webnovel

Blue

Tik tok tik tok…

Suara detik jam berdenting. Mayor Holan tengah membaca koran pagi dengan kacamata bulatnya di halaman tengah.

"Ayah," panggil Amy.

Mayor tekejut dan menoleh dengan tergesa. Dilipatnya koran itu dan diletakkan di meja kecil. Ia melihat putrinya baru bangun, meski sedikit terlambat. Amy masih mengenakan baju tidur lengan panjang dan celana panjang motif bintang-bintang berwarna biru muda.

"Ini jam berapa?" tanya Amy sembari mengucek matanya dan menguap lebar.

Ayah tersenyum simpul. Ia menghampirinya lalu mengelus puncak kepalanya. Rambutnya juga acak-acakan.

"Tidak apa-apa sekali-kali bangun terlambat."

"Kak Dio sudah berangkat?"

"Amy sudah diizinkan sakit. Kalau masih pusing di rumah saja." mayor tersenyum mendengar Amy memanggil kakaknya dengan benar kali ini.

"Tapi aku tidak apa-apa, Yah. Aku berangkat ke sekolah saja, Ayah. Ayah aku mau pergi ke sekolah. Boleh, ya?"

Mayor merasa ada yang janggal. "Kenapa…Amy memanggilku ayah?" tanyanya dengan hati-hati.

"Eh?" Amy linglung. Ia berpikir namun tidak menemukan jawabannya.

Mayor semakin khawatir. Ia lalu menggandengnya duduk di sofa sedang dirinya berjongkok di hadapannya.

"Sekarang, usia Amy berapa?"

"Sembilan tahun."

Degh.

***

"Itu adalah efek samping."

Direktur menjelaskan gejala efek samping jika seseorang ditenung oleh mantra illusi. Fisik luar baik-baik saja namun ingatan-lah yang menjadi sasarannya, termasuk kenangan di masa lalu yang telah terlewati atau malah keinginan yang tidak bisa terwujud di hidupnya. Untuk kasus Amy, ia memiliki harapan hiudp bahagia dengan keluarga layaknya orang normal. Hal itu mungkin menjadi salah satu keingin terbesar dalam hidupnya. Namun dirinya yang sekarang masih berputra-putar. Kadang ia merasa dalam mimpi saat berusia kanak-kanak atau malah ia bermimpi ke masa sebelum mengenal orang di sekitarnya yang sekarang. Jika itu terjadi dia mungkin akan lari dari rumah dan kembali ke tempat asalnya dulu. Mantra ingatan ini menguat beberapa minggu saat terjangkit. Baru sekitar satu dua bulan melemah dan perlahan hilang. Namun setelah mantra itu hilang-pun, masa menyakitkan itu masih ada, seolah memori mereka dimasukkan dalam labirin dan puzzle. Karena itulah efeknya akan sulit hilang, bahkan di beberapa kasus, tinggal disana selamanya. Ini jelas melemahkan mental.

"Amy tidak akan melemah. Aku akan menjamin itu," ujar direktur.

Mayor menatapnya dengan sangsi.

"Kenapa kau mengetahuinya hingga sejauh ini? Kau memata-matai kami?"

"Kau masih sama seperti dulu, Holan," direktur menatapnya remeh. "Aku sudah berjalan dengan tongkat, tapi kau masih belum paham."

"Kenapa kau bilang dia memiliki darah yang sama denganmu?"

"Kalau kau mau tahu, kau harus hidup sampai putrimu dewasa. Tunggu dia dewasa dan hidup bahagia bersama orang yang dicintainya. Dan tunggu hingga ia memberitahumu dengan sukarela."

Direktur bangkit dari duduknya dengan kesusahan meski dibantu tongkat di tangan kirinya. Tangan kanannya berada di balik punggung. Ia nampak seperti orang tua bijaksana dengan tampilan luarnya. Sesaat sebelum meninggalkan ruangan, mayor mengatakan sesuatu padanya.

"Jangan mempermainkanku, Direktur." Mayor bangkit dan menatap Direktur dengan tajam. "Amy adalah putriku. Aku yang akan melindunginya. Kau tidak perlu menceramahiku seperti orang tua yang sok peduli. Apa karena usiamu? Kau jadi sensitif tentang anak-anak?" cibir mayor.

"Aku tidak paham apa yang kau bicarakan."

"Sadarlah direktur! Kaulah yang membuat putrimu sendiri terbaring dingin di rumah sakit!" mata mayor berapi-api. "Kau bilang mau melindungi putriku? Bisa kau ulangi lagi kata-kata manismu itu, huh!"

