"Apa yang telah aku lakukan, Ya Tuhan?!"
Arvy segera keluar membuang pecahan kacanya, lalu meminta pegawai membersihkan meskipun sebelumnya ia bilang untuk tak masuk ke sana. Namun ia terburu-buru, diraihnya coat cokelat yang tergantung di depan. Ia menghidupkan mobilnya dan menuju apartemen Amy
Sesampainya di sana, ia memencet bel cukup lama bahkan menggedor pintunya, namun ia tidak ada.
Arvy makin panik dan khawatir. Ia memegang kepalanya yang agak pusing.
"Apa yang sebenarnya terjadi kemarin? Aku ingat memang minum-minum sampai mabuk, tapi…sama sekali tak mengingat ada Amy di sana. Ah sial!" Arvy meninju dinding.
Tiba-tiba ia ingat Alfa. Diambilnya ponsel dari balik saku jaket lalu menghubunginya.
"Ada apa, Kak Alfa?" tanyanya.
"Apa kau bersama Amy?"
"Iya, kami sedang di kafe."
"Bolehkah aku minta tolong?"
"Eh?"
Amy berada di kamar mandi wanita. Ia mencuci tangan kanannya dan mengecek penampilanya di cermin besar. Ia agak kesusahan karena tangan kirinya terluka. Setelah itu ia keluar dan menuju meja yang sudah dipesan Alfa sebelumnya. Dirinya melihat punggung Alfa dari belakang, lalu mendekat ke sana dan duduk berhadapan. Namun betapa terkejutnya ia setelah mengetahui pria yang duduk itu ternyata bukan Alfa, melainkan…
"Arvy?"
"Amy." ia duduk tenang, sembari memperhatikan telapak tangan kiri Amy yang dibalut perban. Ia menunduk dan menghela napas berat.
"Apa luka di tanganmu itu…aku yang melakukannya?" tanyanya dengan suara berat.
Amy tahu Arvy merasa sangat bersalah.
Anehnya kedua orang indigo ini seringnya bersikap acak jika berada berdekatan, kadang mampu saling membaca satu sama lain, kadang tertipu oleh gesture dan tingkah laku normal lainnya. Dan warna aura yang mirip, membuat keduanya kadang mendeteksi kadang juga tidak berfungsi sama sekali. Mereka berdua menyembunyikan ke-indigo-an mereka masing-masing.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Amy.
"Jawab aku dulu."
"Ini tidak ada hubungannya denganmu. Dimana Alfa sekarang?"
"Aku… tidak ingat kenapa kau bisa ada di sana. Apa yang kau lakukan di bar ku?" Arvy menatapnya.
"Lalu apa yang kau lakukan di sini?" Amy berusaha mengendalikan ekspresinya.
"Aku ingin membicarakan masalah kemarin."
"Kenapa ingin membicarakannya?"
"Kenapa kau terus berputar-putar?"
"Kenapa kau marah?"
"Jadi benar, aku yang membuat tanganmu seperti itu, ya."
"Kenapa kau asal menyimpulkan?!" Amy berdiri, namun Arvy mengatakan sesuatu yang membuatnya duduk kembali.
"Aku salah," katanya dengan penuh kesungguhan. "Maafkan aku, karena melukaimu hingga membuat tanganmu jadi seperti itu."
"Sepertinya Arvy tidak mengingat sepenuhnya," batin Amyy. Ia mencari celah.
"'Kau mabuk berat kemarin. Salahku sendiri karena masuk ke ruangan yang sudah kau larang. Saat aku masuk kau sudah membanting gelas, lalu kau…"
"Apa? Apa yang kulakukan selanjutnya? Kumohon teruskan, apa aku melukaimu dengan pecahan gelas?"
"Kau berkata mau mati, Sialan!"
"Apa?"
"Kau bilang kau sudah lelah dengan hidupmu! Kau bilang ingin lenyap dari dunia ini!"
Arvy membisu.
"Jika kau benar-benar membenci semua anggota keluarga Satria, harusnya kau tidak perlu menjadi bagian dari mereka!"
"Apa maksudmu?"
"Kalau kau membenci semua orang, lepaskanlah mereka. Jangan biarkan mereka mengganggu pikiranmu. Jangan biarkan orang-orang yang kau benci itu mengendalikan emosimu. Tetaplah pada dirimu yang biasanya. Tidak ada yang salah dengan minum-minum seperti kemarin. Kau hanya melewati batas. Itu saja."
Amy melangkah pergi namun Arvy meraih lengan kanannya, hingga membuat posisi mereka sangat dekat.
Amy tersentak. Tangan kanannya gemetaran.
"Kau yakin?" tanya Arvy, sembari melirik tangannya.
"Apanya?"
"Kau yakin tidak ada hal lain yang aku lakukan padamu." Arvy melirik tangan kanan kirinya yang gemetaran.
