"Saat aku telah menciptakan sebuah hal yang bersinar, apakah aku sudah melampaui Tuhan? Apakah Tuhan hanya bisa membuat sesuatu yang sangat gelap kepadaku? Lalu, apa artinya sebuah harapan dan keinginan jika semuanya sudah ditentukan?"
♦
Ⅰ
■
DAY 5
Ini adalah hari kelima aku memulai sebuah hidup baru—bukan, lebih tepatnya adalah melanjutkan hidup lama dengan pikiran yang baru.
Tadi malam, aku kembali bermimpi akan sosok yang selalu mengatakan bahwa aku tidak sendirian. Sebenarnya dalam hati ini selalu bertanya-tanya siapa sosok tersebut. Lupakan itu sejenak—akhirnya aku bisa mengingat potongan ingatan masa lalu yang tersesat itu, walaupun sebenarnya bisa dibilang adalah sebuah tragedi.
"Kenapa kau hanya membuka matamu saja dan tidak bangun?" You memunculkan wajahnya tepat di atas wajahku yang berada pada posisi terbaring.
"Waa!!?"
"Kenapa kau kaget?"
"Bodoh!? Kau masih tanya kenapa aku kaget?"
"Hmm ... sepertinya kau butuh bertemu dokter itu lagi untuk memeriksa kondisimu."
"Dokter? Maksudmu dokter gadungan yang langsung memegang kepalaku tanpa izin itu?!"
"Sudahlah lupakan!? Cepat bangun, jangan malas seperti itu. Atau jangan-jangan kau mau ku—"
"Tidak terima kasih, aku tidak ingin membuat diriku terlihat mesum di depan adik tercintaku."
Aku bergegas keluar kamar meninggalkan You yang sudah mulai masuk dalam Mode Succubus.
Succubus? Yah, mereka adalah makhluk mitologi yang menggoda manusia masuk ke jurang dosa. Sosok You—ah bukan hanya dia, dua orang lagi juga memiliki Mode Succubus yang akan membuatku bertumpuk dosa jika tidak kukendalikan pikiran ini.
Aku menuju ke kamar mandi untuk membasuh muka yang sepertinya tambah rusak karena kejadian kemarin.
Byuur!!!
"Ah ... segarnya air di pagi hari."
Aku memandang wajah pada cermin yang berada di depan, wajahku jelas terpampang di sana, akan tetapi ada sosok lain di cermin itu.
Hah?! Miyu?! Pasti cuma khayalanku.
Tak percaya, aku kembali menyiram dan menggosok mata ini.
"Ada Miyu!?"
Aku sontak memutar tubuh ini menghadap ke arah pantulan cermin tersebut, kenapa ada Miyu di rumah—di kamar mandi ini??
"Apa yang kau lakukan di rumahku, Miyu?"
Miyu menatapku aneh dan tak peduli, kemudian dia mengambil sebuah sikat gigi dan memberikannya kepadaku.
"Apa maksudmu aku ada di rumahmu?"
Hah?! Sepertinya dia masih belum sadar dari tidur sepenuhnya.
"Kenapa kau mengulangi pertanyaanku? Jawab saja!?"
Miyu mendekatiku secara perlahan, "Apa kau masih bermimpi?" Miyu menatapku heran, "Apakah kamar mandi ini familiar untukmu?" sambungnya.
Tunggu—aku menggosok mataku berkali-kali dan melihat sekeliling kamar mandi.
Gawat.
Ini ... kan bukan kamar mandi di rumahku, apa dari tadi aku yang belum sadar sepenuhnya?
"Kenapa dengan wajahmu itu?" Miyu memegang wajahku. "Ah ... sekarang sudah sadar?"
Aku menelan ludah dengan perlahan, "I—iya."
"Lalu kenapa kau ada di kamar mandi perempuan?! Bukankah ada tujuh kamar mandi di rumahku?!" Miyu memukul kepalaku dengan gayung.
Miyu membuatku terpojok di sudut ruangan.
"Apa jangan-jangan, kau mau memberikan kehormatanmu padaku? Akhirnya aku bisa mengalahkan mereka berdua, huahaha!!!"
Sepertinya wanita ini sudah tidak waras, selagi dia tertawa dan menutup matanya seperti itu, aku harus berlari meninggalkannya.
"Baiklah, ayo kita laku—"
"Maaf, aku pergi dulu, Miyu. Bersenang-senanglah dengan sikat gigimu itu." Aku berlari meninggalkannya setelah melempar sikat gigi yang diberikan Miyu awal tadi.
"KAK MAVERICK!!?"
Sial, sial, sial, kenapa aku bisa berada di rumahnya Miyu dan Libiena? Jika saja tidak berlari dari Miyu tadi, mungkin detik ini kehormatanku telah hilang dirampasnya. Maaf saja, hak itu hanya berhak didapatkan oleh yang terpilih saja.
Aku berjalan di rumah besar yang tidak diketahui ini dengan hati-hati, kenapa ada rumah sebesar ini? Apa pekerjaan dari orang tua mereka—pasti bukan pekerjaan biasa.
