Pagi harinya jasad La Besi telah sampai di Tosora dan dimakamkan di Pemakaman Umum. Temmalara dan Prajurit lain, khususnya yang menangani masalah ini ikut mensholati jenazah. Berita tentang kematian Juragan La Besi menyebar luas sangat cepat bahkan sampai ke Kerajaan tetangga.
Di mata Temmalara, mungkinkah ini pertanda bahwa Kerajaan Wajo gagal menjamin keamanan rakyatnya serta menegakkan hukum.
Sebelum Temmalara dan yang lain mulai berangkat, perintah datang dari garisun bahwa Unit Kapten Karassa sepenuhnya ditugaskan dalam misi polisionil untuk segera menemukan dan memburu pelaku pembunuhan hidup atau mati.
"Dari kertas ini, tidak ada toleransi kalau kita gagal menangkap pelaku. Nama baik Unit 5 Totinco berada di ujung tanduk, kita sepertinya perlu merombak ulang rencana," ujar Karassa.
"Tidak perlu Kapten keputusan tadi sudah tepat," balas Temmalara.
"Sebentar sepertinya Kapten ada benarnya. antara Keluarga dan Pelayan," sahut Anakbatu.
"Benar juga tapi mereka itu orang kaya kenapa tidak sewa saja pembunuh bayaran," ucap Mario.
"Kau ini bodoh Mario haha sama bodohnya dengan pembunuh itu," sahut Data.
"Apa maksudmu hah Data!?" balas Temmalara.
"Tidak ada lidahku hanya terpeleset tadi, sekarang apa kau mau badikku yang nanti menyasar sendiri menancap lehermu?" tanya Data.
"Sudahlah kalian berdua dari tadi seperti Anak Kecil saja, ambil benang merah dengan kepala dingin!" bentak Ujung.
"Bukannya mendapatkan petunjuk kita malah bertengkar seperti anak kecil, Ujung menurut pendapatmu bagaimana?" tanya Karassa
"Kalau menurutku kita ikuti saja saran Temmalara tadi," jawab Ujung.
"Kapten begini saja, bagaimana kita tidak usah mengurus pembunuhan ini lagipula mayat Juragan sudah ditemukan. Lebih baik kita ramai-ramai minta ke Markas untuk berganti tugas saja Kapten," sahut Data.
"Data di mana pengabdianmu, menegakan hukum adalah tugas kita sebagai tentara. Kita harus hukum qishas dia jika tidak kepercayaan masyarakat akan turun dan pembunuhan akan merajalela dikemudian hari. Orang-orang bisa membunuh tanpa tertangkap." timpal Karassa.
"Temmalara kenapa kau malah diam saja," sahut Ujung menegur Temmalara yang sedang melamun.
"Ah maaf Kapten dan maaf Kak Ujung. Aku sempat terpikirkan kalau kita rubah rencana. Kita sebar anggota Unit 5 satu persatu untuk mencari informasi dan menanyakan kepada para pelayan yang pernah melayani La Besi," ujar Temmalara.
"Sama saja kembali lagi ke awal, benar kataku tadi," balas Karassa.
"Jadi kau sudah memutuskannya Kapten?" tanya Ujung.
"Benar Ujung, nanti aku sendiri yang akan melapor kepada Bate Lompo (Setingkat Jendral dalam pemerintahan Kerajaan Wajo bertanggung jawab langsung kepada Petta Ennengnge atau Tuan yang Enam). Mungkin kalau kita berhasil menangkap pelaku kita akan diberikan hadiah oleh sang Bate Lompo atau Tuan yang Enam. Apalagi La Besi adalah bangsawan terpandang," ucap Karassa.
"Hehe Temmalara jangan kau melupakan tambahan istimewa untuk kami nanti," sahut Mario tersenyum sinis pada Temmalara sambil mengacungkan jempol.
"Kurang ajar..." balas Temmalara.
--
Temmalara dan Ujung bergegas menuju Wanua Palippu sedangkan Mario dan lainnya bertolak ke Wanua Totinco. Anak buah Karassa dikerahkannya semua untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang La Besi.
Sebelum keluar dari Kota, Temmalara menyempatkan dirinya untuk mampir lagi ke tempat informan untuk menanyakan beberapa informasi. Meskipun telah membayar cukup mahal, jawaban yang didapat sangat mengecewakan.
Ketika mereka baru saja keluar dari Gerbang Benteng, seorang pria paruh baya yang senang berkata kasar berteriak memanggil namanya. Pria itu begitu dikenali oleh Temmalara, berperawakan kurus berkumis lebat dan postur tubuh yang agak bungkuk.
"Hoy lama kita tidak berjumpa! haha jangan bilang kau masih perjaka!" teriak Sero dari belakang.
"Siap Paman Sero! Letnan Gagak Hitam!" balas Temmalara berbalik arah menemui Sero.
