"Kau sendirian?" tanya salah satu teman Gita.
"Iya."
"Sudah mengajak Arvy?"
"Tidak jadi. Aku lupa mengabarinya," matanya melirik ke kiri.
"Syukurlah."
"Kenapa?"
"Aku lupa memberitahumu. Kata anak-anak, Arvy tidak tahu teman sekelasnya, meskipun kita hampir satu tahun sekelas. Dia bahkan tidak mengingat nama-nama kita."
"Ha? Apa maksudmu?" Gita terlonjak kaget. "Tapi semester kemarin aku sempat satu kelompok dengannya. Di kelompok ada lima orang dan kami mengerjakannya bersama di perpustakaan. Bagaimana bisa dia tidak mengingatku?"
"Tunggu, tunggu dulu. Jangan terbawa perasaan dulu. Tapi tentang ini aku tidak bercanda. Itu benar. Orang-orang bahkan memanggilnya robot."
Gita mengingat kembali saat bertemu Arvy tadi sore. Ia mendengar Arvy memanggil namanya. Ia mulai ragu apa dia salah dengar.
"Kenapa tadi aku memegang lengannya? Aku sudah gila!" pikir Gita menyesal. "Dia pasti menganggapku orang asing menyebalkan yang sok akrab."
Temannya melihat Gita yang cemberut dan bad mood.
"Kau baik-baik saja, Git?"
"Iya kok."
Gita berusaha tersenyum meskipun dirinya tidak bersemangat. Ia mendengar informasi yang membuatnya sangat down. Ia juga sudah lelah karena benar kata Arvy kalau acara pertemuan senior hanya buang-buang waktu. Mereka semua berkumpul dengan teman-teman yang sudah dekat dan Gita hanya berakhir duduk dengan teman sekelasnya. Itu pun dia duduk di sudut dan hanya meminum jus dan makan cemilan dari tadi. Secara ia sangat bad mood dan merutuki sikapnya tadi pada Arvy. Teman-temanya asyik melempar lelucon garing, ada yang pedekate, bahkan pacaran. Sedangkan dia hanya menghela napas berkali-kali dan menunduk lesu.
"Gita!" panggil salah satu teman laki-laki. "Sepertinya kau tidak bersemanga hari init, kau baik-baik saja?"
"Gita, apa kau sudah punya pacar?" tanya yang lain.
"Iya nih kita juga penasaran. Kau cantik dan imut, mana mungkin tidak punya pacar."
"Hey jangan begitu. Gita ini masih polos. Kalian terlalu mendesaknya." temannya membelanya.
Teman-temannya yang berada di meja panjang sibuk melempar lelucon padanya. Gita hanya tersenyum ramah menanggapinya, namun tak berniat menjawab pertanyaan itu.
Tanpa dirinya sadar, seorang pria dari meja seberang tengah memperhatikannya. Matanya menyipit, salah satu sudut bibirnya terangkat. Ia meminum minumannya sembari melirik Gita.
"Rey!"
Pria itu menoleh ke samping."Apa?"
"Kau suka dia?" temannya bertanya karena melihat Rey sedari tadi memandangi Gita.
"Kenapa?"
"Waaaahh kau tak menyangkal ya." temannya mendekat ke telinga dan berbisik "Aku membawa sebotol alkohol."
"Rupanya kau cepat tanggap."
Mereka berdua saling melempar senyum licik satu sama lain.
Acara selesai hampir tengah malam. Kegiatan mereka cuma minum jus, makan cemilan, ngobrol dengan teman, Gita merasa tidak cocok berada di sana. Para junior sendiri datang karena khawatir dengan eksistensi mereka di kampus, hanya formalitas.
Gita memasukkan ponselnya ke tas selempang kecil dan bangkit dari kursi. Ia bersiap pulang. Kepalanya juga sudah berputar-putar karena terlalu banyak minum soda. Perutnya sampai kembung.
"Gita, kau pulang dengan siapa?" tanya temannya.
"Perutku…" Gita meringis menekan perutnya.
"Kau kenapa, Git?"
"Sepertinya aku kembung, hehe. Aku akan langsung pulang dan istirahat deh."
"Ya ampun. Ya sudah kupesankan taksi ya. Aku khawatir denganmu." Teman perempuan itu berniat memesan taksi online tapi dicegah Gita.
"Tidak perlu. Terima kasih ya. Aku akan masuk ke dalam dan mampir ke toilet sebentar. Kau pulanglah duluan. Aku akan pesan sendiri taksinya."
