♦
Ⅱ
♦
Setelah melewati masa-masa yang menegangkan, akhirnya aku dan Libiena bisa memiliki waktu berdua. Kami sedang berada di ruang auditorium untuk menjaga adik tingkat tetap diam selama penyampaian seminar. Tuhan memihak orang baik di sini—aku menang undian dan bisa berjaga bersama Libiena.
Sempurna.
"Rii, kenapa kau tadi tidak membalasnya?" Libiena berbisik kepadaku.
Mungkin membalas yang dia maksud di sini adalah tentang perkelahianku dengan adik tingkat yang sombong tadi pagi. Dia memukul wajah tampan ini karena aku menegurnya dengan keras.
♦
5 JAM SEBELUMNYA
♦
"Bagi yang tidak membawa peralatan lengkap, mohon maju ke depan. Jika tidak jujur, kami akan memeriksanya sendiri!!" Aku berbicara kepada para adik tingkat di depan.
Untung saja You sudah beli kemarin .... Fyuuh ....
Satu per satu adik tingkat yang tidak membawa peralatan yang sudah diperintahkan mulai maju ke depan. Otak ini mulai memberi isyarat kepada jariku untuk menghitungnya. Total ada 27 adik tingkat yang berbaris di samping mimbar ini.
"Sudah cuma segini?! Jika saat tim kami mengecek dan ada yang tidak jujur, jangan salahkan kami nanti jika berbuat tegas!!" Aku kembali mengeluarkan suara dengan tegas.
Tim Komdis mulai mengecek adik tingkat yang sedang berbaris di depanku, sedangkan adik tingkat di samping itu masih belum bertambah.
Aku yang sedang berada di mimbar, ditambah dengan tinggi badan yang menguntungkan, tentu saja langsung menggunakan indra penglihatan. Secara spontan, mataku tertuju kepada adik tingkat yang dari tadi sepertinya ... memandangiku dengan tidak senang. Aku melakukan pemindaian kepada orang itu—hasilnya, dia tidak memakai sabuk, yang berarti dia melanggar peraturan.
Aku memberikan megafon yang sedang berada di tangan ini kepada Libiena yang ada di samping, kemudian langsung menghampiri orang yang sudah kutandai tadi.
"Kenapa kau tidak maju? Kau tidak memakai sabuk." Aku menatap lelaki di depan mataku dengan tegas.
"Kenapa? Hanya sabuk, masa depanku tidak akan suram hanya karena tidak memakai sabuk yang tepat." Lelaki itu membalas pandanganku dengan sengit.
Dia sombong, aku bisa merasakannya dari kata yang baru dia ucap. Memang masa depanmu tidak akan berubah hanya karena sebuah sabuk, tapi sebuah kata disiplin yang akan mengubah masa depanmu.
Memangnya kau sudah bisa menjamin akan bekerja sendiri? Ini hanya masalah sabuk, jika dia tidak bisa manaatinya, tentu saja kelak dia akan bermalas-malasan terhadap peraturan.
"Disiplin, satu kata itu yang akan mengubah masa depanmu. Jika kau tidak bisa menerapkan disiplin, masa depanmu juga akan terpengaruh."
"Banyak omong. Aku tidak peduli, bangsat!!"
"Jaga sopan santunmu!"
"KENAPA?! MAU BERKELAHI?! AYO, AKAN AKU LAWAN!!"
Adik tingkat yang lainnya mulai mengarahkan pandangannya kepada kami, aku tidak ingin membuat masalah di kehidupan baru ini.
"Aku tidak perlu melawanmu, cepat baris di depan!" Aku menarik lengannya dengan agak paksa.
Dia terus melawan genggaman ini, saat sudah sampai di depan, aku baru melepaskannya. Namun—
"Lepaskan aku, brengsek!!!" Sebuah pukulan mendarat di pipiku.
Aku sebenarnya bisa melihat pukulan itu, akan tetapi aku membiarkannya memukul wajah ini. Pukulannya juga tidak terasa karena aku telah memutar beberapa derajat wajah ke samping, jadi hanya sekitar 40% pukulan yang dirasakan.
"Hei apa yang kau lakukan pada kakak tingkat?!" Suara itu bisa kudengar dari segala arah.
"Kau pikir aku akan membalas pukulan ke wajahmu? Aku tidak sebodoh itu. Kau pasti akan melaporkanku melakukan tindak kekerasan kan jika aku membalasmu?" Aku menatapnya dengan sedikit marah.