"Rii? Kenapa kau ada di rumahku?" Suara itu terdengar dari belakangku.
"Ah—Libiena, aku juga tidak tahu kenapa bisa ada di rumahmu. Apa yang terjadi semalam?"
"Aku juga tidak ingat, lebih baik kita bicarakan hal ini di ruang keluarga saja." Libiena menggenggam tanganku dan menuntunnya ke suatu tempat.
Aku berjalan melewati beberapa koridor rumah yang dindingnya terpasang beberapa lukisan klasik.
"Apakah hanya kalian berdua yang merawat rumah sebesar ini?"
Libiena menoleh ke arahku. "Mana mungkin ... aku dibantu oleh pelayan di rumah ini."
"Oh, syukurlah jika begitu."
Lantai di rumah ini memang terlihat sangat bersih, bahkan aku tidak akan percaya jika hanya mereka berdua yang menempati rumah ini.
"Sudah sampai, silahkan duduk di sofa itu. Aku akan menyuruh pelayan untuk menyiapkan makanan."
Libiena meninggalkanku sementara badan ini menuju ke sofa dan melihat sekeliling. Tidak lama setelah itu, Libiena kembali dan duduk di sofa depanku dengan membawa beberapa camilan dan minum.
Di sekeliling itu terlihat sebuah ruangan yang sangat besar, dengan ukuran televisi yang tidak kalah besar juga, dan sofa-sofa yang tertata rapi di dalamnya.
"Gila ... aku benar-benar terkejut akan kekayaan keluargamu."
"Jangan begitu, semua kekayaan ini tidak berharga sama sekali. Bukankah kau yang bilang seperti itu waktu bertemu dengan ayahku?"
"Eh?! Aku bilang begitu di depan ayahmu?"
Libiena mengonfirmasi pertanyaanku dengan anggukan. "Benar, setelah itu kau membawaku kabur dari rumah ini."
"Kenapa aku membawamu kab—"
Sial!! Kepalaku sakit sekali.
"Kau kenapa, Rii?!"
"Ah tidak apa-apa, hanya pusing biasa."
"Tadi apa yang ingin kau katakan?"
"Lupakan saja, aku juga tidak tahu ingin berkata apa." Aku tersenyum kepadanya.
Apa yang ingin kutanyakan tadi? Sekarang yang ada di pikiran adalah diriku di masa lalu. Wah ... diriku di masa lalu itu orangnya seperti apa, ya? Sampai-sampai mengatakan dan melakukan hal yang berani kepada ayah Libiena.
"Kau belum ingat kejadian bersamaku?"
"Yah maklum saja, sayangnya aku belum bisa mengingat hal itu."
"Untuk sekarang lupakan saja dulu, satu pertanyaanku yang belum terjawab adalah ... kenapa Rii ada di rumahku?"
Libiena menyentuh pipinya entah membayangkan apa pada otaknya. "Jangan-jangan kau ingin aku—"
"Tidak—maaf aku sudah bosan mendengar perkataan itu pagi ini."
"Eh?"
"Pertama, saat aku bangun tidur ada You yang langsung menggodaku. Kedua, saat di kamar mandi ada Miyu yang melebihkan pemikirannya terhadapku. Terakhir ... adalah perkataanmu baru saja."
"Sial!! Mereka berdua sudah ada satu langkah di depanku, tidak bisa dibiarkan." Libiena mengepalkan tangannya.
Aku mengetuk pelan meja yang ada di depanku, "Jadi ... apa yang membuat sofa ini begitu empuk?" tanyaku.
"Apa pertanyaan itu penting?"
Cih. Entahlah.
"Baiklah, lupakan pertanyaan barusan. Pertanyaanku yang lain, apakah kau ingat kejadian semalam?"
"Yang kuingat hanyalah setelah melihat kembang api, kita berempat makan malam di restoran. Setelah itu aku tidak ingat apa pun."
Makan malam? Memang benar, aku juga jngat itu, sepertinya ingatanku juga sama dengan Libiena dalam hal ini.
"Libiena, saat bangun tidur kau sudah ada di kamarmu?"
Libiena menganggukkan kepalanya. "Tapi saat bangun, kepalaku seperti ingin pecah karena pusing."
"Lebih baik kita tanyakan saja pada Miyu atau You mengenai masalah ini."
Libiena menganggukkan kepalanya dan menatapku dengan tersenyum.
.
.
Aku menunggu beberapa menit sebelum ada langkah kaki yang mendekat ke arah kami. Kemudian sosok yang telah ditunggu-tunggu akhirnya keluar juga.
Miyu dan You berjalan berdampingan dengan wajah yang bahagia.
"Oh, kalian berdua ada di sini?" tanya Miyu.
"Kami menunggu kalian," jawab Libiena.
Miyu duduk di sofa yang sedang kusinggahi dan menempelkan tubuhnya kepadaku. Mataku secara refleks melihat ke Libiena yang ada di depan, aura membunuh yang tajam dapat terlihat darinya.
"Tu—tunggu dulu, kenapa kau duduk di sampingku juga, You?"
