Wardana's House
"Bagaimana keadaan istriku, Bi?" Saat pulang, hal pertama yang Rangga tanyakan adalah keadaan Gwen. Dan apa Rangga suda mengatakan ia suka sekali memanggil Gwen dengan sebutan istri?
"Nyonya muda sudah lebih baik, Tuan muda."
"Di mana dia?"
"Kamar."
Rangga langsung melangkah menuju kamar Gwen, ia membawa sebuket bunga Daisy. Ruby bilang bunga ini sangat cocok untuk Gwen.
Dan juga sebuah nocel klasik yang baru ia beli secara online, Emma karya Jane Austen. Mungkin Gwen sudah sering membaca novel ini dan Rangga sudah bingung ingin membelikan novel yang mana lagi untuk Gwen.
Rangga mengetuk pintu kamar Gwen dengan pelan. "Gwen? Ini aku. Bisa buka pintunya sebentar?"
Hanya butuh waktu beberapa menit dan pintu terbuka. Gwen berdiri dalam balutan piyama, berdiri sedikit menjaga jarak dari Rangga.
Hati Rangga terasa tergores benda tajam melihat istrinya yang kembali menjaga jarak.
"Sudah mau tidur?"
Gwen terlihat begitu menggemaskan dalam piyamanya.
"Belum, aku hanya ingin memakai ini saja. Mas baru pulang?"
"Ya, ini untukmu." Rangga menyerahkan bunga dan novel itu ke tangan Gwen.
"Terima kasih." Gwen menerimanya sambil tersenyum lebar. "Emma?"
"Ya, kupikir kamu akan suka."
"Aku sudah sering membacanya. Tapi terima kasih."
Gwen membuka halaman pertama dan melihat sebuah kertas terselip disana, persis seperti beberapa bulan lalu, hanya saja kali ini Rangga tidak meninggalkannya di depan pintu kamar, melainkan menyerahkannya secara langsung.
Aku merindukanmu
Hanya itu yang tertulis. Wajah Gwen seketika merona saat membacanya. Ia mengangkat wajah dan menatap Rangga yang juga tengah tersenyum.
"Aku merindukanmu." Rangga mengulang kalimat yang tertulis disana secara langsung. Dengan suaranya yang dalam dan lembut.
Jantung Gwen berdebar kencang, wajahnya memerah dan senyum merekah dengan sempurna di wajahnya.
"Aku juga merindukan Mas." Ujarnya malu-malu.
Rangga bersumpah ia mampu melompat-lompat bahagia karena kalimat itu. Tapi sekuat tenaga menahannya.
"Apa aku boleh memelukmu sebentar saja?" Rangga bertanya penuh harap.
Gwen terdiam. Menatap Rangga dengan tatapan ragu dan tanpa sadar mundur selangkah. Rangga masih berusaha menjaga agar senyum tidak luntur dari wajahnya. Rasa bahagianya beberapa detik lalu seakan menghilang begitu saja, digantukan oleh perasaan kecewa. Namun itu bukan salah Gwen.
"Tidak apa-apa. Aku senang melihatmu baik-baik saja. Aku akan mandi dulu. "Rangga memutar tubuh hendak melangkah pergi. Tapi tangan Gwen menahan tangannya, wanita itu menariknya dan memeluknya beberapa detik.
Rangga tidak mampu merespon saking tidak percayanya. Hanya sekian detik tangan Gwen melingkari pinggangnya, lalu wanita itu buru-buru masuk ke dalam kamar dan menutupnya.
Tapi sekian detik itu sudah mampu memutar balikkan seluruh dunia Rangga.
Saat Rangga memutar tubuh, ia menatap Satya, Lucas dan Dara yang berpura-pura sibuk di dapur, mereka tertangkap basah sedang mengintip. Rangga tersenyum konyol. Dasar keluarga yang kepo.
***
"Bagaimana kalau menonton film?" Ujar Rangga buru-buru setelah makan malam ketika Gwen kembali ke kamarnya. "Aku kesepian sendirian disini."
"Film."
"Ya. Aku juga bisa membuat popcorn kalau kamu mau."
Gwen tersenyum, Rangga selalu berusaha keras mendekatinya. Ia merasa sedikit bersalah sudah menjaga jarak dengan pria itu selama berhari-hari. Pria itu juga tidak pernah lupa membelikannya bunga setiap pulang kuliah.
"Baiklah. Tapi aku yang memilihnya."