Jujur saja, aku baru pernah merasa seperti ini semenjak kehidupan baru ini. Aku merasa marah kepada adik tingkat ini.
Sebenarnya aku ingin membalasnya, tapi sayangnya belum mengingat teknik MMA yang pernah kupelajari.
Aku masih menatapnya. "...."
Ah—aku tiba-tiba ingat salah satu teknik bantingan untuk melumpuhkan lawan.
"Hei kau bodoh, ya? Bisa-bisanya kakak tingkat kau pukul."
"Dia memang bodoh, cari masalah sama kakak tingkat, Komisi
Kedisiplinan lagi, cari mati dia!!"
"Dia itu ketuanya malahan, bodoh!?"
Suara adik tingkat malah tambah membuat suasana tidak kondusif, aku harus segera menyelesaikan masalah ini.
Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
Lawan saja, deh ... dia juga menyebalkan, bodoamat dengan dosen yang bakal marah!!
Lelaki itu masih di depan, tingginya lebih rendah dariku dan tangannya masih mengepal, wajahnya seolah mengeluarkan semua kekesalannya kepadaku.
Aku memegang bahunya dan mulai menggerakan kaki ini untuk melakukan sapuan. Kemudian badannya kuangkat dan kujatuhkan, terakhir tangan ini melindungi belakang kepalanya agar tidak terbentur ke tanah.
Ko Uchi Gari
Itu dari beladiri Judo. Aku tiba-tiba mengingat cara melakukannya. Aku melakukan hal tersebut hanya untuk memberinya teguran, aku tidak menyakitinya sedikit pun. Semua orang sepertinya sedang kaget dengan apa yang kulakukan, hal tersebut dibuktikan karena tidak ada satupun suara berisik yang terdengar lagi.
"Hebat, ketua Komdis memang hebat." Suara itu terdengar di seluruh penjuru lapangan fakultas.
Aku menarik tangan lelaki itu untuk berdiri dan menyuruhnya untuk berbaris.
"Kau belum cukup kuat untuk berkelahi denganku, tenangkan kepalamu, apa susahnya baris di depan." Aku berbicara dengan pelan kepadanya.
Tanpa jawaban, dia hanya berlari menuju barisan di depan.
Ada-ada saja kejadian pagi hari ini, untung saja aku tidak langsung memukulnya. Akan berbeda cerita jika aku memukul wajahnya, terutama You pasti akan langsung mengomel saat pulang nanti.
♦
SAAT INI
♦
Aku menarik napas untuk menjawab pertanyaan Libiena baru saja, tentu saja kami saling berbisik.
"Tidak perlu, aku sudah memberinya pelajaran kan padanya?"
"Maksudmu bantingan itu? Aku tidak habis pikir kenapa kau membalas sebuah pukulan hanya dengan bantingan?"
"Hei, kan kau sendiri tadi yang memberi arahan untuk tidak melukai peserta ...."
"Hehe ... aku lupa."
Penyakit lupa You sudah berpindah rupanya.
"Lagi pula, pukulan lelaki tadi tidak sakit, bahkan lebih menyakitkan cubitan You." Aku tertawa kecil.
"Hee ... jadi cubitan Yuukiho lebih sakit? Mau coba cubitanku?" Libiena mencubit lenganku.
Aduh—wanita ini sudah sedikit gila. Dia beneran mencubitku dengan keras, padahal aku kira ucapan baru saja adalah sebuah pertanyaan. Rasa sakit yang dialami lengan ini seolah menyebar ke seluruh anggota badan. Sifatnya memang sama seperti You, kerjaannya hanya bercanda saja denganku.
"Hei Libiena, sakit tahu! Kita sedang dalam tugas, sstt!" Aku mengangkat tangannya itu dari lenganku.
"Ehehe bercanda, Rii." Libiena mengadopsi senyuman di wajahnya.
Sungguh, senyuman yang dia miliki itu sama seperti milik You. Jika aku harus memilih senyuman mana yang terbaik di antara mereka, aku akan memilih mereka berdua.
Sudah jelas dan pasti.
●●●
Aku bergegas mencari You ketika istirahat sudah diperbolehkan. Hanya 30 menit waktu istirahat yang diberikan, berarti aku harus bisa mencari You secepatnya. Libiena tidak menyertaiku karena dia akan memesan tempat di kafetaria untuk kami bertiga.
