■
Ⅴ
■
21 Januari 2017
Mata yang baru terbuka ini pada umumnya akan melihat langit- langit kamar apartemen, tapi sudah beberapa bulan ini mataku melihat hal yang berbeda ketika baru terbangun.
"Selamat pagi, Kak."
Wanita ini adalah Miyu, sekarang mungkin dia akan menggantikan keberadaan Yuukaru yang sedang pergi entah ke mana. Yang kumaksud melihat hal berbeda tadi adalah ... sekarang pagiku selalu disuguhkan pemandangan Miyu yang duduk di atas perut ini.
"Jangan ganggu aku bocah!! Pergi dari atas tubuhku, kenapa kau mesum sekali? Maaf saja aku hanya cinta pada adik tiriku saja."
"Bukankah kau yang mengajariku untuk tidak terintimidasi?"
"Bukan!? Aku hanya menyuruh kau bersikap seperti Yuukaru, bukan menjadi mesum, bodoh!?"
Alasan aku menyuruhnya seperti Yuukaru hanyalah satu, orang yang terlihat lemah hanya akan berada di bawah sebuah rantai makanan. Yuukaru memiliki sifat yang tomboy dengan wajahnya yang imut. Di sisi lain, dia sangat pintar membuatku salah tingkah dengan perilakunya.
Salahnya di sini adalah Miyu sepertinya salah tafsir tentang sifat Yuukaru yang sering menggodaku. Yuukaru memang menggodaku, tapi dia tidak sampai duduk di atas perutku seperti yang dilakukan Miyu ini.
"Kau sendiri yang menceritakan Yuukaru itu sosok yang cantik dan ganas, jadi jangan salahkan aku jika salah mengartikannya!? Wlee!" Miyu menjulurkan lidahnya menentang ucapanku.
"Cepat turun!? Barangku akan mengeras jika kau tetap ada di situ!?"
Miyu tersenyum sadis, lalu dia membisikkan sesuatu. "Kau boleh melakukannya, kok."
"Miyu, di hitungan ke tiga, aku akan membantingmu! Satu, dua, ti—"
Miyu turun dari atas tubuhku. "Ya, ya, ya, baiklah. Aku juga ingin memberimu hadiah."
Aku bangun dan menoleh ke arahnya. "Apa?"
Tangan Miyu merogoh ke dalam saku bajunya dan mengeluarkan sebuah barang.
"Ta—da!? Sebuah lilin berbentuk bunga mawar."
Aku mengambil barang tersebut dan melihatnya dari dekat. "Hei, buat apa lilin di zaman yang sudah memakai lampu? Aku ragu adakah yang terpasang di kepalamu." Aku menatapnya aneh.
Miyu duduk di ranjang. "Tentu saja untuk dibakar saat ada hal yang berkaitan dengan kegelapan, kan?"
Wanita ini!? Kenapa malah dia yang tanya kepadaku??
"Mana kutahu sialan!?"
"Tapi lilin ini mengingatkanku pada sosok kakakku."
Aku menatapnya. "Apakah dia baik-baik saja?"
"Mungkin ...." Miyu menjawab pertanyaanku dengan suara lirih.
Aku kembali melihat lilin yang sedang dipegang oleh tangan ini.
"Bukankah mawar itu berwarna merah? Kenapa di lilin ini berwarna ungu?" tanyaku.
"Hehe ... suatu saat, kita akan membakarnya bersama. Lalu warna itu akan berubah menjadi merah."
Miyu berdiri dan pergi meninggalkan kamarku.
Dasar Miyu aneh, daripada menunggu lama, tinggal kubakar saja dengan korek api milikku saja setelah ini.
Pintu kamar kembali terbuka, "Oh ya, hanya korek ini yang bisa merubah warnanya menjadi merah." Miyu mengibaskan korek api di tangannya itu dan kembali pergi.
Sialan!? Kenapa aku malah terobsesi dengan benda busuk seperti ini?
Aku meletakkan lilin tersebut di atas meja dan bersiap keluar dari kamar untuk mandi pagi. Saat berjalan menuju kamar mandi, aku melirik ke arah kamar Yuukaru yang kini dihuni oleh Miyu untuk sementara waktu. Aku melihat Miyu duduk di kursi dan sedang menggoreskan campuran grafit beserta tanah liat ke sebuah kertas putih di depannya.
Apa yang dia tulis?