"Kenapa kau ini!?" sahut Ujung sempat tersandung batu ketika hendak mengikuti Temmalara ke belakang.
"Jadi bagaimana dengan Kelompok Gagak Hitam Paman?" tanya Temmalara.
"Oh... aku pikir setelah menjadi Bangsawan kau tidak ingat kami lagi. Tenang saja kami masih bersenang-senang di Pitumpanua. Uang hasil pertempuran kemarin masih cukup namun kami bosan dan menawarkan jasa keamanan. Kau tahu Temmalara, ada banyak yang meremehkan Gagak Hitam di Kerajaan ini."
"Hah! pasti kalian tidak dibayar karena gagal menangkap Pencuri Sapi milik Saudagar Wanua Kera kam? menyewa mantan perampok seperti kalian tidak ada gunanya. Apa jangan-jangan kalian ikut membantu mereka mencuri sapi ya?" tanya Ujung tersenyum sinis.
"Heh! memangnya kalian yang bekerja tanpa pamrih seperti orang bodoh." jawab Sero.
"Jangan salah Paman Sero, kami bersemangat menyelesaikan perintah markas karena pasti mendapat upah dan hadiah yang menggiurkan dari Tuan yang Enam. Karena itu menurut Paman, siapa yang membunuhnya. Paman pasti sudah dengar dari Pedagng yang lewat, berita pembunuhannya sedang ramai dibicarakan semua orang," sahut Temmalara.
"Haha kau pikir aku percaya denganmu Perjaka naif. Hanya orang bodoh yang asal-asalan membunuh sampai-sampai bisa meninggalkan jejak yang dapat ditelusuri oleh kalian. Kami dulu merampok dengan senyap, menghabisi kalian-kalian ini tanpa tersisa. Tidak apa kan jika Paman ini bercerita sedikit."
"Temmalara dia yang membunuh Ayahku, seharusnya kepalanya sudah dipancung!" bentak Ujung kepada Temmalara.
"Hah! bagaimana..." balas Temmalara kebingungan.
"Ayahmu tewas karena dia terlalu lemah. Saat kami sedikit lebih tua darimu Temmalara, aku Pemimpin Gagak Hitam yang melakukan perampokan sadis di Palopo Kotaraja Luwu. Karena Wajo lebih kaya dari Luwu, kelompok kami beralih ke Kerajaan ini. Sialnya si Tenrilai yang masih bocah waktu itu terlalu hebat dalam strategi maupun pertarungan satu lawan satu. Tidak seperti Ayahnya orang itu haha!" ujar Sero langsung mengarahkan badiknya yang terhunus kepada Ujung.
Temmalara hanya diam melihat wajah Ujung yang telah memerah. Ingin sekali ia membalas perbuatan Sero, namun diluar dugaan Ujung hanya menarik nafas panjang lalu tersenyum sinis.
"Jangan bilang kau takut mengeluarkan badikmu?" tanya Sero.
"Kami adalah Prajurit yang menjaga stabilitas Wajo. Jikalau kami bertindak tanpa berpikir, lantas apa bedanya kami dengan Perampok seperti kalian!" jawab Ujung.
"Hoho tanpa pengampunan kejahatanku oleh Puang kalian, kau pasti tidak akan segan-segan lagi mengeluarkan badikmu dari warangkanya haha. Kau tahu Prajurit Muda, yang mengancam Bangsawan dan Dewan Adat di Wajo agar memberikan Gagak Hitam pengampunan adalah aku. Arung Matoa tidak memiliki kekuatan sebesar Datu Luwu."
"Jangan dengarkan si korup sialan itu," sahut Ujung.
"Paman kami pamit dulu," ujar Temmalara.
"Baiklah tapi sebaiknya kalian semua yang bekerja di Militer bercermin dulu haha! kau juga Perjaka cepatlah dewasa!"
--
Wanua Totinco
Jarak dari Tosora menuju Kampung Raya Totinco memakan 1/6 hari perjalanan demgan berjalan kaki. Di Wanua ini, rerumputan banyak menutupi jalan setapak dan bebatuan berserakan dimana-mana. Tidak jarang terlihat lubang besar di kanan atau kiri Wanua yang jarang dilewati oleh pedagang.
Ketika telah sampai di Perkampungan, mereka berdua melihat sebuah Rumah Panggung besar yang dikawal ketat oleh para Penjaga Sewaan Pemilik Rumah. Mata mereka awas mengamati gerak-gerik kedua Prajurit Wajo itu.
"Bunuh mereka berdua sekarang!" teriak salah seorang Penjaga.
Temmalara maupun Ujung terkejut mendapat serangan itu. Penjaga yang berteriak itu berlari ke arah mereka diikuti oleh rombongan Penjaga lain dari belakang. Pertarungan berdarah sepertinya tidak dapat dihindari lagi.
--
"Lambat sekali hanya disuruh untuk mengambilkan air!" bentak Ibu Tua itu setelah puas menampar pelayannya.