"Apa tidak boleh?" You menatapku dengan wajah melasnya.
Mana mungkin adik cantikku ini tidak kuizinkan duduk di sebelahku. Namun—aku tidak enak dengan suasana ini jika dilihat orang lain.
Mungkin aku sudah bosan menggambarkan situasi saat ini, karena selalu saja seperti ini. Mereka ini membuatku seperti pedofil saja, saat di luar pun begitu, masalahnya hanya ada di perbedaan tinggi badan.
Kenapa mereka bisa memiliki tinggi yang hampir sama?!
Sial, tidak ada waktu untuk memikirkan masalah sepele seperti itu. Apa yang akan terjadi setelah ini, ya? Akankah Tuhan memberikan cerita sedih lagi kepadaku?
"You, kenapa kita ada di sini?" tanyaku.
You menatap langit-langit lalu mengarahkan pandangannya kepadaku. "Aku tidak paham betul situasinya, saat itu kau terlihat pusing ketika keluar dari kamarnya Libiena. Jadi, Miyu menuntunmu ke salah satu kamar di rumah ini."
Aku baru saja mendengar pernyataan yang sangat berani. "Hah?! A—apa yang aku lakukan di kamarnya Libiena?!"
You merengus, "Mana aku tahu bodoh!? Kau hanya mengantarnya pulang selepas makan malam," lanjutnya.
"Aku juga tidak ingat apa-apa, lalu kenapa Rii sampai mengantarkanku ke kamar? Bukankah sampai teras juga sudah cukup?" Libiena memegang kepalanya, "Rii, a—apa kau sudah melakukannya padaku tadi malam?" lanjutnya dengan muka yang aneh.
"Kakakku memang terlalu percaya diri, Kak Maverick itu masuk ke kamarmu bukan karena hal itu, tapi karena kau itu ma—buk. Kau tahu kan, definisi mabuk?"
"Hei adikku yang pintar, mana mungkin aku mabuk?! Bilang saja kau iri karena aku adalah wanita pertamanya."
"Hah?! Apakah kau sadar ucapanmu barusan? Minum satu gelas saja sudah mabuk, parahnya kau malah menunggangi tubuhnya hingga rumah. Malu, kan?"
"Sudah, sudah kalian berdua, sebenarnya masalahnya kan saat Mave berada di kamar Libiena, kenapa dia bisa sampai pusing seperti itu?" You melerai mereka berdua.
"Yuukiho, apakah durasi Rii saat ada di kamarku lama?" Libiena bertanya dengan mata yang cemerlang.
Miyu tertawa kecil, "Maaf saja, lima menit saja tidak ada."
"Aku tidak tanya kau Miyu, mana mungkin aku percaya ucapanmu."
"Miyu benar."
"A—apa? Kurang dari lima menit?" Wajah Libiena kini seperti awan mendung yang menyimpan banyak muatan.
"Sudah jelas, kan? Dia tidak melakukan itu denganmu tadi malam." Miyu tertawa sinis.
"Te—tentu saja, Rii tidak mungkin selemah itu ... ahaha ...."
Sebenarnya aku tidak paham apa yang mereka bahas, apa aku terlihat lemah? Mau bagaimana lagi, lelaki yang hanya bisa pingsan ini sudah jelas tidak pantas memiliki tiga wanita sekaligus.
Bodoh sekali diriku.
Aku mengalihkan pandangan dari mereka dan menghiraukan ucapannya untuk sementara, sepertinya aku sedikit mengingat kebenaran tentang cerita tadi malam.
Masih samar-samar, tapi aku ingat sedikit kejadian saat perjalanan mengantar Libiena dan Miyu pulang.
Oh—aku juga mabuk seperti Libiena, tapi tidak di restoran.
"Aku sudah ingat kenapa tadi malam terlihat seperti pusing, itu karena aku juga mabuk ... sepertinya."
Seketika tiga orang yang ada di sekitarku menatap tajam ke arahku.
"Eh?!!" Mereka berteriak.
"Ini semua karena Libiena." Aku mengarahkan jari telunjuk ke arah Libiena.
"Kok bisa karena aku?"
"Kau tidak ingat?"
Wajah Libiena terlihat pucat sementara kedua wanita di samping masih fokus menatapku.
"Tadi malam, sesaat setelah aku merebahkanmu ke kasur, kau tiba-tiba saja mencium bibirku dengan sisa-sisa alkohol di dalamnya. Aku sudah berusaha memuntahkan rasa alkohol itu tapi sepertinya tidak berguna. Mungkin karena tubuhku masih sangat lemah."
Aku menarik napas dalam-dalam. "Begitulah ceritanya, sudah tidak usah berdebat lagi!"
Aku merasa heran kenapa mereka bertiga diam saja tidak ada respon sama sekali.
Hingga beberapa saat setelah itu.
"Libiena sialan!!" You dan Miyu beranjak dari sampingku kemudian mencubit pipi Libiena secara bersamaan.
Satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang hanyalah tersenyum akan tingkah laku mereka bertiga.
Dasar wanita-wanita aneh.
Creation is hard, cheer me up!
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!