Ketika aku mulai menaiki tangga menuju ke gedung tempat You mendengarkan seminar, terdengar samar-samar suara yang aneh. Aku mendekati sumber suara itu, huh adik tingkat?
Sedang apa dia menundukkan kepalanya itu? Menangis?
Aku menghampiri wanita yang sedang duduk di anak tangga dengan memegang kakinya. "Hei, kau tidak apa-apa?"
"Kak Maverick, sudah lama, ya?"
Wanita ini mengenaliku? Mungkin karena pertikaian tadi pagi. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Eh—kau tak mengenalku, Kak?" tanyanya.
Pertanyaan klasik. Berapa banyak orang yang sudah dilupakan otak tak berguna ini, sih?
"Maaf, aku tidak tahu siapa kau," balasku.
Wanita itu memandang kakinya kembali. Sepertinya Wanita itu memiliki masalah di kakinya.
"Maaf, Kak Maverick, aku tidak bermaksud seperti itu. Tolong jangan marahi aku, Kak."
"Tidak apa, kenapa kau menangis?"
"Aku tadi terkilir saat ingin turun ke bawah, Kak, orang-orang berdesakkan menabrakku." Wanita itu mengusap matanya dan menatap ke kakinya.
Aku duduk di samping wanita itu. "Boleh kulihat mana yang sakit?"
"Ini, Kak." Dia menurunkan stokingnya dan menunjukkan letak lukanya.
Benar-benar berwarna ungu.
"Itu harus segera di bawa ke Ruang Kesehatan! Untuk masalah kegiatan setelah ini, kau lapor saja pada petugas di Ruang Kesehatan nanti, ya!"
"Baik, Kak."
Aku sebenarnya ingin meninggalkannya karena tujuanku ke sini hanyalah untuk menjemput You. Namun hati ini tidak tega, meninggalkan seorang wanita di sini sendirian dan kakinya yang sedang terkilir. Mau tidak mau, aku harus membantunya sampai ke ruang kesehatan.
"Ayo aku bantu ke ruang kesehatan, tapi sebelum itu, kau tahu di mana adikku? Sepertinya dia masuk di kelompok 12."
"Ah aku tahu, dia sepertinya masih ada di atas, Kak."
Aneh. Dia menjawab itu tanpa sedikit keraguan, seolah-olah dia mengetahui bahwa aku akan menanyakan pertanyaan itu.
"Baiklah kau tunggu di sini dulu, aku akan kembali lagi setelah menemukan adikku. Jangan takut, aku hanya tegas jika itu diperlukan." Aku berdiri dan mulai berjalan menuju ke atas.
"Te—terima kasih, Kak Maverick."
Sama-sama, Dik ....
Aku malah lupa bertanya siapa namanya. Nanti saja saat You sudah ditemukan.
●●●
"You, akhirnya ketemu juga. Ayo kita makan siang sama Libiena di kafetaria!" Aku menghampiri You yang sedang terduduk di bangku belakang sebuah ruangan.
Wajah You langsung senang, dia berlari memelukku, "Huhu, aku sangat kesepian, Mave. Aku ingin terus bersamamu, Mave," curhatnya kepadaku.
Dasar ... padahal aslinya hanya ingin jahil kepadaku, kan?
"Sudahlah, sekarang waktunya makan bukan bersedih." Aku menuntun You ke luar ruangan.
"Kau kenapa sendiri? Libiena mana?"
"Libiena sedang memesan tempat untuk kita, katanya kafetaria akan langsung penuh jika tidak dipesan."
"Oh begitu ...."
Aku berjalan menyusuri anak tangga, baru beberapa melangkah, aku teringat akan adik tingkat yang terkilir tadi.
Gawat—bagaimana mungkin aku melupakannya?
"You, ayo ikut aku!"
Aku menarik tangan You berbalik menuju ke atas dan mengambil tangga di sisi lain.
"Mave, kenapa?"
"Aku lupa sesuatu."
Aku akhirnya bertemu dengan wanita itu, dia masih sama seperti awal tadi. Kakinya masih belum bisa bergerak.
"Siapa dia, Mave?" You menatapku—wajahnya sedikit kesal.
Calon pacar ketigaku ... tentu saja bukan, lah!!
"Dia perlu bantuanku, kalau kau ingin membantu juga tidak apa- apa." Aku mulai memapah wanita itu.
"Aku ikut di belakangmu saja, Mave," balas You singkat. "Baiklah, jangan sampai tertinggal, You!"