●●●
22 Januari 2017
Hari ini adalah hari minggu, seharusnya aku masih boleh tidur di pagi hari. Namun mata ini memaksa untuk melihat dunia yang busuk ini.
"Hujan?!"
Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa Miyu tidak bertingkah seperti biasanya. Mungkin dia sudah kembali ke rumahnya, kemungkinan besar dia bosan karena tinggal di apartemen tua ini selama 5 bulan lebih.
Berapa lama ya Yuukaru akan kembali ke sini? Dia juga pergi entah ke mana setelah berpamitan kepadaku hari itu. Semoga saja kau cepat kembali lagi Yuukaru, aku tidak sanggup mengurus Scarface sendiri. Sanctuary pun yang menjaga hanya beberapa eksekutif saja, aku takut akan ada crew lain yang menyerang.
Tring-triing-triiing.
Suara nada dering handphone membuatku meninggalkan pemikiran tentang Yuukaru. Aku mengangkat telfon dari Reed, eksekutif dari crew-ku Scarface.
"Ada apa? Sanctuary diserang lagi?" tanyaku.
"Bukan masalah itu, Ketua, aku melihat gadis yang selalu bersamamu duduk sendirian di tepi jembatan tadi. Dia seperti ingin mengakhiri hidupnya."
Aku kaget. Sangat kaget mendengar pernyataannya.
"Yuukaru?"
"Mungkin."
"Apa maksudmu?"
"Intinya yang pernah Ketua ceritakan kepada kami bahwa kau telah menyelamatkannya."
Miyu? Apa ada yang membuat Miyu merasa terancam lagi? Dia tidak berniat untuk bunuh diri, kan?
"Di mana kau tadi melihatnya?"
"Jembatan Red River, ketua."
"Makasih banyak, Reed, jika tidak ada masalah di Sanctuary, kau bisa bersantai saja di sana."
"Baik, Ketua."
Aku mematikan telfon. Berpikir kritis sekarang adalah hal yang paling penting. Saat ini hujan masih sangatlah deras, apa sih yang Miyu lakukan?
Jembatan Red River berjarak kira-kira sekitar 1800 meter dari apartemen ini. Jika aku berlama-lama berpikir, Miyu akan demam.
Kau ini bodoh, ya, Miyu!?
Aku bersiap untuk menyusul Miyu, tapi sesaat setelah membuka pintu apartemen, aku menyadari sesuatu yang teramat penting.
"Aku mana punya payung, bang*at!?" teriakku kesal.
Motor yang terparkir di garasi itu tadi malam baru saja mengalami kerusakan fatal karena temanku kalah balapan dengan motor itu, jadi lawannya merusak mesin dan mencopot rodanya. Jika memakai kendaraan umum, aku khawatir akan sangat lama dalam menunggu penumpang.
Sialan!!
.
.
Setelah berbagai pertimbangan, aku memutuskan untuk berlari menuju ke lokasi Miyu dengan tanpa payung. Rasa sesak di dadaku mulai terasa akibat tekanan air hujan yang disertai tenagaku yang mulai berkurang.
"Dasar Miyu merepotkan!!"
Sudah berapa lama aku berlari? Hujan yang dihasilkan bukannya berkurang tapi malah bertambah. Jika terus begini, bisa-bisa aku pingsan karena kekurangan oksigen.
Mataku mulai menangkap gambaran pilar melengkung yang bisa disimpulkan adalah sebuah jembatan. Batinku merasa bersyukur mengalami kenyataan ini. Namun, aku bisa melihat sebuah siluet seseorang yang sedang berdiri di sisi jembatan.
Miyu?
Aku menambah kecepatan berlari mengabaikan semua rasa sesak di dada. Hanya beberapa meter lagi aku bisa melihat sosok siluet tersebut.
Akhirnya sampai di sisi jembatan, tapi sosk tadi memang benar adalah Miyu. Apa-apaan dia, kenapa berdiri seolah ingin mengakhiri hidupnya?!
"Miyu!!!" Aku menghentikan lari dan berlutut karena lelah.
Miyu menoleh. "Kenapa, Kak?"
Aku ingin berdiri dan menamparnya, tapi tidak sanggup. "Kenapa apanya? Jangan—berdiri seperti itu, bagaimana jika—kau jatuh!?"
Suara hujan dan airnya yang mengenai tubuhku bersekongkol untuk melawan suara yang dikeluarkan mulut ini.
Miyu tersenyum. "Berjanjilah padaku kau akan menyelamatkan kakakku. Maukah kau berjanji, Kak?!"
