ACT 1
FLASHBACK [23 Oktober 2013]
.
.
"Mave, sudah saatnya sarapan, loh!"
Aku terbangun karena suara yang terdengar di depanku. Seorang wanita yang memakai celemek sedang memegang pipiku.
"Bukankah ini masih pagi, Mom?"
"Jangan merengek, You sudah menunggu." Mom pergi keluar setelah memberikan ciuman di pipiku.
"Dasar Mom, aku ini sudah berumur 13 tahun, kenapa dia selalu memperlakukanku seperti anak kecil!?"
Aku mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari tempat tidur ini. Sebelum itu, mataku menyempatkan diri untuk melihat kalender yang tertempel itu.
23 Oktober.
Entah kenapa aku merasa khawatir akan hari ini.
Aku bergegas menuju ke ruang makan sesuai yang Mom perintahkan. Di sana sudah ada Yukina yang sedang duduk dan Mom yang sedang meletakkan makanan di meja.
"Hei Yukina, bukankah tidak sopan membuat ibumu berdiri sendiri seperti itu?" ucapku.
Aku menunggu Mom yang sedang menyiapkan makanan itu duduk terlebih dahulu.
"Ricky, bukankah kau sebaiknya mandi dulu? Badanmu masih bau tau!?"
"Hah!? Hei cebol, tanpa mandi pun badanku sudah wangi. Hidungmu saja yang sudah rusak itu!! Lalu, jangan panggil aku Ricky!!"
"Kau juga memanggilku Yukina, namaku sudah jelas itu Yuukiho. Yuukiho!!"
Aku melihat ke arah Mom yang sedang berjalan mendekatiku ... ini buruk, dia pasti akan mencubitku lagi.
Benar saja, Mom mencubit pipiku tanpa rasa kasihan.
"Maafkan aku, Mom, aku hanya menyapa Yukina."
"You juga." Sekarang, Mom mendekati Yukina.
"Maafkan aku, Mom, aku berjanji tidak akan berkelahi lagi sama orang itu."
"Orang itu?"
"Maksudku Ricky, aku berjanji, Mom."
Mom memang menakutkan. Setelah itu, Mom menggerakkan tangannya memberikan isyarat untuk menyuruhku duduk.
"Kalian berdua, satu hari saja bisa tidak? Jangan berkelahi, jangan berdebat, jangan saling mengejek??" Mom menatapku, kemudian Yukina.
Aku dan Yukina menganggukkan kepala beberapa kali.
"Bagaimana jika Dad marah nanti? Ini sudah lebih dari 5 tahun kalian bersama, kan? Kenapa masih saling mengejek?"
Aku juga bingung kenapa, tapi karena Yukina adalah adik kandung sendiri, jadi aku berpikir untuk selalu mengejeknya. Selain itu, seperti ada sebuah perasaan aneh di hati ini. Benar—sepertinya aku mencintai adik sendiri, sungguh orang yang bodoh.
"Mom, aku minta maaf karena selama ini membuat keributan. Namun ini semua kan salah Ricky, dia selalu saja memulainya."
"Hah?! Apa-apaan perkataanmu itu? Bukankah aku hanya melontarkan kalimat biasa saja? Justru dirimulah yang menanggapi perkataan itu menghinamu."
"Hah?! Beraninya kau menyimpulkan seperti itu? Kau ingin berduel denganku?"
"Berduel? Aku ini sudah diajari MMA oleh Dad, kau pun akan aku tumbangkan dalam waktu 1 milisekon saja."
Pembicaraan kami terhenti ketika tangan Mom sudah ada di telingaku dan juga Yukina.
"Maaf, Mom!!" teriak kami berdua.
"Dasar kalian berdua, baru saja kalian meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya, kan? Kenapa langsung kalian ulangi lagi, jika terus seperti ini ...."
Aku menelan ludah menunggu apa yang akan Mom katakan, sepertinya Yukina juga melakukan hal yang sama.
"Mom akan keluarkan jurus andalan ... gelitikan maut."
Mom mulai menggelitiki tubuhku dan Yukina, aku telah berbuat kesalahan. Jika Mom sampai mengarahkan jarinya kepada kami, itu adalah sebuah kutukan bagi kami.
