Namanya Renjun, Dia yang memberikan warna kebahagiaan di kehidupan keluarganya, Menjadi sosok penyemangat di kehidupan teman-temannya dan menjadi sosok adik berharga bagi kakaknya. Lalu bagaimana kalau pada akhirnya Dunia ingin merebutnya kembali saat itu? Apakah ia harus berpijak di Bumi ini, atau ia memutuskan menghilang dalam keabadian?
Winwin dan Renjun tampak tengah duduk di dalam terowongan dengan beralaskan kardus bekas dan koran sebagai selimut yang digunakan supaya terhindar dari gigitan nyamuk dan udara malam yang terasa menusuk tulang. Walaupun sebenarnya udara malam itu tidak terasa dingin karena sebuah api dari keranjang sampah yang sengaja dibakar oleh pemulung lain untuk menghangatkan tubuh mereka. Memang disana bukan hanya Winwin dan Renjun saja yang tidur, tetapi terowongan gelap itu juga ditinggali oleh beberapa gelandang dan pemulung yang memang sudah tak memiliki tempat tinggal lagi. Kalau dipikir-pikir rasanya aroma bau yang tercium disana berbaur menjadi satu, aroma menyengat yang membuat siapapun yang tak terbiasa akan muntah. Awalnya kedua remaja itu juga hampir berkali-kali merasa mual, terutama Renjun yang tak biasa berada dilingkungan seperti itu. Akan tega, sering berjalannya waktu indera penciumannya sudah mulai beradaptasi ditambah lagi aroma ditubuhnya juga sudah mulai mendukung untuknya berada disana.
"Minum obatmu sekarang!" perintah Winwin seperti biasanya, ia sama sekali tak melewatkan sedikitpun waktu untuk mengingatkan Renjun buat mengkonsumsi obatnya. Rasanya Winwin sudah seperti alarm sekaligus perawat pribadi Renjun saja, sifatnya ini sangat berbeda dengan Winwin yang pertamakali kita kenal saat itu.
Renjun hanya mengangguk sambil meneguk obat yang barusan diberikan Winwin, ia juga tak keberatan sama sekali mengkonsumsi obat tersebut meskipun ia tahu kalau obat itu rasanya sangat pahit.
"Jadi, Apa yang bakal kita lakukan besok?" tanya Renjun seusia meneguk semua obatnya.
"Aku akan mencari pekerjaan lain deh besok, kau tahukan kalau aku harus mengumpulkan banyak uang untuk kita." Winwin menyimpan kembali bungkusan obatnya Renjun kedalam kantong jaketnya.
"Memangnya Hyung mau merencanakan apa dengan uang itu?" tanya Renjun yang mulai berbaring disebelah Winwin yang masih tetap terduduk.
"Aku baru dapat ide sih untuk menyewa wahana bermain untuk kita saja seharian penuh, jadi kita gak perlu lagi merasa terganggu dengan kritik orang dan jeritan anak-anak yang menganggap wajahku jelek. Jadi, bagaimana menurutmu?" tanya Winwin.
"Aku setuju, menurutku idenya Hyung itu luar biasa. Tapi, pekerjaan apa yang bisa dilakukan Hyung saat ini tanpa harus ketahuan oleh Mami? Hyung kan tahu kalau gak menutup kemungkinan kita bakal berjumpa dengan mereka meskipun kota ini sangat besar, tapi kalau gak hati-hati nanti malah ketemu sama Mami. Bahkan berita pencarianku aja udah beredar di sosial media," jelas Renjun yang menggambarkan seluruh kekhawatirannya.
Tapi Winwin sama sekali tak terpengaruh oleh perkataan Renjun barusan, ia malah tersenyum tenang sambil memperbaiki koran yang menyelimuti adiknya.
"Kau tidak usah khawatir, udah sekarang lebih baik kau tidur saja!" perintah Winwin, sebelum akhirnya ia bangkit dari sana menuju mulut terowongan seperti tengah menelepon seseorang.
Dan sebelum Renjun benar-benar tertidur, ia bisa jelas mendengarkan Winwin yang menyebut nama temannya dengan posisi telepon yang sudah berada di telinga.