"Benar yah. Jangan bohong. Pacarku sudah menunggu di depan. Tapi kau…"
"Sudahlah aku tidak apa-apa."
Temannya akhirnya keluar dari kafe. Masih ada beberapa mahasiswa dan para senior di dalam, namun kebanyakan laki-laki dan pacar mereka. Gita memegang rok pendeknya, kakinya mulai kedinginan.
"Kenapa aku berdandan dan memakai gaun? Arvy tidak mungkin ikut ke acara seperti ini." Gita menghela napas. "Uh dingin sekali."
Ia masuk ke kafe dan berjalan ke arah belakang, melewati beberapa meja. Ia sampai di kamar mandi perempuan lalu masuk, di depan kaca ia memegang perutnya.
"Kenapa perutku sakit sekali?" Gita mencuci tangannya kemudian keluar, ia berpapasan dengan Rey.
"Kau yang namanya Gita, ya?" sapanya.
Gita terkejut. Itu adalah salah satu senior di jurusannya yang cukup terkenal. Tinggi dan tampan, kaya raya dan putra salah satu dekan fakultas.
"Se..senior?"
"Maaf aku tidak sopan. Tapi kulihat kau memegang perutmu. Sepertinya kau sakit, mau kuambilkan minum?"
"Tidak, tidak. Tidak perlu repot-repot." Gita menggeleng.
Rey hanya melempar senyum lalu pergi, semenit kemudian ia kembali dengan segelas air di tangannya.
"Minumlah."
"T..tapi…"
"Kau menolak pemberian seniormu?"
Gita mengengeh dan menerima gelas itu dan meminumnya sampai habis.
Rey tersenyum melihatnya, salah satu alisnya naik.
Beberapa jam kemudian
"Kau mendapatkannya?" suara dari seberang telepon. Itu adalah teman Rey.
"Tentu saja. Sudah kuduga dia akan mabuk hanya dengan segelas alkohol."
Rey menatap Gita yang terbaring di kasur tak sadarkan diri.
"Aku sudah membantumu tadi. Kau harus bayar alkoholnya dengan memfotokan tubuhnya."
"Gampang." Rey tersenyum licik.
Ia menutup panggilannya. Lalu ia naik ke atas ranjang. Di sentuhnya pipi Gita dengan nafsu. Ia memandangi gaun Gita yang terlalu pendek. Dirabanya pahanya yang halus dan lembut.
"Sepertinya ini akan mudah."
Rey turun dari ranjang dan berdiri di samping Gita. Ia membuka kemejanya dan kaus dalam hingga telanjang dada. Diulurkan tangannya lalu meletakkannya di atas dahi namun tidak menyentuhnya, hanya awang-awang. Ia merapalkan mantra yang entah apa artinya. Sembari memejamkan mata, tangannya ia gerakkan pelan-pelan dari dahi sampai ke ujung kaki Gita. Dari tangannya muncul warna kehitaman.Warna mata Rey berubah merah.
Whussshh
Gaun Gita rusak dan robek-robek. Dengan sekali rapalan mantra.
"Apa? Kenapa pakaiannya tidak terlepas semua? Sebelumnya ini kan mudah?"
Rey meneruskannya hingga pakaian Gita rusak dan beberapa bagian tubuhnya terekspos. Rey menatapnya sembari menjulurkan lidahnya puas.
"Dia benar-benar gadis yang suci dan polos. Mudah sekali mendapatkannya." Rey mendekatkan wajahnya ke wajah Gita hendak menciumnya, namun tiba-tiba hal anomali terjadi.
Tubuh Rey terpental hingga menabrak cermin, seolah ada seseorang yang meninju perutnya. Akibatnya badannya luka-luka karena pecahan cermin. Ia memegang dadanya yang nyeri.
"Sialan! Siapa yang mempermainkanku? Keluar kau!" Rey menyadari ada yang aneh sejak dia melakukan ritual tadi. Ia melihat langit-langit dan kembali merapalkan mantra, kali ini lebih cepat. Namun lagi-lagi tubuhnya terangkat dan menabrak almari kayu kecil di sudut ruang.
"Argggghh!" napasnya tersengal.
Seseorang membuka pintu. Padahal pintu sudah Rey kunci. Seorang pria berdiri di sana. Matanya membiru dan taring giginya keluar, menggertak berkali-kali. Kedua telapak tangannya mengeluarkan aura aneh keemasan. Rey terbelalak melihat pria itu adalah orang yang dikenalnya.
Rey terjungkal hingga terduduk di lantai. Tangannya sedikit gemetaran.
"Kau! Tidak mungkin!"