas earphone, mataku tertuju pada buku cream yang menyembul dari ransel yang tergantung di gantungan sebelah kiriku.
"Sudah pernah coba kirim-kirim salam di acara sabtu malam dan minggu pagi? Sesekali cobalah, kamu punya telepon yang bisa kamu pakai kapan saja."
Ada suara mengiang di kepalaku. Tanganku lantas mengambil buku cream dan menimangnya. Ada senyum di bibir, entah untuk apa, sejenak aku mengaburkan tarikan ujung bibir.
Flashback Off
***
Jakarta
Ruby POV
Kita pernah sama-sama diam untuk menenangkan pikiran. Mencoba memahami kesalahan dan pertengkaran yang terjadi. Sekiranya setelah diam, kita dapat berbaik hati, kembali menyapa, dan bercanda lagi.
Nyatanya, setelah berlalu jarak di antara kita justru semakin jauh. Bukan! Ini bukan tentang ruang waktu tapi sikap, di mana kita hanya diam dan terus diam tanpa tanya ataupun sapa. Kita masih bertemu, tetapi frekuensi hati kita sedang berkeliaran entah di mana.
Kamu tahu? Aku sangat ingin menyapamu dengan sepatah kata, "Hai?" Tapi, tak kuasa kulakukan ketika menatap matamu yang seakan mengancamku untuk tidak mengatakan itu. Itu menyedihkan bagiku, tetapi kucoba bertahan sementara waktu.
Sebab aku mengerti bahwa kamu pun harus memiliki waktu tanpa aku. Kamu perlu ruang untuk dirimu sendiri, keluarga, teman dan kegemaranmu. Silahkan saja! Aku perbolehkan semua itu untuk beberapa waktu. Tapi biarkan aku menyapamu, setidaknya usahaku membuatmu merasa kamu tetap milikku sedikit berhasil. Meski, perjuanngan membuktikan bahwa itu sangatlah sulit.
***
Bandung
Anika POV
Aku merebahkan diri di kasur. Perjalanan ke Bandung yang terburu-buru ternyata begitu melelahkan. Sekarang pukul sembilan malam waktu setempat.
Aku beranjak menuju balkon kamar. Rumah Nenek berlantai dua dan aku paling suka berada di kamar atas karena bisa memandang lanskap Bandung dari sana.
Aku menatap langit. Dulu aku selalu pulang jam segitu saat tengah sibuk-sibuknya membalas dendam pada keluarga Hilmar.
Pada waktu seperti itu aku pasti sedang berada di mobil seseorang, yang rajin mengantar-jemputku.
Rencana kepindahanku ke Bandung belum sepenuhnya aku terima. Om Sultan mengusulkan agar aku fokus ke pendidikan sehingga punya modal untuk memimpin perusahaan bersamanya. Cepat atau lambat, perusahaan akan melebarkan bisnisnya ke luar negeri sehingga otomatis kesibukan Om Sultan akan melebihi sekarang.
Namun aku masih meminta waktu untuk mempertimbangkannya, tak ingin terburu-buru memutuskan agar tak menyesal nanti.
"Semua sudah selesai. Kini waktunya kamu fokus ke pendidikan," ujar Om Sultan di telepon, sekaligus memintanya untuk mengurusi kepindahan ke Bandung jika aku mau. Tapi aku masih bimbang.
Aku menikmati langit yang penuh bintang. Beda dengan angkasa Jakarta yang jarang bertabur bintang.
"Belum tidur? Besok harus menemani Mama terapi," tanya Nenek yang berada di kamarku.
Aku menggeleng pelan, masih pendiam, seperti sifatku beberapa tahun itu.
Aku memeluk Nenek penuh kehangatan. "Semua sudah selesai, Nek. Aku bahagia sekarang," ucapku pelan.
Nenek mengusap rambutku dengan lembut. "Mamamu sudah sadarkan diri dari tidur panjangnya. Apa rencanamu ke depan?"
Aku melepas pelukan Nenek, menatap langit. "Aku mau Mama bener-bener sembuh dulu."
Nenek mengusap lenganku. Udara di sini lebih dingin dibandingkan Jakarta, dan aku merasa cocok tinggal di sini.
"Tadi Sultan telepon. Katanya kamu mau dipindahin ke sini. Masuk kampus biasa."
Aku mengangguk pelan. Aku yakin ada hal lain yang membuat Om Sultan memaksaku segera pindah. Mungkin dia ingin aku melupakan sakitnya saat kuliah di Jakarta, berkesempatan menata hatiku.
Menata hati?
Hatiku sudah runtuh. Aku tak punya pertahanan hati lagi.
Aku menutup mata, bimbang. Aku tak ingin meninggalkan teman-temanku di Jakarta. Namun, aku ingin melupakan Satya dan segala kenangan yang bersangkutan dengannya. Hidupku harus diperbarui.
"Kamu sudah memutuskan?"
Aku menggeleng pelan.
"Ada yang membuatmu ragu untuk pindah?" tanya Nenek mendesak. Benar. Ada yang membuatku harus bertahan di sana. Ada yang menarikku untuk kembali ke Jakarta.
Aku bimbang. Aku ingin melihat Satya sekali lagi sebelum memutuskan pilihan. "Baru kali ini aku merasa sulit memutuskan sesuatu, Nek," lirihku.
Nenek menatap langit. "Cucu Nenek sudah besar. Sudah harus bisa memutuskan sesuatu," ujar Nenek tersenyum.
Aku merasa kata-kata Nenek membuatku menyadari sesuatu.
"Kamu tidak ingin kehilangan teman-teman di sana, kan?"
Aku mengangguk pelan. Bukan hanya itu, Satya menyatakan perasaannya dan aku mengabaikannya, itu yang membuatku bimbang. Atau mulai menyesal?
Satya menyayangiku dan aku pun menyayanginya. Masih adakah hal lain yang dapat menghalangi cinta mereka?
"Di dalam hidup, kamu harus berani melepas sesuatu kalau ingin menerima yang baru," ujar Nenek, semakin membuatku bimbang.
Aku menggeleng. "Bukan itu, Nek."
Nenek tersenyum sambil terus membelai kepalaku. "Kamu tahu yang terbaik untuk dirimu, nak. Nenek dan Mama selalu mendukungmu."
Aku terdiam. Aku merasa menemukan sesuatu. Aku bisa memutuskan. Semoga saja itu pilihan terbaik.
To Be Continued