"Jangan marah pada hal sepele seperti ini."
"Sepele? Coba katakan lagi," Genio mendekat, Lucas sontak mundur. "Kau menyakiti tangannya!"
"Aishh itu sudah bia…"
Pluk!
Genio menyapit bibir Lucas dengan tangannya. Lucas tidak percaya dengan apa yang dilakukan pilar nomor 1 padanya. Ia secepat kilat melempar tangan Genio ke udara lalu marah.
"Berani beraninya kau memegang bibirku!"
"Harusnya aku yang bilang begitu, aku tidak percaya tanganku yang steril ini memegang bibirmu yang najis." Genio menggeleng lalu mendorong Lucas.
"Ganti pakaianmu dan ikut aku sekarang!" perintah Genio dengan emosi.
***
Okta berdiri di depan resepsionis untuk menyelesaikan pembayaran motel.
"Pesan untuk berapa hari, Pak?" tanya kasir.
"Satu bulan."
Kasir itu mengetik di komputernya kemudian menawarkan beberapa opsi pembayaran.
"Jika anda membayar 50 persen di awal akan ada potongan setelah selesai menginap."
"Tidak perlu, saya akan membayar seluruhnya."
"Baik silakan."
Okta mengeluarkan black card dari dompetnya dan menggunakannya untuk membayar.
Kasir menerimanya dan agak terkejut namun ia berusaha profesional. Wajar saja, motel itu adalah motel kecil dan terletak jauh di tengah kota. Ia memproses pembayaran itu sembari memandangi Okta. Wajah tampan, memakai kacamata khas pengusaha, mantel cokelat yang mahal, jam tangan ber merk.
"Kenapa jauh jauh datang ke tempat yang jauh dari kota?" pikirnya heran.
"Anda ingin kamar regular atau VIP, pak?"
"VIP please."
"Oh jangan jangan…" batin pegawai menebak nebak. "Pasti bersama selingkuhannya. Kalau sebulan, berarti…apa orang ini kawin lari?"
"Anu, Pak. Apa anda sendiri atau bersama seseorang?"
"Apa aku harus memberitahukan hal itu?" Okta nampak tidak nyaman.
"Kami menyiapkan layanan wine-free dan steak untuk VIP. Jika anda bersama teman kami akan menyiapkan dua porsi."
"Dua orang."
"Tidak salah lagi, orang ini pasti membawa selingkuhannya," batinnya senang ketika bisa menebak dengan benar.
Valen membuka matanya tersentak. Wajahnya pucat pasi, bibirnya memutih dan kulitnya berwarna keunguan seperti lebam. Ia menatap dirinya sendiri, dirinya memakai piyama tidur dan duduk di ranjang kecil. Dilihatnya sekeliling, ruangan yang sangat sempit, seperti kos murah di pinggiran kota.
"Apa aku masih hidup?" paniknya sembar meraba raba tubuhnya sendiri. "Apa aku sudah mati?"
Seseorang masuk ke ruangan kamar itu dengan berhati hati dan memeriksa kanan kiri. Valen melihatnya punggungnya dan betapa leganya ia ketika mengetahui bahwa itu adalah pilar nomor 2.
"Tuan Okta!"
Okta mengunci pintunya mendekat ke arahnya.
"Sssst! Jangan bicara keras keras," perintahnya.
Valen menurut dan ikut khawatir.
"Ini ada di mana?"
"Motel di dekat perbatasan ibu kota."
"Apa?"
"Akan sulit kalau ke luar kota. Sekarang ini statusmu buronan mati yang hilang."
"Apa aku baik baik saja? Aku tidak percaya kau benar benar bisa membangkitkan orang mati."
"Aku tidak membangkitkan orang mati dasar bodoh," Okta menepuk dada Valen. "Berbaringlah, aku akan mengecek tubuhmu."
Valen yang tadinya duduk kembali berbaring dengan perlahan. Okta memeriksa denyut nadi di tangannya dan detak jantungnya dengan stetoskop bak dokter. Ia memeriksa telapak tangan kirinya. Ia menekannya dengan ibu jari, Valen meringis kesakitan namun ia menahannya. Okta menutup matanya rapat dan memeriksa energi dalam Valen.
"Normal. Syukurlah tubuhmu normal."
"Apa mantra kutukan Ramon masih ada?"
"Tentu saja masih ada. tidak ada yang bisa mencabutnya selain dirinya," Okta memelototinya. "Kau…akan tinggal di motel seterusnya."
"APA?"
"Ini karma buatmu. Kau dulu juga menyuruh Alfa tinggal di kos kecil kan. Kau harusnya berterima kasih padaku. Meskipun kecil, ini kamar VIP, aku akan mengunjungimu tiap akhir pekan."