Jelas saja Renjun langsung menyadari kalau Winwin sedang menghubungi Lukas saat itu, bisa jadi pada akhirnya Winwin kemnali menghubungi teman-temannya yang telah lama putus komunikasi dengannya selama beberapa bulan belakangan ini. Dan tentunya Renjun tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya, ia memang menginginkan kebersamaan dengan Winwin tapi bukan berarti ia harus menjauhi Winwin dari teman-temannya. Lagipula, bila memang Winwin telah memutuskan untuk kembali menghubungi teman-temannya berarti sama saja kepercayaan diri Winwin mulai kembali dan ia tak perlu cemas setiapkali melihat Winwin bersembunyi dari tatapan semua orang kepada dirinya.
****
Tak sampai beberapa jam tertidur pulas, Winwin terpaksa bangun dari tidurnya saat Mendengarkan suara Renjun yang tak berhenti mengigau dalam keadaan masih terlelap, sayangnya bukan hal itu yang membuat Winwin menjadi khawatir tetapi keadaan Renjun yang tampak pucat dengan darah yang menetes dari hidungnya sampai mengotori kardus yang mereka tiduri. Bahkan leher Renjun juga mulai terlihat ruam merah yang pastinya terasa gatal sampai membuat Remaja itu berkali-kali menggaruk lehernya. Ia memang tidak membuka matanya saat ini, entah karena ia terlalu mengantuk atau memang ia tak lagi sanggup membuka kedua matanya karena kondisi fisiknya yang mulai lemas dan kepalanya yang terasa sakit.
Kondisi Renjun yang mulai memburuk ini pastilah membuat Winwin panik tujuh keliling, ia langsung menghubungi Suster wanita yang menjual-belikan obat padanya untuk menanyakan perihal kesehatan Renjun sebab setahu dia kalau dirinya sudah tepat waktu memberikan obat pada Renjun.
"Mbak Vira, saya udah memberikan obat kepada Renjun seusai dosis yang udah mbak buat. Tapi kenapa penyakit adik saya malah kambuh sekarang?" tanya Winwin seraya mengusap mimisan dari hidung Renjun menggunakan koran.
Ternyata suster bernama Vira itu sama sekali tak terlihat kaget, ia malahan tersenyum licik dari seberang telepon sambil berdehem cukup lama.
"Wajar dong, dek. Itukan obat murah yang masih baru uji klinis tahap awal jadi kasiatnya belum tentu berpengaruh sama sekali dengan keadaan adikmu atau bisa saja malah memperparah keadaannya adikmu. Lagian kondisi adikmu yang udah stadium akhir itu harusnya segera dilakukan operasi ataupun kemoterapi, pokoknya dibawa ke rumah sakit spesial kanker deh kalau memang mau diberikan penangan yang tepat. Kalau pakai obat dari saya, jangan berharap terlalu banyak kamunya." Vira tampak tak suka mendapatkan telepon keluhan dari Winwin.
"Jadi, apa yang harusnya saya lakukan sekarang?" tanya Winwin yang masih berusaha menahan emosinya.
"Kasih saja obat sirup yang ada didalam plastik itu buat meredakan nyerinya dan menghentikan mimisannya, terus buat obat yang baru tadi dibuang aja kalau memang gak cocok dan mulai besok kasih obat yang biasanya dikonsumsi aja untuk beberapa Minggu ini. Tapi kalau memang kamu maunya adikmu dapat penanganan yang bagus, kamu langsung bawa aja kerumah sakit sekarang supaya ampuh. Pokoknya itu aja deh saran dari saya, saya juga gak mau dengar keluhan ataupun tuntutan ganti rugi soal obat baru itu. Selamat malam," ucap Vira panjang lebar tanpa sekalipun meminta maaf, padahal Winwin sama sekali tidak kepikiran untuk meminta ganti rugi padanya karena ia juga sudah tahu konsekuensi yang terjadi pada adiknya itu.
Namun sikap acuh Vira itulah yang elas saja membuat Winwin bertambah kesal dan tak mampu lagi menahan amarahnya.