"Ampun Puan, aku tidak sengaja kakiku terkikir..."
Slap!
"Dasar tidak berguna!"
Brak!
Tiba-tiba saja orang yang tidak dikenali olehnya menendang pintu masuk Rumahnya. Ibu Tua itu meneteskan keringat dingin ketika sadar bahwa mereka berdua adalah Prajurit Wajo. Penjaga lain tidak dapat berkutik karena Ujung menawan salah satu rekan mereka.
"Akan aku bunuh rekan kalian kalau lambat! cepat jongkok di samping Puan kalian!" teriak Ujung menempelkan moncong terakolnya ke Penjaga yang menyerangnya.
"Baik tapi tolong jangan bunuh Adikku!"
"Apa-apaan ini kalian 15 orang kalah dengan 2 orang!" teriak Ibu itu histeris.
"Heh! rekan kami ada di Balai Desa, sebentar lagi akan kesini!"
"Tolong jangan usut lagi pembunuhan ini! apa saja yang kalian mau perhiasan ataupun harta akan aku berikan!"
"Baik cepat siapkan tempat duduk dan makanan untuk kami berdua! sekarang yang kami minta adalah perihal mengenai pembunuhan La Besi yang kau tutupi!" bentak Ujung.
Brak!
Ujung memukulkan terakol ke Penjaga itu hingga pingsan dan membidik moncong senjatanya sekali lagi.
Dor!
Seketika seluruh ruangan membisu ketika papan lantai kayu Rumah itu tertembus oleh peluru. Para Penjaga itu tidak ingin menyia-nyiakan peluang untuk melawan, sekalipun tangan mereka telah diikat. Namun mereka mengurungkan niat ketika Ujung mengeluarkan terakol cadangannya.
Sesuai arahan mereka berdua, Ibu Tua itu terpaksa mengakui kekalahannya. Semua orang kecuali beberapa Pelayan, dimasukan ke dalam Gudang Bawah Tanah. Tidak segan-segan, Temmalara mengacungkan parang kepada para Pelayan yang memasakan makanan untuk mereka.
Ujung kagum dengan kemampuan intimidasi Temmalara, tanpa kemampuannya tadi mustahil mereka dapat mengalahkan Para Penjaga tadi. Ia tidak menyangka keturunan Petani sepertinya memiliki talenta alami yang jarang dimiliki bahkan oleh keturunan Arung sekalipun.
"Ini susu kerbaunya," ujar Pelayan itu dengan tangan gemetar.
Temmalara dan Ujung sama sekali tidak mempedulikan pelayan yang ketakutan itu. Mereka sangat menikmati segelas susu kerbau hangat yang dihidangkan khusus untuk mereka berdua. Tanpa menyadarinya, posisi sosial Temmalara telah berubah total. Sang pelayan menatap Temmalara dan Ujung dengan penuh kebencian.
"Jadi ada perlu apa Kedua Prajurit Wajo datang kesini!? tolong maafkan kelancangan Pelayanku," ujar Ibu itu.
Dor!
"Fuh... jangan berpura-pura bodoh," ujar Ujung setelah meniup asap terakolnya.
"Kau tahu Puan kami tahan karena telah membunuh Saudara sendiri Ini." ujar Temmalara menyodorkan perkamen tulisan tangan informan tadi.
"Bukan aku yang membunuhnya! yang membunuhnya..."
"Cepatlah bicara atau kami bakar Rumahmu. Cepat katakan Bibi kau juga tahu sendiri seberapa kejam Prajurit yang mendapat jatah berjaga di Penjara iya kan," balas Temmalara tersenyum sinis sembari menjilat parangnya sendiri.
Melihat senyuman gila Temmalara, Ibu Tua dihadapan mereka histeris. Temmalara dan Ujung berusaha untuk menenangkannya. Pelayan yang berdiri mendengar percakapan mereka dari tadi, tersenyum puas melihat Tuannya.
"Aku tidak ingin terlibat karena itu kuberi perintah Penjagaku untuk membunuh dan menyembunyikan jasad kalian. Ampun..."
"Tidak ada kata ampun bersiaplah untuk menghadapi hukum nanti karena telah menyerang Tentara Wajo. Cepat ceritakan lebih banyak lagi!" bentak Temmalara.
"Anak La Besi hanya La Runggu si Bungsu yang masih hidup. 3 Hari yang lalu dia sempat kesini hendak pamit ke Luwu untuk sementara waktu sambil membawa pengawal dan kereta kuda." - Ujar ibu itu
"Cepat gambarkan ilustrasi wajahnya! dan tulis semua ciri-ciri dan keterangannya" bentak Temmalara menyodorkan perkamen dan pena.
Setelah puas mendapatkan apa yang mereka inginkan, keduanya segera kembali kembali ke Tosora. Karena di tengah jalan turun hujan yang cukup lebat, mereka baru sampai di Gerbang Kota pada malam hari.