"Hentikan Mom, kumohon—hahaha—Mom, aku minta—hahaha—maaf. Minta maaf." Rasa geli ditambah dengan tangan Mom yang benar-benar seperti melekat pada tubuh membuatku tidak bisa berkata dengan benar.
"Baiklah. Hukumannya selesai, sekarang kita makan dulu sebelum pergi, ya?"
Akhirnya ... akhirnya Mom menghentikan tindakannya itu. Aku melihat ke arah Yukina dan bisa melihat apa yang dirasakannya, sama sepertiku.
Tidak ada yang bisa mengalahkan hukuman gelitikan maut Mom.
"Memangnya permintaan Yukina ke pantai langsung dikabulkan, Mom? Bagaimana dengan permintaanku untuk pergi berkemah di gunung?" tanyaku.
Mom menelan makanannya. "Minggu besok, ya, Mave. Tunggu Dad ada waktu lagi."
Aku menggigit sendok. "Pwadahal Dwad hari wini jwuga pulang."
"Menjijikan!!" Yukina memulai perang lagi.
Aku mengambil sendok di mulutku. "Apa sih, cebol tidak usah ganggu!!"
"Haa!?? Meskipun aku cebol, kau tidak lihat tubuh seksi ini? Mana mungkin anak dengan umur 12 tahun memilikinya, kan? Ah—mesum, Ricky mesum, dia melihatku dengan mata bejatnya."
"Bo—bodoh!!"
Sialan. Dia malah mengejekku dengan telak.
Aku melihat ke arah Yukina, apa dia benar-benar anak gadis berumur 12 tahun? Yang kulihat, tubuhnya itu sudah seperti anak usia 15 tahun, hanya saja dia cebol. Persis seperti ucapannya baru saja.
"You! Jangan goda kakakmu itu, nanti dia bisa jatuh cinta kepadamu, loh!!" ledek Mom.
Aku tak menyangka Mom akan berkata seperti itu.
"Mom, kenapa Yukina tubuhnya beda dengan temanku di sekolah? Aku pernah melihat kakak kelas di SMP, dan Yukina lebih mirip dengannya."
Aku memperhatikan mata Mom, tapi wajahnya menengok ke sana-sini seolah mengharapkan tidak ada orang lain di sekitar sini.
"Be—begini loh Mave, You kan anak Mom, jadi dia memiliki hormon yang sama seperti Mom. Dia dianugerahi tubuh yang sangat indah seperti Mom ini. Paham, Mave?"
Tunggu—Mom baru saja menyebutkan hal aneh di sini. Aku harus segera memastikannya.
Anak Mom?!
"Bukannya Yukina adalah anak mendiang ibu yang dititipkan Oji? Apa maksudnya Yukina anak Mom? Apa selama ini Dad berbohong padaku?"
□ Oji = Kakek □ Oba = Nenek
Aku mendorong piring menjauh dari depan, menunggu jawaban Mom akan pertanyaan itu.
"Bukan—bukan, Mave, ayahmu tidak berbohong. Dia memang adikmu, tapi ...."
Aku paling benci jika seseorang berbohong kepadaku, terlebih lagi untuk alasan yang tidak jelas.
"Mave janji jangan membenci keluargamu setelah ini, ya? Jika Mave berjanji, nanti Mom akan beri penjelasan."
Jika seperti ini, sudah pasti ada yang dirahasiakan!!
"Baiklah ... aku berjanji."
"Jadi begini, You itu anak kandung Mom. Ayahmu bercerita bahwa setelah kepergian ibu kandungmu, kau jadi pemurung. Jadi, Mom menikah dengan ayahmu dan merencakan semua ini dengan berpikir jika ibu kandungmu meninggalkan sebuah warisan berupa adik yang belum pernah kau temui."
Mom menghentikan ucapannya, mungkin karena melihat mataku yang mulai berair.
Mom membuka mulutnya kembali. "Kesimpulannya kalian itu saudara tiri, kami membuat sebuah drama bahwa You adalah adikmu yang dititipkan ibu kandungmu ke kakekmu."
Terdiam adalah hal yang bisa kulakukan sekarang.