"Tentu saja." Rangga tersenyum lebar, mengikuti langkah Gwen menuju ruang TV. "Kamu mau kubuatkan popcorn?"
Gwen tertawa pelan. "Kalau Mas tidak keberatan, aku akan menunggu disini."
"Tentu saja. Jangan kemana-mana." Rangga membalikkan tubuh, hendak kembali ke dapur. "Manis atau asin?" ia membalikkan tubuh menatap Gwen.
"Manis."
"Oke, tunggu."
Gwen tertawa melihat Rangga yang tergesa-gesa kembali ke dapur. Pria itu sebenarnya bisa saja menyuruh Bi Yuni atau Nina, tapi Gwen sangat menghargai usaha yang Rangga lakukan. Pria itu berusaha keras melakukan semua hal untuk Gwen tanpa bantuan siapapun.
Dan bagi Gwen hal itu sangat... romantis? Bisa ia bilang begitu?
Lima belas menit kemudian Rangga datang dengan semangkuk besar popcorn dan dua gelas besar jus jeruk. Sedangkan Gwen sudah memilih film yang ia inginkan di Netflix.
"Aku ingin film ini."
"Pride dan Prejudice? tidak cukup puas membaca novelnya saja?" Ujar Rangga bercanda.
"Mas tidak suka?" Gwen bertanya dengan nada murung.
"Apapun pilihanmu, aku akan menyukainya. Baiklah, mari kita nonton." Rangga duduk di samping Gwen, masih ada sedikit jarak, tangan Rangga gatal sekali ingin merengkuh wanita itu ke dalam pelukannya, tapi ia tidak bisa memaksa.
"Jangan tertidur selagi filmnya di putar ya."
Rangga tertawa pelan. "Iya, tenang saja. Kalau perlu ku lem kelopak mataku agar tetap terbuka."
Gwen terkikik geli mendengarkan dan meraih bantal untuk dipeluk. Hanya butuh waktu singkat, Gwen sudah terlarut dalam film yang di tontonnya.
Sedangkan Rangga lebih tertarik menatap setiap ekspresi yang Gwen tampilkan ketika menonton film. Kadang wanita itu akan tersenyum lucu, kadang terlihat sebal, kadang tersenyum manis.
Gwen adalah tipe wanita yang lembut dan penyayang sekaligus mandiri. Ia mudah tersentuh, mudah terharu oleh hal-hal kecil, namun juga mudah terluka. Tidak mudah marah atas sesuatu yang membuatnya kesal, tapi juga sulit melupakan hal yang pahit di dalam hidupnya.
Dia memang bukan wanita sempurna. Tapi menurut Rangga, Gwen begitu sempurna untuk hidupnya. Sifatnya yang peyayang, yang menyukai hal-hal romantis dan juga manis. Tapi sangat suka berdebat dan sering salah menyimpulkan sesuatu.
Dan tentu saja mudah terharu. Kini saja ia sudah menangis karena film.
Rangga memberikan tisu pada Gwen yang kini sesugukan.
"Jangan tertawakan aku." Ujar Gwen sambil menatap Rangga dengan bibir mencebik.
"Tidak, aku tidak tertawa. "Rangga menggigit bibirnya untuk menahan tawa.
"Kan, kubilang jangan tertawakan aku." Gwen mencebik kesal.
"Tidak, sayang. Aku tidak tertawa." -Tapi Rangga terbahak-bahak di tempatnya.
"Mas!" Gwen melempar Rangga dengan tisu bekas airmata dan ingusnya.
Tawa Rangga membahana, sungguh wajah Gwen terlihat lucu dan menggemaskan di mata.
"Aku bilang jangan tertawa!" Gwen memukul bahu Rangga berulang kali.
"Maaf, maaf." Ujar Rangga di sela-sela tawanya.
"Mas! Aku kembali ke kamar yaa!" Ancam Gwen hendak berdiri, Rangga segera menarik tangan wanita itu untuk kembali duduk. Pria itu tidak sengaja menarik sedikit kencang hingga Gwen kini terduduk tepat di sampingnya.
Rangga tersenyum. "Jangan pergi, ayo kita nonton film sampai pagi." Rangga melingkari pinggang Gwen dengan sebelah tangannya. "Dan izinkan aku memelukmu seperti ini."