Apa yang dikatakannya? Kenapa bicara ngelantur seperti itu?? Bagiku yang terpenting adalah membuat Miyu menjauhi sisi jembatan itu.
Sial, kenapa kakiku tidak bisa bergerak?! Kedua kaki ini mati rasa, membuatku terjatuh tengkurap dan hanya bisa melihat Miyu yang sedang menatapku.
Aku tidak ingin melihat kematian seseorang di depan mataku lagi, tubuh ini harus segera membawa Miyu menjauh dari sisi jembatan itu. Namun semua sia-sia, kakiku tidak bisa diajak untuk berkompromi.
Satu hal yang bisa dilakukan sekarang adalah menjawab janjinya itu. Semoga saja setelah aku berjanji, dia bisa segera menjauh dari sana.
"Aku—berjanji!!"
Miyu tersenyum dan menutup matanya. "Terima kasih, Kak Maverick. Sampai bertemu lagi di lain waktu."
Mataku yang baru saja melihat senyuman indahnya itu langsung tergantikan dengan pemandangan yang terburuk di ingatanku untuk selama-lamanya.
Tubuh gadis itu menghilang dari depan kedua bola mataku karena telah terjatuh ke sungai itu. Gadis yang memiliki tinggi 160-an sentimeter itu kini tidak ada di area pandangku.
"TIDAAKK!!!"
"Sial!!!"
Aku mencoba berdiri dan menyeret kaki yang tidak bisa bergerak itu, lalu ikut menyeburkan diri untuk mencari Miyu. Namun air sungai yang sangat deras ditambah dengan kaki yang tidak bisa bergerak membuatku seperti botol plastik yang hanyut terbawa air.
Harapanku hilang. Seharusnya sekarang ini saatnya mencari Miyu, bukan hanyut terbawa arus sungai seperti ini. Mau sekuat tenaga aku mencoba berenang, semua hal itu percuma. Tubuh berbobot 72 kg ini masih saja terbawa oleh air yang bermassa jenis 1 kg/m³.
Kenapa kau lakukan itu, Miyu? Bukankah ada aku yang bisa kau andalkan untuk memecahkan seluruh masalahmu? Jika akhirnya akan seperti ini, kenapa kau hadir dalam hidupku Miyu?
Harusnya kau tidak meminta bantuan kepadaku saat itu, sehingga saat kau pergi pun aku tidak merasakan rasa sesakit ini. Kenapa ini terjadi kepadaku lagi?
Kenapa pemandangan menyedihkan ini terjadi lagi?
Apa sebenarnya salahku, Tuhan?
Aku mulai kehilangan kesadaran setelah banyak pertanyaan yang terlontarkan dalam otak ini. Setelah itu, aku pingsan karena terbawa arus sungai yang sangat deras, semoga saja begitu.
●●●
Mata ini masih bisa terbuka, berarti aku belum mati. Tubuhku terasa seperti ingin hancur. Air dalam tubuh ini perlahan keluar melalui mulut dan lubang hidungku. Kaki yang tadi tidak bisa bergerak, perlahan sudah dapat digerakkan lagi.
"Uheek!!" Air yang tersisa di dalam tubuhku masih terus keluar.
Hujan masih belum berhenti, sementara itu aku terdampar di tepian sungai yang tidak tahu ada di mana. Aku melihat ke sekeliling hanya terdapat pepohonan dan sungai saja.
Sebenarnya aku sedikit senang, alasannya itu sangat sederhana. Jika aku saja masih bisa selamat, maka Miyu juga memiliki peluang selamat.
"Miyu, apa sih yang ada di dalam pikiranmu?"
Memaksakan tenaga yang ada untuk terkumpul, aku memaksa untuk bangun dan kembali mencari Miyu di pesisir sungai. Meskipun kakiku sudah bisa bergerak, tapi rasa sakit masih terus melekat. Pada akhirnya, menyeret kaki ini adalah salah satu pilihan terbaik.
Hujan telah berhenti, akan tetapi ambisiku untuk menemukan dan membawa pulang Miyu masih belum berhenti. Aku masih berjalan di sisi sungai dengan tertatih-tatih menahan rasa sakit yang luar biasa. Rasa sakit dari dalam tubuh karena luka, ditambah dengan rasa sakit akan kehilangan seseorang yang sudah kuselamatkan hidupnya.