Jadi selama tujuh tahun ini aku telah tertipu, entah kenapa aku merasa sangat-sangat kesal mengetahui orang tuaku telah menipu selama itu. Namun di sisi lain, hati ini merasa senang karena dengan fakta terbaru ini, perasaan anehku terhadap Yukina bisa tersampaikan tanpa ada gangguan.
Satu hal yang paling menyakitkan, aku hanya berharap ibu kandungku meninggalkan suatu hal yang sangat berharga sebagai sebuah kenangan. Saat beranggapan semua itu telah menjadi nyata, ternyata semua ini hanyalah sebuah drama, tidak ada kenangan yang ditinggalkan oleh ibu kandungku.
"Mave? Mom punya satu permintaan untukmu. Bisakah kau menyetujuinya?"
Aku melihat ke arah Mom, wajahnya seperti ingin menangis setelah memberitahukan kebohongannya.
Meskipun dia ibu tiriku, kasih sayangnya hampir sama seperti ibu kandungku. Aku tak ingin menolak permintaannya.
"Apa itu, Mom? Jika itu bisa dilakukan oleh bocah berumur 13 tahun, pasti akan kulakukan."
"Kau tahu kan tentang istimewanya tubuh You? Pasti setelah dia berumur 15 tahun lebih, banyak lelaki yang ingin berbuat jahat padanya. Bisakah kau menjadi pahlawan yang selalu melindunginya nanti ketika waktu itu tiba?"
Aku spontan meneteskan air mata—entah kenapa masih tidak tahu. Namun sepertinya hatiku merasakan bahwa perkataan Mom baru saja adalah kata-kata perpisahan.
"A—apa yang Mom katakan? Saat waktu itu tiba, Mom dan Dad juga akan melindunginya, kan?"
"Hei Mom, Ricky, aku jangan kalian cuekin dong!! Aku kan ada di sini juga!?" Yukina merengus kesal.
"You, kau sudah selesai makan, ya? Cepat mandi dulu sana! Kita kan ingin ke pantai habis ini."
"Baik, Mom, sampai nanti Ricky." You melambaikan tangannya padaku.
Aku mengabaikan Yukina, sementara Mom mulai menatapku kembali.
"Mave, saat waktu itu tiba, tentu saja Mom dan Dad akan ikut bersamamu." Mom menutup matanya dan tersenyum kepadaku.
"Aku kira tadi itu kata-kata perpisahan loh Mom, jangan bikin aku takut dong."
"Maaf—maaf, cepat lanjutkan sarapannya."
Aku menarik piring yang terdorong tadi. Selagi aku menyuap makanan ke mulut, otak ini masih memikirkan perkataan Mom baru saja.
Jadilah pahlawan yang selalu melindungi Yukina.
.
.
Pemandangan jutaan air dan puluhan manusia telah terpampang jelas di depanku, warna air laut yang biru itu membuat kedua bola mata ini benar-benar terpana. Sekarang aku mengerti kenapa tempat yang manusia huni ini dijuluki Blue Marbles.
"Mave!! Ayo kita buat istana pasir bersama!?" Mom memanggilku yang sedang berdiri terpatung.
Aku berjalan mendekati Mom yang sedang menyiapkan beberapa alat untuk membuat sebuah mahakarya. Di sampingnya ada Yukina yang memakai pakaian renang berwarna biru, dia benar-benar menawan. Kemudian ada Dad yang masih mengenakan kemeja dan celana hitamnya duduk di pasir pantai.
Kenapa aku ingin memaki tingkah laku kekanakkan Dad, ya?
"Dad!? Kenapa kau duduk di pasir mengenakan pakaian itu? Nanti kasihan Mom yang mencuci bajumu kan?"
Dad berdiri dan menghampiriku, "Lihat dirimu sekarang, kau jadi anak yang baik, ya?" Dad mengelus-elus kepalaku.
"Duh—jangan elus-elus kepalaku, Dad!? Aku bukan anak kecil lagi. Coba lihatlah otot yang tumbuh ini."
Aku lantas memamerkan otot yang sudah terbentuk di tubuh selama berlatih beladiri bersama Dad.
"Mave, apa kau masih berlatih selama ayah pergi?"
Pekerjaan Dad sebagai Walikota memang memiliki resiko ditinggal pergi terus, tapi itu tak masalah bagiku.