"Anda ini benar-benar menyebalkan ya! Pokoknya kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada adikku, kupastikan hidupmu gak bakal tenang! Sudah pernahkan kubilang padamu kalau aku rela dipenjara supaya kau juga ditangkap atas tuduhan penjualan obat secara ilegal, jadi kau harusnya hati-hati saat berbisnis denganku!" ancam Winwin yang langsung mematikan teleponnya.
Dengan hati-hati juga, ia buru-buru menegukkan obat sirup itu kepada Renjun. Lalu setelah itu ia langsung membangunkan salah seorang lelaki tua gelandangan yang tertidur tak beberapa jauh dari posisinya.
"Boleh bantu saya, Pak?" tanya Winwin.
"Bantu apa ya?" tanya pria gelandangan itu dengan mata yang masih sayu.
"Bantu angkat adik saya di bahu saya, Pak. Soalnya saya kesulitan buat menggendong dia, " jawab Winwin yang untung saja mau dibantu oleh lelaki tua itu.
Dan begitu Ia berdiri dengan posisi menggendong Renjun dibelakangnya, barulah ia tak lupa mengucapkan terimakasih kepada sang gelandangan sambil memberikan sisa nasi bungkus yang harusnya disimpan untuk besok pagi tapi terpaksa ia berikan sebagai hadiah kepada sang bapak tua.
"Makasih ya Pak, ini ada sedikit rezeki buat bapak!" pungkas Winwin.
"Makasih ya, nak. Semoga adik kamu cepat sembuh ya." ucap Pria itu yang tampak riang mendapatkan rezeki sesuap nasi dari Winwin, apalagi memang dirinya belum makan nasi seharian ini.
"Saya pamit dulu ya, Pak." Winwin langsung berlari tergesa-gesa melangkahkan kakinya meninggalkan terowongan itu, niatnya ia ingin berlari kearah salah satu Rumah Sakit terdekat yang ada di daerah tersebut. Masalah biaya nanti sajalah yang dipikirkannya, tapi yang jelas kesehatan Renjun jauh lebih penting dari apapun.
"Kau harus bertahan, Njun!" pinta Winwin yang masih terus berlari seperti tengah dikejar waktu. Awalnya ia masih mendengar jelas hembusan nafas Renjun yang masih terasa di lehernya, tetapi semakin lama ia bergelut dengan langkah kakinya yang mulai terasa pegal, maka semakin terasa pula hembusan nafas adiknya itu mulai melemah seperti orang yang benar-benar akan sekarat, ditambah lagi bibirnya yang mulai berhenti mengigau seolah-olah ia mulai kehilangan kesadarannya secara penuh.
"Kau harus bangun, Njun! Sebentar lagi kita akan sampai ke Rumah Sakit, tolong jangan buatku khawatir." Winwin tak berhenti bergumam kepada tubuh Renjun yang telah kehilangan kesadarannya itu. Entah saat ini Renjun bisa mendengarkannya atau tidak sama sekali, tapi yang jelas Winwin tak berniat untuk berhenti menyerah sampai detik ini dan terus berlari kencang meskipun kakinya mulai memerah tertendang batu kerikil beberapa kali ditambah lagi tubuhnya mulai merasa kedinginan akibat angin malam.
Dengan tenaga yang hampir menipis, ia berusaha sekuat tenaga menggendong Renjun malam itu di bawah dinginnya malam yang menusuk kulit. Dan pikirannya juga sudah mulai kelihatan pasrah, bahkan ia berencana untuk menyerahkan diri kepada Wendy seusai meninggalkan Renjun ke salah satu rumah sakit terdekat dengan pemikiran kalau Renjun akan mendapatkan perawatan yang layak ditangan Wendy, meskipun nantinya ia pasti sudah sangat hafal kalau kali ini Wendy takkan mau lagi melepaskan Renjun dan akan membawa Renjun jauh ke luar kota yang membuat ia akan terpisah selama-lamanya dari sang adik seperti sebelumnya.
Tapi sialnya sebelum sempat rencana itu terealisasikan, mendadak saja Winwin menghentikan langkahnya tatkala saat mendengarkan suara lirih Renjun yang memanggilnya. Entah mengapa malam ini Winwin sangat beruntung untuk tidak kehilangan Renjun sekali lagi, seolah-olah sang takdir benar-benar berbaik hati kepadanya dan berencana untuk membantu Winwin agar tidak terpisah lagi dengan Renjun.