Direktur membuang muka. Ia melangkah sampai keluar pintu, memilih untuk mengabaikan mayor. Wajahnya datar.

Brak!

Direktur keluar dan menutup pintu dengan keras. Mayor terduduk, memegang keningnya ynag pusing. Semuanya menjadi semakin runyam. Ia bersumpah akan menemukan orang yang membuat Amy menjadi seperti ini.

Beberapa bulan sebelum peristiwa Nadia dijangkiti kutukan segitiga merah, direktur melepaskan mantra penjagaannya pada Nadia. Entah apa motifnya, padahal jika ada penjagaan, kutukan dan mantra terpental dari tubuhnya. Karena itu mayor membenci direktur. Sebelumnya mereka memang tidak akur, namun sejak Nadia koma, keduanya menjadi lebih dingin seolah es kutub utara dan kutub selatan.

***

"Kakaaaaaak!" Amy berlari menyambut kakaknya yang baru pulang dari sekolah. Ia memeluknya hingga Dio hampir terpental.

"Aku kangen Kak Dio." Amy tersenyum lebar hingga gigi putihnya terlihat.

Dio menjatuhkan tas punggung dan jasnya yang tersampir di bahunya begitu saja. Ia diam dan membeku. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"A…my…." Dio menatap mata adiknya yang bulat dan berbinar itu, bak bintang di langit gelap. Hingga membuatnya bahagia setengah mati.

"Kata ayah kau membelikanku ice cream. Benarkah?"

Dio masih membeku. Namun beberapa saat kemudian ia mengikuti situasi.

"Amy mau beli ice cream sekarang?"

"Mau! Amy mau ice cream cokelat! Amy juga mau piknik bersama Kakak dan Ayah besok hari minggu."

"Besok kan hari kamis."

"Tidak bisakah besok hari minggu saja," Amy memanyunkan bibir. "Aku mau piknik besok, pokoknya!"

Amy melepaskan pelukannya dan berlari keluar menuju mobil yang masih terparkir di depan rumah. Ayah mendekatinya dan menepuk-nepuk pundak Dio. Ia tahu putranya itu tengah bahagia, namun bersamaan itu juga, takut apakah ia pantas tersenyum melihat Amy seperti ini.

"Berbahagialah untuk sejenak."

"Ayah… bagaimana ini?" Dio memegang dadanya. "Rasanya sakit dan lega bersamaan. Apa aku bahkan boleh tersenyum melihatnya?"

"Ia mengira dirinya anak 9 tahun. Mungkin inilah yang selama ini Amy impikan. Bermain dengan keluarganya seperti orang normal. Menyambut kakaknya ketika pulang dan pergi beli ice cream bersama." Mayor memaksa senyumnya meskipun pedih.

"Ayah! Kakak! Ayo beli ice cream, sekarang! Ayo cepat!"

Siang itu mereka bertiga keluar dan hang out bersama. Makan bersama di restoran mewah, ke kebun binatang, berfoto dengan simpanse lucu dan jerapah tinggi. Mayor terpaksa menguras energinya yang sudah menua dan melemah. Ia mengambil napas panjang ketika Amy berlarian sembari menarik-narik tangan ayah dan kakaknya. Mereka juga mengunjungi taman bermain. Mayor sampai mengantuk di kursi taman karena menunggu Dio dan Amy bermain semua permainan di sana. Dio sendiri mual karena mabuk roller coster, berbeda dengan Amy. Energinya tidak habis-habis.

"Ayo naik kuda!" Amy menunjuk-nunjuk komidi putar.

Amy akhirnya naik komidi putar dengan kakaknya. Mereka berdua tertawa lebar bahagia. Mayor duduk tak jauh dari sana sembari menatap kedua anaknya yang tertawa lepas. Meski sebentar, ia harus mengabadikan momen ini. Mayor menghela napas sembari tersenyum lega, namun sedih. Ia mendongak menatap langit luas, membayangkan betapa tidak pastinya hidup ini. Seseorang tiba-tiba muncul dari samping dan seolah membaca isi pikirannya.

"Bukankah langitnya terlihat sangat biru hari ini?"

Suara lembut itu mengingatkannya pada seseorang. Mayor tidak terkejut lagi dan menoleh.

"Aku harap kau juga di sini dan menyaksikan anak-anak tumbuh… Nadia."

下一章