"Tentu saja. Aku akan melindungi adikku itu yang payah dan lemah!"
"Hehe, bukan begitu cara pamer otot, lihatlah cara Dad menunjukkan otot yang terlatih ini!!"
"Coba tunjukkan kepadaku, Dad!!" Aku tersenyum dengan mata yang berbinar.
Dad melepaskan kancing kemejanya satu-persatu, kemudian dengan kerennya dia melemparkan kemejanya itu ke udara. Saat kemeja yang masih mengudara itu, dia memanfaatkan kesempatannya untuk menunjukkan otot terlatih itu dengan berbagai gaya.
Otot yang indah, lelaki yang perkasa, itu adalah ungkapanku kepada Dad sesaat sebelum wanita itu mencubit pipinya.
Mom. Dia adalah wanita yang perkasa, melebihi siapa pun di dunia ini. Bahkan Dad yang memiliki otot baja itu, tidak akan bisa melawan jurus-jurus andalan dari Mom.
"Apa yang kau coba tunjukkan pada Mave? Lihat bajumu sekarang!!" Mom terlihat memarahi Dad.
"A—Aku hanya mengajarkannya bagaimana cara menunjukkan otot lelaki yang benar, kok!"
"Biar aku tunjukkan cara mengatasi lelaki yang seperti itu, You juga boleh melakukannya jika Mave nakal, ya!" Mom mengeraskan cubitan itu di pipi Dad.
Dad yang malang.
Tunggu—sial, Mom tadi telah memperbolehkan Yukina untuk mencubitku jika aku nakal kepadanya, bagaimana ini?
"Sakit, Mom ...." Dad merengek kesakitan.
Mendengar suaminya merengek, Mom langsung melepaskan cubitannya pada Dad.
"Istana pasir adalah masterpiece kita akhir nanti, sekarang kita mau main apa?" Dad menanyakannya kepada kami bertiga.
"Voli pantai!!" Suaraku, Yukina, dan Mom menjawab pertanyaan itu secara serentak.
Dalam lubuk hati yang terdalam, aku meminta dan memohon kepada Tuhan. Dengan perasaan yang sangat senang karena diberi keluarga baru yang tidak kalah baik dengan keluarga lama, aku berbicara kepada Tuhan.
"Tolong jadikan hari ini adalah hari terbaikku."
●●●
Akhirnya setelah bermain-main bersama di pantai tadi, kami akan menginap di rumah Oji yang letaknya 15 menit dari pantai jika berjalan kaki, tapi hanya beberapa menit jika memakai mobil.
"You, Mave, apakah tadi menyenangkan?" tanya Mom.
Aku mengangguk kepadanya, sementara itu Yukina terlihat aneh.
"Yukina?"
Yukina menoleh ke arahku, "Tadi menyenangkan, kok," sambungnya.
"Bicaranya ke Mom, bukan kepadaku!?"
Dia ini, bisa saja ya membuatku naik darah!!
"Hahaha kalian berdua masih saja belum akur, ya?" Dad memasuki pembicaraan.
"Tentu saja!!" Aku dan Yukina mengatakan hal tersebut dengan bersamaan.
"Lihat, kalian cocok jadi sepasang kekasih, benar kan, Mom?"
"Benar sekali, mereka sudah seperti kekasih yang bertengkar karena saling sayang."
Pandangan Mom dan Dad masih tertuju ke depan, sehingga mereka tidak menyadari efek dari ucapan yang baru saja terlontarkan. Wajahku kini memanas seakan terbakar api bersuhu ribuan derajad. Apa-apaan ucapan Mom dan Dad itu?!
Aku mengarahkan penglihatan ini ke Yukina—wajahnya merah sekali.
Sangat merah. Tidak salah lagi, rasa panas yang kualami juga berefek pada Yukina.
"Mom, Dad, sepertinya Yukina sakit."
"Apa?!"
Dad langsung menghentikan mobil ini dan melihat ke arah Yukina, begitu juga dengan Mom. Namun, mereka malah hanya tertawa setelah melihat Yukina.
"Mave, apa kau mau ilmu baru dari Dad?" tanya Dad.
"Ilmu baru? Tentu saja aku mau."