Gwen menelan ludah susah payah begitu merasakan Rangga menarik tubuhnya ke dada pria itu, lalu memeluk perutnya erat-erat. Napas Gwen mulai terengah saat sedikit rasa takut atas sentuhan itu mengusiknya. Ia buru-buru memejamkan mata dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia akan baik-baik saja. Rangga tidak akan menyakitinya.
Gwen butuh beberapa menit untuk rileks dalam pelukan Rangga. Dan menit-menit penantian itu adalah penantian terpanjang bagi Rangga saat merasakan tubuh Gwen membeku beberapa lama lalu berubah santai di dadanya.
Pria itu tidak bisa menyembunyikan desahan leganya. Ia mendekatkan wajahnya ke puncak kepala Gwen dan mengecupnya lama sambil memejamkan mata. Memeluk Gwen kian erat sambil berdoa agar jangan biarkan wanita dalam pelukannya ini lepas dari hidupnya. Ia benar-benar menginginkan wanita ini di sampingnya untuk selamanya.
Film selanjutnya yang mereka tonton adalah Emma juga dari karya Jane Austen. Sepertinya Gwen mencintai karya-karya dari Jane Austen.
Wanita itu benar-benar terlarut dalam filmnya. Ia bergelung di dalam pelukan Rangga sambil menghabiskan popcorn yang masih banyak tersisa.
Sedangkan Rangga sendiri tidak pernah menonton film romantis seperti ini sebelumnya. Kalaupun ia memiliki waktu untuk menonton film, tentu film action yang dipilihnya. Tapi sepertinya jiwa Gwen terlalu lembut hingga wanita itu tidak terlalu suka adegan kekerasan yang di tampilkan di film. Gwen lebih suka film dengan alur yang lembut dan menghanyutkan.
Wanita itu kembali sesugukan di pelukan Rangga dan tanpa sadar membasahi kaus Rangga dengan airmatanya.
"Cengeng." Bisik Rangga di telinganya.
"Sedih." isak Gwen sambil menghapus airmatanya. "Aku sudah lima kali menontonnya dan tetap menangis setiap kali melihat adegan ini." merujuk pada adegan tokoh utama wanita yang bimbang dengan pilihannya. Salah satu pria adalah pria yang dicintainya, dan satu lagi adalah pria yang diharapkan orang tuanya untuk menjadi pendampingnya.
"Aku pikir kamu menonton ini hanya karena ingin melihat pemeran utama prianya topless."
"Salah satunya." Gwen terkikik geli. "Badannya bagus."
Rangga mendelik. "Badanku lebih bagus."
"Oh ya?" Gwen menatap Rangga sambil tertawa. "Aktor itu lebih tampan."
"Sekarang dia sudah tua dan keriput. Aku jauh lebih tampan."
Gwen kembali tertawa. Ia kembali merebahkan kepalanya di dada Rangga. Rangga memainkan jari Gwen dengan tangannya, memainkan cincin yang melingkari tangan kanan wanita itu. Rangga mendekap Gwen lebih erat dan membiarkan pipinya berada di puncak kepala wanita itu.
"Apa menurut Mas bahagia selama-lamanya itu benar ada?"
"Kenapa bertanya seperti itu?" Gumam Rangga di rambut Gwen yang harum.
"Sepertinya itu mustahil dan hanya ada di novel saja."
Rangga meraih pipi Gwen dan membuat wanita itu menatapnya. "Hiduplah bersamaku selamanya, akan kubuktikan bahwa bahagia selama-lamanya itu bukan hanya di novel saja."
"Mas mencoba merayuku?" Gwen tersenyum.
"Aku berusaha." Rangga mengakuinya.
Gwen tersenyum lebih lebar. "Berusahalah lebih keras." Ujar wanita itu menampilkan giginya yang rapi.
Rangga tidak mampu lagi menahan dirinya, ia menunduk dan mengecup bibir Gwen. Awalnya Gwen hanya terdiam membeku. Dan Rangga menarik sedikit wajahnya.
"Aku ingin menciummu." bisik Rangga serak menatap lekat kedua mata Gwen yang sangat dekat dengannya.
Gwen membalas tatapannya dan terlarut dalam tatapan Rangga yang membutakan.
"I-Iya." bisik wanita itu serak.
Hanya sedikit dorongan yang Rangga butuhkan untuk mengecup bibir Gwen dengan lembut, kedua matanya terpejam dan bibirnya membelai dengan perlahan, membuat Gwen ikut memejamkan mata dan membiarkan bibir Rangga menciumnya.
To Be Continued