"Buat apa aku menyelamatkanmu hari itu, jika pada akhirnya kau tetap tidak bisa selamat. Miyu, di mana kau?"
Sakit.
Sesak.
Tubuh besar ini benar-benar merasakan rasa sakit. Hati yang pernah merasakan rasa sakit seperti ini hanya saat aku kehilangan orang tua dulu. Mungkin saja sel di kepala ini memang ditakdirkan untuk menampung semua cerita sedih.
"Tuhan, benarkah kau menciptakanku hanya untuk kesenanganmu? Kenapa aku mengalami rasa sakit ini untuk yang kedua kali? Kenapa?!"
Hari berubah menjadi sore hari. Aku ingin menyerah. Percuma saja berjalan menyusuri sungai tidak terhingga ini. Lebih baik sekarang memutar arah agar tidak tersesat karena kelamnya malam hari nanti.
.
.
Apartemen tua dengan pintu besi itu sudah ada di depanku, dalam hati yang terdalam, aku sangat berharap Miyu menyapaku seperti biasanya.
"Aku pulang."
Hening.
Tidak ada suara. Tidak ada Miyu yang menyapa tubuh ini, hanya suara dengung dari generator yang masih menyala menjawab pernyataanku.
Jika ada orang yang melihatku, mungkin mereka akan menganggapku sebagai orang gila. Baju yang basah kuyup, rambut yang berantakan, mata yang memerah karena kehabisan airnya, dan wajah yang mungkin sudah penuh oleh lumpur.
Setelah berhasil mencuci wajah, aku bergerak ke kamar Yuukaru. Aroma kamar ini berganti kepada wangi Miyu yang sangat aku ingat.
"Maaf, Miyu ... besok aku akan mencarimu lagi."
Aku meluncurkan tubuh ke ranjang yang kosong itu, berusaha membayangkan bahwa Miyu sedang duduk di kursi sebelah dan tertawa akan tingkahku.
"Dasar mesum!? Apa kau sudah luluh kepadaku sekarang?"
"Aku memang mesum, ayo sini tidur di sebelahku!"
"Kau sudah menerima tawaranku yang kemarin? Ayo kita lakukan!!"
"Hahaha, aku tidak ingin kau pergi, Miyu ...."
Delusi. Imajinasi. Halusinasi.
Semua hal yang kualami setelah kepergian orang tuaku, sekarang kembali lagi. Bayangan akan senyuman terakhir dari orang yang benar-benar berharga bagiku terus bermunculan di mata ini.
Ibu, Oji, Oba, Mom, Dad, dan kini Miyu.
Mereka semua selalu memberikan senyuman manis terakhirnya kepadaku. Aku hanya ingin terus melihat senyuman mereka, tapi tidak dengan disertai kepergian mereka.
Brakkk!!
"KENAPA?!! SEMUANYA KAU RENGGUT DARIKU, TUHAN???"
"Andai saja aku menjadi Tuhan, semua ini tidak akan terjadi."
Brakkk!!
Aku berusaha untuk kembali sadar dengan menabrakkan kepala ini ke tembok.
Brakk! Brakk!! Brakk!!!
Cairan merah menetes melewati mataku, aku sudah bisa merasakan rasa sakit di kepala yang menandakan bahwa jiwa ini sudah tidak berhalusinasi lagi.
"Sial, darah dari kepalaku membuat kasur ini kotor."
Aku beranjak dari kasur dan mencari kain untuk mengelap darah di sekitar, tapi indra penglihatanku menyadari akan sesuatu. Sebuah pensil dan selembar kertas terdapat di atas meja itu.
Oh—kemarin aku melihat Miyu sedang menuliskan sesuatu di kertas tersebut.
Aku mengangkat kertas itu dan mulai membacanya secara teliti.
Untuk: Kak Maverick
Saat Kak Maverick membaca surat ini, berarti tandanya sudah membuat sebuah janji denganku. Terima kasih, Kak, karena sudah membuat sebuah janji denganku. Isi perjanjian tersebut sudah Kak Maverick dengar dengan jelas, kan? Jika tidak, aku akan ulangi di surat ini.
Berjanjilah kepadaku untuk menyelamatkan kakakku.
Jika saat ini Kak Maverick menangis, berarti aku sudah menjadi seseorang yang berharga dalam kehidupan Kakak. Biarkan aku sedikit bercerita kepada Kakak lewat tulisan ini, setelah itu kau akan tahu alasan kenapa aku rela melakukan hal yang bodoh itu.