"Baiklah, ilmu barunya adalah tentang wanita. Ketika wanita merasa dirinya malu, maka wajahnya akan memerah. Jauh lebih merah daripada lelaki, kau paham?"
Aku menganggukkan kepala berkali-kali. Pantas saja, aku merasa tadi wajahku memanas, tapi kurasa tidak menghasilkan warna merah seperti pada wajah Yukina.
"Jangan ajari anakku yang polos itu jadi mesum, ya!?" Mom mencubit kembali pipi Dad.
"You, kau tidak apa-apa? Kau tidak perlu menganggap ucapan Mom tadi, itu hanya gurauan."
"Mom, kenapa sekarang wajahku sering merasa panas ketika Ricky melihat ke arahku? Dia sudah seperti setan saja!!"
"Hah?!" geramku kesal.
Apa maksud dari perkataannya itu? Aku bukan setan, sialan!!
"Itu wajar, kau hanya lelah You." Mom mengelus kepala Yukina.
●●●
"Kita sampai di rumah Oji," ucap Dad.
Aku turun dari mobil menuju ke rumah tua yang sepertinya akan segera roboh jika terkena gempa besar.
"Dad, bukankah rumah ini akan roboh?" tanyaku.
"Sembarangan kau!! Tapi memang sepertinya begitu ... sih. Sudahlah jangan khawatir, jika rumah ini roboh, Dad dan Mom yang akan menahannya."
Menahan rumah ini? Memangnya kalian ini pahlawan yang memiliki kekuatan super seperti manusia hijau Hulk?
Aku melihat keluargaku sudah masuk ke dalam rumah tersebut sementara tubuh ini masih berada di sebelah mobil, tepatnya di pintu pagar rumah. Benar, rumah di depan itu milik Oji sebagai hadiah dari presiden karena telah berjasa dalam Insiden 1962. Kakekku adalah seorang veteran militer yang mengabdi kepada negara ini.
Insiden itu bercerita tentang penyanderaan 30 warga sipil oleh teroris di acara pasar malam kota ini. Dad berkata bahwa Oji beserta rekannya ditugaskan untuk mengatasi masalah tersebut dan berhasil. Tak lama kemudian, Oji beserta rekannya memiliki peran penting di negara ini dan akhirnya pensiun dengan jabatan Letnan Jendral.
Mata ini kemudian menatap ada ayunan lama di samping rumah, aku menghampirinya dan duduk di atasnya. Rumah ini sudah kosong, hanya tersisa kenangan bersama Oji dan Oba saja. Aku hanya ingin melihat rumah ini ramai seperti 4 tahun yang lalu, tapi sekarang mereka sudah pergi menyusul Mom lama ke surga.
"Ricky? Kenapa kau tidak masuk?" Suara itu terdengar dari belakangku.
"Aku hanya tidak ingin kembali ke sini, setiap aku melihat bangunan itu, bayangan Oji dan Oba akan terlintas di pikiranku."
"Maaf ya, Ricky, karena aku dan Mom sudah berbohong padamu."
Tumben sekali Yukina berbicara dengan nada selemah dan selembut ini.
"Tidak usah dipikirkan, meskipun kau bukan adik kandungku, aku akan selalu menjagamu dan meletakakkan dirimu di hati ini."
"Iya. Makasih ... Mave."
Mave?
Baru kali ini dia memanggilku dengan nama itu. Aku melihat ke arahnya, dia tak melihat ke arahku melainkan menatap lurus ke depan dengan warna wajah yang memerah.
Aku tersenyum melihatnya, baru kali ini hati ini bisa tersenyum tulus kepada Yukina. Selama ini aku tidak pernah merasakan hatiku yang begitu nyaman karena sikap brutalnya. Namun senyum itu perlahan hilang ketika aku mulai merasakan hawa aneh di sekitar.
Burung-burung berkicau hebat dan beterbangan tak karuan. Tiba-tiba, tanah di bawahku mulai bergetar dengan kencang, benar sekali bahwa sedang terjadi gempa bumi di sini.
Tanpa pikir panjang, aku langsung meraih tangan Yukina dan berlari menuju ke area terbuka.
Apa gempa bumi bisa sebesar ini?
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!
Creation is hard, cheer me up!