"Ya."
Apa-apaan itu? Hanya 'Ya'?
Tangga ini memiliki karakteristik memutar, sehingga di tengahnya akan terdapat ruang kosong, itu tentu saja berbahaya.
Tangan kanan ini memapah wanita itu, lebih tepatnya dia yang menitikberatkan tubuhnya ke sisi kanan tubuhku. Ini mungkin sangat merepotkan bagi orang lain untuk membayangkannya.
"Omong-omong, namamu siapa, Dik?" tanyaku. "Miyu, Kak," jawabnya singkat.
Jadi namanya Miyu. Aku bisa melihat wajahnya saja selain yang cantik, sepertinya hatinya juga cantik. Namun kenapa dia mengalami hal yang buruk begini?
Eh—bukankah matanya itu mirip dengan Libiena? Warnanya ungu.
"Kelompok berapa?"
"Kelompok 5, tapi aku tidak suka dengan orang-orangnya." Miyu menuturkan keluh kesahnya.
"Kenapa?"
"Sok jagoan, Kak, ada yang sombong banget. Kalau boleh kuberitahu, tadi yang memukul Kak Maverick itu anggota kelompokku."
Jadi dia kelompok 5? Ah—aku sih tidak peduli dengannya.
"Satu hal yang paling penting adalah kau jangan ikut-ikutan mereka menjadi sombong, Miyu."
"Kak Maverick ternyata berbeda dengan yang tadi pagi, aku jadi tidak percaya dibantu sama ketua Komdis." Miyu menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Aku hanya melakukan tugasku saja, selebih itu, inilah sifatku yang asli."
"Pembohong!!" ucap You dari belakang.
You? Kenapa kau?
"Kak Maverick itu tadi sangat keren, melumpuhkan musuh tanpa memukul. Aku sungguh terpesona." Miyu mengabaikan teriakan You.
Bagaimana mungkin aku bisa memukul adik tingkat sendiri, jika memukulnya saja akan menimbulkan masalah. Terlebih lagi, aku baru mengingat teknik itu saja. Mungkin tepatnya, daripada menembak musuh dengan pistol, menggunakan katana akan lebih efisien. Singkatnya adalah … mengurangi resiko hukuman.
"Hanya teknik itu yang baru kuingat," ucapku.
"Jadi begitu ...." Miyu tidak berniat menanggapiku dan malah bergumam sendiri.
"Kenapa?" tanyaku keheranan.
"Ingat? Memangnya Kak Maverick kenapa?" Miyu mengalihkan pandangannya kepadaku.
Aduh—keceplosan, mulut ini kenapa tidak bisa menjaga rahasia, sih!!
"Eh maksudku, aku baru ingat teknik yang efektif untuk melumpuhkan lawan selain memukul." Aku tersenyum kepadanya.
"Oh begitu ...."
Fyuuh ....
Untung saja dia tidak curiga. Pokoknya aku harus bisa berimprovisasi untuk menutupi hilang ingatan ini.
Aku masih menuntun Miyu untuk menuju ke ruang kesehatan. You masih berada di belakang, kenapa dia tidak membantu? Dari tadi juga dia hanya sekali saja mengeluarkan ocehannya, apa dia takut dengan Miyu?
●●●
Lima belas menit telah terlewat di jam istirahat ini, aku dan You sudah berada di kafetaria 5 menit yang lalu. Dua orang di depan tidak menyapaku sama sekali, itu tentu saja tidak wajar.
Kenapa mereka berdua? Padahal tadi juga baik-baik saja, kenapa wajah mereka tampak mengerikan?
"Hei kalian berdua bicaralah, ada apa?" Aku menatap mereka satu per satu.
"...." Mereka berdua saling bertukar pandangan dan menganggukkan kepalanya.
"Apa aku membuat kalian marah?"
"...." Mereka berdua hanya menatapku tajam dan menganggukkan kepalanya.
Apa?!!
Kapan aku membuat mereka marah? Bukannya sebelum makan siang ini kondisi mereka masih stabil? Apa yang merasuki mereka berdua?
"Tolong bicara apa salahku, di mana tepatnya?" "Mendekati wanita lain!!" ucap mereka bersama.
Hati mereka ini sudah diikatkan tali, ya? Kenapa mereka bisa kompak jawabnya? Lalu, mendekati wanita lain itu siapa? Bukannya aku hanya bersama kalian saat ini?