"Tuan!"
"Lalu apa yang kau inginkan?! kembali ke markas dan jadi mayat lagi atau kembali ke kantor polisi dan jadi narapidana. Kau tentukan pilihanmu sendiri."
Valen mendecih dan tidak mau menerimanya tapi tidak ada cara lain lagi untuknya aman. Ia diburu seluruh negara dan diburu orang orang kuat. Dia harus bersyukur ada Okta yang menyelamatkannya.
"Jadi aku hanya perlu tinggal di sini kan?" tanyanya.
"Hem."
"Apa rencanamu?"
"Aku akan memikirkannya nanti. Kau tahu, kau sekarang ini sudah tidak berguna. Kehilangan mata mata, jadi buronan, wajahmu terpampang di tiap sudut gang, kau juga tidak bisa hidup normal, aku punya satu cara, meskipun cukup ekstrem."
Valen gugup mendengar penjelasan Okta, memang begitulah kondisinya sekarang. Ia benar benar tidak berguna. Tidak mungkin ia harus bersembunyi seumur hidupnya.
"Katakan padaku, Tuan. Aku akan menuruti semua perintahmu."
Okta terdiam memikirkan cara selanjutnya.
"Panggil Okta!" perintah Ramon
Seorang pelayan yang berdiri jauh darinya mengangguk dan keluar ruangan. Di luar setelah menutup pintu, pelayan itu mengirim pesan pada Okta.
Okta yang tengah bersama Valen menerima pesan itu. Ia lalu memasukkan kembali ponsel ke saku coatnya.
"Untuk saat ini jangan membuka pintu walaupun pelayan yang datang."
"Eh? Harus begitu?" Valen menyesal mendengarnya.
"Kecuali kalau kau keluar dengan penampilan feminim dan bersuara lembut seperti wanita."
"APA?!" Valen menyilangkan dua lengannya depan dada. "Itu adalah mimpi buruk. Mengerikan sekali."
"Sepertinya pegawai mengira aku membawa wanita."
Valen membelalakkan matanya.
"Ini bagus, karena tidak ada yang berpikir bahwa aku menyembunyikan buronan." Okta mengeluarkan kartunya black cardnya. "Pesanlah menggunakan ini. Jangan menggunakan kartu mu."
"Terima kasih."
"Aish sialan! Kenapa aku harus menyelamatkan anak buahku yang hampir mati ini. Woi pastikan kau setia padaku. Kalau berkhianat kau sudah tahu akibatnya kan? Aku akan membunuhmu dengan mantra penyekat."
Valen menelan ludah. Lalu mengangguk sopan.
Flashback saat Okta menyelamatkan Valen dari rumah sakit.
Okta yang telah mengganti baju dan gaya rambutnya sengaja masuk dari pintu depan. Ia tak akan dicurigai karena pelaku memakai masker dan topi. Tak ada yang mengetahuinya.
"Kenapa aku harus melakukan ini? Tapi, kalau Valen mati, siapa yang harus mengerjakan pekerjaan lapangan lagi? Aishh sial," umpat Okta karena tidak percaya dirinya yang seorang pilar kedua yang harus turun ke lapangan menyelamatkan seorang pengkhianat.
Sampai di lobi, ia melihat beberapa polisi yang berdiri di sudut untuk memeriksa cctv, ada yang berbicara dengan resepsionis dan menanyai perawat. Saat berjalan di lorong koridor ia juga melihat polisi seliweran. Okta bersikap biasa dan tidak mencolok. Ia kemudian berdiri di depan lift, dan saat lift terbuka, sialnya ada Asya di dalamnya tengah bertelfonan dengan Holan.
Saat masuk, Asya mengangguk sopan begitu juga Okta yang membalas anggukannya dengan ramah.
"Kami sudah memastikannya, Letnan. Dia sudah meninggal."
Okta mendengar percakapan polisi itu dengan atasannya. Sesaat setelah mengatakan itu, ia menutup panggilannya. Ia memencet lantai 4 karena Valen berada di lantai 4.
"Anda mau ke lantai berapa?" tanya Asya. Ia berdiri di dekat tombol dan menanyai Okta, orang asing itu tujuan lantainya. Ia juga melihat ransel punggungnya yang terlihat mencurigakan.
"Kalau aku menjawab lantai yang sama polisi ini pasti curiga," pikirnya. "Lantai 3, terima kasih."
Ting!
Lift terbuka sampai di lantai 3, Okta melangkah keluar. Pintu kembali tertutup namun tiba-tiba Asya menahannya dengan tangan dan keluar. Okta yang melihatnya hanya diam memperhatikan.
"Permisi…"