Entah bagaimana caranya untuk kita bisa memahami cara kerja Dunia ini. Namun yang jelas apa yang saat ini terjadi pada Winwin seolah tengah memberitahunya bahwa ia adalah salah satu dari berjuta orang yang beruntung karena telah diberikan kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu bersama dengan orang yang sayanginya itu. Entah bagaimana Renjun yang sejak tadi sudah hampir kehilangan kesadaran berhasil kembali menemukan kesadarannya dalam gendongan Kakak laki-lakinya sendiri, sehingga Winwin juga tak perlu repot-repot melepaskan Renjun sekali lagi kepada Wendy untuk membiarkan adiknya itu terkurung dalam Rumah Sakit yang terasa sesak dengan aroma obat-obatan yang membuat siapapun akan terasa pengar.
"Hyung," panggil Renjun lagi yang mulai membuka matanya sambil tetap bersandar dibahu Winwin.
Winwin mulai merasa lega saat ini, ia juga telah memperlambat langkahnya beberapa detik yang lalu dan tak mampu lagi menyembunyikan senyuman syukurnya saat ini.
"Aku sudah bangun lagi, Kau tidak menangiskan Hyung?" tanya Renjun dengan suara yang masih lemas.
"Aku hampir menangis karenamu, lain kali aku akan memukulmu kalau kau seenaknya pergi seperti tadi!" ancam Winwin yang membuat Renjun tertawa kecil seperti menganggap kemarahan Winwin hanya sebuah lelucon jenaka baginya.
"Hyung gak perlu lagi khawatir ataupun menangis karenaku, aku janji gak bakal lagi pergi kemana-mana kok. Aku janji gak bakal pernah ninggalin Hyung lagi," ucapnya yang membuat Winwin merasa tersentuh jauh dari dalam lubuk hatinya paling dalam, tetapi perasaan tersentuh itu langsung segera disanggahnya karena ia memang tak terlalu suka berterus-terang mengenai perasaannya kepada orang lain.
"Aku pegang janjimu," ucap Winwin yang masih tetap menggendong Renjun, tapi kali ini ia sengaja tidak kembali ke terowongan melainkan terus berjalan lurus kedepan tanpa tahu arah ataupun tujuan sama sekali.
"Hyung, Aku rindu dengan teman-temanku. Aku rindu dengan keusilan Heechan, sikap jaga image Jeno dan kepolosan Chenle, Aku juga rindu perhatian Mark dan Curhatan Jaemin serta sepupu Jaemin yang bernama jisung itu. Aku rindu dengan mereka semua, bagaimana denganmu?" tanya Renjun.
Winwin mengangguk, "Aku juga sepertinya."
"Kalau gitu, bagaimana kalau besok kita bertemu mereka saja? Aku ingat kalau besok pembagian rapot semester ganjil, aku ingin memberikan semangat pada mereka. Kau maukan, Hyung?" tanya Renjun lagi yang terlihat antusias.
Winwin sendiri yang tadinya berencana untuk mencari pekerjaan terpaksa mengabulkan keinginan Renjun, ia tidak tega juga menolak keinginan Renjun yang tampak sangat antusias itu ditambah lagi memang sih rencananya Winwin ingin bertemu dengan Lukas untuk membicarakan pekerjaan dengannya jadi tak ada salahnya berjumpa dengan teman-temannya yang lain.
"Baiklah, aku akan mengabulkan keinginanmu itu."
"Terimakasih, Hyung. " Renjun tak berhenti tersenyum, ia mulai kembali terlelap didalam kehangatan bahu Winwin sambil tak berhenti bergumam tentang kekagumannya terhadap keindahan bintang malam itu.
Sementara itu Winwin masih terus menggendong Renjun menyusuri jalan raya yang mulai sepi. Sepertinya ia berencana membawa Renjun menuju salah satu tempat yang bisa ditiduri dan pastinya tempat itu haruslah berada didekat sekolah untuk mengabulkan keinginan Renjun barusan.
****
Wah, apa yang sebenarnya terjadi?