"Siapa?" tanyaku kebingungan.
"Cewek yang kau tolong di tangga itu, lah!! Kenapa kau menolongnya? Seharusnya dia bisa sendiri." You menatapku garang.
"Benar apa kata Yuukiho, meskipun aku tidak ada di sana, tapi wanita itu sudah memegang anggota tubuh Rii. Tidak bisa dimaafkan!!" Libiena mengetuk sendok ke meja dengan keras.
Mode mereka berubah lagi, padahal tubuh mereka hanya sebesar anak SMP, tapi justru hati ini lebih takut kepada mereka daripada pria yang memukulku tadi.
"Sshh!! Jangan pancing keributan. Baiklah ... maafkan aku, Miyu tadi hanya membutuhkan bantuanku. Kakinya sudah membiru parah, dia tidak bisa turun sendiri."
"Lihat, dia bahkan sudah memanggilnya dengan nama. Hmph!!" You itu menyilangkan tangannya dan membuang mukanya terhadapku.
Sementara itu, wajah Libiena terperangah menatapku. "Mi—yu?"
"Iya, namanya Miyu. Kenapa?"
Libiena menunduk. "Tidak apa, hanya tidak senang kau mendekati perempuan lain."
Ah sialan!! Kenapa jadi begini? Aku tidak tahu masalah sekecil itu bisa membuat mereka marah sebesar ini. Bagaimana ini?
"Maaf, aku hanya tidak tega melihatnya terdiam sendiri. Tidak ada orang yang melewati tangga itu saat aku melihatnya. Dia sedang menangis tadi, aku paling tidak suka melihat wanita menangis." Aku berusaha meyakinkan mereka.
"Jika itu alasanmu, aku tidak bisa berkata apa-apa. Padahal Rii hilang ingatan, akan tetapi kebaikanmu tidak pernah hilang, ya." Libiena memberiku sebuah senyuman, terpaksa?
Satu masalah beres, sisa satu lagi. Aku menatap You.
"Yah, sebenarnya aku juga kasihan padanya. Tapi kenapa dia bisa terluka seperti itu dan kenapa dia bisa ada di tangga yang sepi, hal itu masih berputar di otakku. Tapi aku memaafkanmu Mave." You mulai mengeluarkan senyumannya itu, terpaksa lagi?
Syukurlah. Dua wanita di depanku masih bisa menyerahkan senyumannya. Napas ini kembali mengatur temponya.
"Ayo makan! Sebentar lagi sudah selesai waktu istirahat," ucapku.
Selama menikmati makanan yang tersajikan di depan mata, kami bertiga hanya saling memandang satu sama lain tanpa ada pembicaraan. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah membuat dua wanita mengeluarkan taringnya, oleh karena itu diam adalah emas.
"Mave, setelah ini kau di mana?" tanya You memecah kesunyian.
"Aku bersama Libiena akan berjaga di gedung B, kalau tidak salah acara kuliah umum."
"Wah … jadwal kelompokku juga di gedung B setelah ini. Ayo pergi ke gedung B." You mulai berdiri dari kursinya.
"Yuukiho, makananmu tidak habis itu. Makan brokolinya, tidak baik menyisakan makanan!" Libiena menahan lengan You yang juga hendak melangkahkan kakinya.
You memutar kepalanya ke samping secara terpatah-patah, lebih tepatnya menatap sebuah piring berisi tanaman hijau itu, "Aku ... tidak suka brokoli," tuturnya.
Telinga ini masih memroses sebuah kalimat yang baru saja dilontarkan wanita kecil pirang itu.
Ha? Puhahaha!! Sial!!
Aku tidak bisa menahan tawa di hati ini. Ternyata You juga memiliki kelemahan yang tidak jauh konyol dariku. Dia tidak suka makan brokoli, rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak.
"Buka mulutmu, aaa ...." Libiena memaksa You untuk membuka mulutnya.
"Argh—bueh—ueh, tidak enak!!? Kenapa harus ada yang namanya brokoli di dunia ini?!!" You memuntahkan brokolinya itu di piring.
Aku dan Libiena tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi lucu yang dikeluarkan You, akhirnya kami berdua tertawa dengan terbahak-bahak. Wajah You itu, ketika dia memejamkan mata dan menggosok lidahnya dengan sendok membuatku ingin tertawa hingga perut terasa sakit.
Apa-apaan muka itu!!
Dasar You aneh.