Amy tidak berani membalas tatapan mata bak rubah itu. Ia segera mendorongnya karena mereka terlalu dekat. Melihat reaksi Amy, Arvy menduga sesuatu tapi tidak berani mengatakannya.
"Amy kenapa kau…gemetaran?"
Amy menyembunyikan tangannya, kini bukan hanya tangan kirinya saja namun keduanya. Ia berlari dan menuju tempat parkir yang sepi, berusaha menghindarinya. Namun Arvy memanggilnya dan mengikutinya.
"Tunggu, Amy!" ia lagi-lagi meraih lengannya, namun dihempas olehnya.
"A..aku tidak bermaksud menghindarimu. Hanya saja…" Amy tidak sadar mengelak kasar.
Tiba-tiba Arvy membuat wajah mereka berdua berdekatan. Amy, keponakannya yang hanyas seorang gadis belia itu mundur dan mengalihkan pandangannya dengan tubuh gemetaran. Seolah dirinya tengah akan dimangsa pria jahat. Padahal biasanya ia hanya mempunyai sisi dirinya yang pemarah, menyebalkan, susah diatur dan keras kepala. Kini keponakannya itu menunjukkan sisis yang sangat berbeda.
Arvy memojokkannya di dinding demi mencari jawaban dari tingkah Amy yang mencurigakan. Ia melihat tangannya yang gemetaran, mukanya yang ia alihkan ke samping. Drinya tak percaya, berusaha mencerna bahwa bukan hal seperti itu yang terjadi di bar kemarin. Namun semuanya buyar setelah melihat Amy yang ketakutan.
"Aku telah menciptakan trauma untuk keponakanku sendiri," batin Arvy dengan putus asa.
Ia melangkah mundur, lalu membelakangi Amy.
Amy terkejut melihat Arvy berhenti mendesakknya.
"Semoga dia tak ingat, semoga dia tak ingat, semoga dia tak ingat!" batin Amy teriak.
"Aku memang tak ingat apapun," kata Arvy kemudian.
Amy melihat punggungnya yang agak membungkuk. Bahunya turun dan kepalanya sedikit menunduk.
"Kenapa kau berlebihan hari ini? Kalau tidak ingat ya sudah. Lagipula tanganku pasti segera sembuh. Jangan terlalu dipikirkan."
"Bukan itu."
"Eh?"
Arvy berbalik. Matanya berkaca-kaca. Amy terkejut , ini adalah pertama kali dia melihatnya menunjukkan emosi semacam ini.
"Aku melihat darahmu tercecer di lantai. Aku ingat…" Arvy menjambak rambutnya frustasi. Suaranya sedikit gemetaran. "Aku ingat merobek baju dan rokmu. Aku ingat… aku hampir melakukan itu padamu."
Amy terjatuh di lantai, terduduk lemas. Ia tidak mengira Arvy akan mengingatnya.
Arvy terkejut mendapati Amy lemas. Ia lalu mendekat. Dilhatnya gadis itu menangis sesenggukan sembari menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dirinya tidak tahu harus berbuat apa. Arvy ingin menenangkan bahu kecil itu yang naik turun, tapi setiap dia ingin menyentuhnya, kilatan ingatannya menuju pada kejadian saat dia hampir memperkosanya kemarin. Hingga ia memutuskan berdiri dan membiarkan Amy menangis.
"Apa yang harus aku lakukan?" Arvy menekan jidatnya frustasi.
Setelah beberapa saat kemudian, Amy tiba-tiba berdiri. Tanpa sadar ia merangkul tubuhnya sendiri dengan ketakutan. Lalu mengusap air matanya.
Arvy menoleh, ia sengaja menjaga jarak darinya.
Amy menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya dengan pelan. Ia berdiri dan mendekat pada Arvy dengan mantap. Tidak ada lagi air mata atau menangis pilu sekarang. Dengan wajah datar ia mengatakan dengan percaya diri.
"Jangan katakan ini pada Kak Dio atau siapapun. Besok kau harus melupakannya." sekejap Amy berubah menjadi orang berbeda.
Arvy diam, terpaku mendengarkan.
"Kau mabuk hari itu. Kau mendorongku dan membuatku terluka. Kau juga bilang ingin mati. Kau berusaha menggerayangiku, tapi tidak terjadi apa-apa. Jadi…" Amy menatapnya tajam. "Kejadian kemarin sudah selesai. Tidak terjadi apa-apa yang krusial atau gawat. Kita sudah baik-baik saja sekarang. Kuharap kau tidak bilang lagi akan mengakhiri hidup, dan aku akan melupakan apa yang sudah kau lakukan."
"Tapi aku harus bertanggung jawab jika sesuatu terja…"
Tururuuut tururut tururut.
Ponsel Amy berdering. Panggilan itu memotong ucapan Arvy. Orang yang menghubunginya adalah Dio.
"Ayah sudah siuman!" kata Dio menggebu pada Amy dari seberang telepon.