Kau tahu, Kak? Dulu aku adalah seekor burung kecil yang bisa terbang bebas ke mana pun, selalu bersiul riang sesuka hati di saat terbang menyusuri bola langit. Namun semua itu bisa terjadi karena ada burung besar yang selalu menjagaku tetap aman.
Sekarang, aku sudah tidak bisa lagi dengan bebas menyelami luasnya ruang kosong di atas itu. Aku berubah menjadi burung yang berada di dalam sangkar, itu karena burung besar yang menjagaku selama ini sudah mati.
Apa yang bisa dilakukan burung di dalam sangkar, Kak? Tentu saja dia hanya bisa menuruti kemauan dari yang menangkapnya. Jika tidak, dia tidak akan diberi makan dan akan mati mengenaskan hingga membusuk di dalam sangkar itu. Malangnya, aku sedang menceritakan diriku sendiri, Kak.
Aku tidak hanya seorang di sangkar tersebut, ada burung lain yang ikut tertangkap bersamaku, dia adalah Kakakku, Libiena. Sosoknya adalah sebuah perhiasan yang tak akan bernilai jika ditaksir harganya. Matanya berwarna ungu, rambutnya berwarna putih emas, dia adalah malaikat sebenarnya. Namun, kenapa takdir begitu kejam, Kak?
Suatu saat, Kak Libiena berhasil keluar dari kandang dan menyelamatkanku. Aku sangatlah senang karena berpikir bisa menimati luasnya semesta lagi. Namun, saat kami ingin terbang bebas lagi, orang itu menembak sayap Kak Libiena, dia tidak bisa terbang lagi. Dia terbaring lemah dan hanya bisa meringis kesakitan.
Kak Libiena memberikan lambaian terakhirnya kepadaku, di dalamnya terkandung berbagai makna. Selamatkan aku di lain hari, Miyu. Tolong cari sosok pahlawan dan bawalah dia ke sisiku. Berbahagialah Miyu. Terbang tinggilah, Miyu, carilah terus Matahari itu hingga kau mendapatkan kekuatannya dan kembalilah ke sini untuk menyelamatkanku.
Pikiranku selalu berpikir seperti itu, setelahnya aku terbang tinggi, sedangkan Kak Libiena kembali dimasukkan ke dalam sangkar dengan jeruji yang ditambah.
Burung yang sudah terbebas dari sangkar harusnya senang, tapi tidak denganku. Malang sekali, aku kembali ditangkap oleh pemburu baru, dia adalah orang yang merundungku, Kak. Orang itu memasukanku ke dalam sangkar yang lebih buruk dari sebelumnya. Aku boleh bersekolah, tapi dia selalu menghukumku saat ada seseorang yang berdekatan denganku. Kekasihnya selalu menendang tubuhku layaknya mainan, sementara aku hanya bisa pasrah menerimanya.
Burung yang malang itu kini menerima hukumannya, makan dan minum dibatasi, pergi ke toilet selalu diawasi, mandi hanya sekali dalam berhari-hari, dan kau mungkin akan jijik mendengar ini, aku hanyalah alat pemuas nafsu pemburu itu. Apakah makhluk ini masih bisa disebut dengan burung, Kak?
Hingga waktu aku menemukan mata yang penuh kesengsaraan itu, di sorot matanya itu tersimpan semua hal yang berupa kesedihan. Aku mengaguminya, itu karena matanya memiliki tekad untuk mengalahkan takdir yang tidak adil.
Aku menemukanmu, Kak Maverick.
Aku kembali terbebas, sekarang ada burung besar yang akan menjagaku setiap saat. Benar, burung itu adalah kau, Kak Maverick. Namun memang benar, kebebasan nyatanya hanyalah sebuah ilusi semata, meskipun aku terlindungi oleh Kak Maverick, tidak dengan Kak Libiena yang masih tersiksa di dalam sangkarnya. Orang yang merundungku kembali mengancam, jika aku tidak mengakhiri hidup, maka Kak Libiena akan dibunuh sebagai gantinya.
Mereka tak butuh burung yang tak elok lagi.
Aku ingin mengatakannya kepadamu, Kak, luapan keinginan itu seolah-olah berbaris dan mengetuk pintu di hatiku tiap harinya. Namun aku takut, Kak, aku benar-benar takut. aku takut akan kebebasan yang palsu ini. Mungkin saat aku sudah mati, mereka masih akan membunuh Kak Libiena. Apa yang harus aku lakukan, Kak?
Benarkah ini yang namanya kehidupan? Kenapa aku selalu merasa rasa sakit sebagai orang yang tidak pernah dipandang wanita. Kenapa orang-orang itu sangat kejam? Kenapa mereka memperlakukan wanita kecil seperti itu? Apakah itu yang namanya moralitas?
Apa dasar dari moralitas, Kak?
Sekarang, yang aku butuhkan hanyalah sebuah jaminan akan keselamatan Kak Libiena, aku butuh sebuah janji. Janji untuk menyelamatkan Kak Libiena setelah jiwa ini tidak ada di dunia ini. Sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, tolong bantu aku dari kejamnya dunia ini, Kak.
Tolong jangan anggap aku bodoh karena mengakhiri hidupku, Kak. Ketahuilah, aku sudah tidak ingin menatap ke arah dunia yang hanya berisi siksaan ini. Jika seperti itu, bukankah seharusnya aku terbangun dari mimpi buruk ini, Kak?
Ucapan terakhir, aku percaya bahwa suatu saat kita akan bertemu lagi, Kak. Lalu, kita akan menyalakan lilin bunga mawar itu bersama.
Sampai hari itu tiba, aku akan selalu berada di dekatmu
Kak dengan sebuah janji yang sudah melekat di hatimu.
Terima kasih Kak Maverick. Percayalah padaku sampai akhir.
Dari orang yang akan mati: Miyu
Mataku kembali membaca dari atas, akan tetapi kertas itu sudah terisi penuh oleh air mata yang berjatuhan sehingga aku tidak bisa membacanya kembali.
"Itu janji kita, ya, Miyu."
"Ugh. Sniff."
Sudah lama aku tidak bisa menangis, tapi orang—tidak, Miyu ini membuatku bisa menangis kembali. Aku bertanya-tanya kenapa, apakah dia adalah sosok yang perlu kutangisi kepergiannya?
Setelah dipikir-pikir, apakah aku benar-benar terbuka sekarang karena Miyu? Aku adalah iblis, orang yang suka mematahkan kaki orang, orang yang suka merenggut kebahagiaan wanita, aku adalah yang terburuk. Namun, saat melihat Miyu untuk pertama kalinya, aku bahkan tidak berpikir untuk merusaknya seperti yang kulakukan kepada wanita lain.
Mungkinkah Miyu adalah benar-benar orang yang berharga bagiku?
Apakah karena Miyu meminta tolong kepadaku? Banyak wanita lain juga melakukan hal yang sama, tapi aku tidak menolongnya. Lalu bagaimana bisa aku memberikan bantuan kepada Miyu?
Apa karena benar-benar bayangan Mom saat itu yang menyuruhku?
Jika kau tak menolongku, aku akan dibunuh.
Jadi begitu, alasan aku menolong Miyu sangat sederhana. Itu adalah karena hal yang tidak bisa kulakukan saat Mom dan Dad meninggal, bisa kulakukan untuk Miyu sekarang. Ternyata bayangan Mom di sekolah itu benar, aku hanya perlu menyelamatkan orang yang memberiku perasaan tulus.
Benar, Miyu adalah orang yang mirip dengan mendiang Mom, baik itu senyumannya, tingkah lakunya, maupun sifat perhatiannya kepadaku. Mana mungkin aku tidak merasa kehilangan jika orang yang mirip Mom itu pergi meninggalkanku lagi.
"Hei, Mave, apa-apaan kau menangis seperti bayi di kamarku?"
Eh?
Aku menoleh ke sumber suara, tepatnya adalah di pintu kamar ini. Yuukaru sudah kembali.
"Dadaku sesak, Yuukaru, sese—orang yang berharga bagi—ku pergi lagi!!" Aku menangis layaknya bayi di depan Yuukaru.
Yuukaru memelukku. "Tenang saja, kau bisa ceritakan semuanya padaku. Sekarang kau istirahat saja, Mave, lihat matamu itu sudah merah seperti mengeluarkan darah."
Syukurlah ada seseorang yang selalu ingin mendengarkan cerita sedihku. Aku berpikir bahwa Yuukaru akan pergi meninggalkan jiwa ini selamanya, terima kasih kau sudah kembali Yuukaru.
Yuukaru sudah aku anggap seperti saudara dekat yang selalu bisa dijadikan tempat untuk menampung semua perasaan yang meluap-luap ini.
Creation is hard, cheer me up!
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!