"Apakah ini sekte?" bisik salah satu polisi di meja kantor.
"Hush! Kau ini bicara ngawur. Kita ini polisi! Untuk apa berpikir sampai ke situ?"
"Ya bukan begitu. Maksudku ini sangat tidak masuk akal," polisi wanita tersebut menopang dagu dan menatap satu persatu hasil DNA sampel darah di tkp (kamar Amanda).
"Bisa-bisanya Mayor kepikrian untuk meminta forensik mengambil 15 sampel darah di tempat yang berbeda."
Ada 15 kantung hasil DNA yang teridentifikasi berbeda. Bahkan di satu tempat bisa lebih dari 5 DNA manusia terdeteksi.
"Ini jadi terdengar seperti teori konspirasi. Apa kerangka mayat itu telah makan seratus manusia? Bahkan jika dilakukan malah bukan seperti ini hasilnya. Aku jadi tidak yakin tetap meneruskan kasus ini. Bukankah ini terdengar seperti tumbal di suatu sekte sesat?"
Seorang polisi laki-laki duduk di depan komputer, ia tengah serius mengerjakan sketsa wajah dan sketsa anak perempuan.
"Aku sebenarnya tidak keberatan membuat sketsa wajah. Tapi aneh sekali kalau anak itu tidak memiliki rekam wajah di panti asuhan tersebut," katanya pada dua polisi wanita yang membahas hasil DNA darah yang duduk tak jauh darinya.
"Laporan yang diterima memang di panti asuhan tersebut tidak memiliki rekam jejak berupa foto. Hanya berupa catatan manual mengenai identitas anak ketika ditemukan. Amanda sudah berada di panti sejak bayi, dia berada di bangunan utama karena berkebutuhan khusus tapi menurut keterangan langsung anak-anak, dia tidak nampak seperti anak autis atau kelemahan kognitif lainnya."
Polisi masih meneruskan sketsa wajah yang masih blur, hingga tiba-tiba Mayor Holan datang. Mereka bertiga sebagai polisi yang ditugaskan menyelidiki kasus tak wajar ini berbaris hormat.
"Kalian tidak perlu melanjutkan kasus ini," kata Mayor.
Ketiga polisi itu terkejut.
"Tapi Mayor…"
"Sketsa wajah itu," Mayor melirik sekilas layar komputer. "tidak usah diteruskan. Kalian akan dilimpahkan kasus lain. Aku mengeluarkan putusan bahwa kasus ini menjadi kasus beku."
Mayor hendak meninggalkan ruangan namun salh satu polisi mennayakan sesuatu yang membuatnya berhenti.
"Apa benar mayat kerangka itu adalah tumbal?"
Dua orang polisi lainnya saling menoleh dan menunjukkan tanda silang depan dada. Mereka takut Mayor akan marah.
"Mayor, tolong jawab pertanyaan kami. Kami mendiskusikan ini sejak pagi, sejak anda melimpahkan kasus ini pada kami. Ini bahkan belum 24 jam dan Mayor tiba-tiba menariknya menjadi kasus beku. Inilah pertanyaan yang membuat kami berpikir dan tidak tenang."
Mayor membalikkan badan dan menatap mereka.
"Tolong jawab kami. Apa anda mengetahui bahwa kasus ini…adalah peristiwa supranatural yang tidak bisa polisi tangani?"
Mayor terdiam menatap mereka. Tiga polisi itu menantikan jawaban Mayor.
"Apa yang kalian harapkan dari jawabanku?" tanya balik Mayor tiba-tiba. Mereka tertegun. "Jika kalian cukup pintar jangan membuang waktu untuk kasus yang tak jelas. Bukankah kalian bekerja menurut data dan fakta?"
"Mayor…."
"Ini hanya dugaanku. Tapi kalau kau ambil seluruh sampel darah di tkp bukan hanya di beberapa titik yang kau dapatkan dari forensik, kemungkinan ada ratusan DNA yang kita dapatkan. Kalian bisa mengatasinya? Dengan hanya menaruh prasangka pada seorang gadis berusia 9 tahun sebagai pelaku? Jika aku jadi kalian, aku akan meletakkan laporanku di atas meja atasan dan menaruh semua bukti di lab dan kembali bekerja."
Sesaat setelah mengatakan itu Mayor meninggalkan mereka dan keluar ruangan. Dua polisi menunduk dalam diam, kecuali seorang lagi yang semakin curiga dengan jawaban Mayor.
"Jadi Mayor menduga ada lebih dari ratusan DNA di tkp? Bagaimana mungkin ini terjadi?" gumamnya dalam hati.
(Lima jam sebelumnya)
"Hormat!" seru seorang polisi ketika Mayor melewati garis kuning dan memasuki kamar Amanda.
Seorang pimpinan tim kembali dari bangunan barat dan melaporkan bahwa tidak ada tanda-tanda tersangka (Amanda) ditemukan, begitu juga di bangunan sebelah timur. Mayor berjalan melewati mayat kerangka dan mendekat ke arah lemari, ia membukanya dan melotot seketika.
"Aura ini…rupanya gadis itu tidak berbohong. Memang tercium ada aura manusia fyber di sini," gumam Mayor.
Semalam Amanda menemui Mayor di rumahnya, menyelinap masuk lewat jendela dan mengakui semua yang terjadi di rumah panti. Ia menceritakan semua detailnya.
Mayor berjongkok di depan kolong kasur dan melihat di bawahnya ada darah yang tercecer lumayan banyak.
"Tidak ada darahku di dalam sana. Itu darah Jhony dan Marina," jelas Amanda.
"Apa aku bahkan perlu mendengarkan alasan konyolnmu?" Mayor mendekat, ia berjongkok dan mengusap halus pipi Amanda.
"Ini bagian dari diriku, aku tidak memakan jiwa sebelumnya." Amanda menatap Mayor.
"Aku tidak mendesakkmu. Bukankah kau terlalu muda untuk menanggung semuanya?"
"Kalau begitu selamatkan aku!"
Mayor berdiri, ia mengambil tisu di meja dekat komputernya dan mengusap darah di telapak tangannya yang menempel saat menyentuh pipi anak itu. Tatapan matanya dingin dan datar.
"Kalau begitu jelaskan semua yang kau tahu. Jelaskan asal mula kedatanganmu pada tubuh anak tak berdosa ini, sejak dari rahim ibumu. Jelaskan sampi bibirmu melepuh." kata-kata Mayor penuh penekanan, bibirnya menegang, pupil matanya menajam.
"Ini diriku yang sebenarnya! Fisikku memang berusia 9 tahun tapi aku menyadari duniaku dengan baik. Kau bisa memanfaatkan kekuatan indigo milikku."
"Indigo?" Mayor tersenyum miris. "Itu tidak cukup. Sama sekali tak sepadan. Ada sekitar 7 jiwa di dalam dirimu, Nak. Kau bukan dirimu yang sebenarnya, tanpa sadar kau tengah memberi makan jiwa-jiwa lain yang inang dalam tubuhmu. Pertanyaanku sekarang, darimana kau tahu diriku dan keberadaanku?"
Degh
"Kenapa aku tidak memikirkan itu?" batin Amanda.
Ia terlonjak kaget, baru saja ia menyadari bahwa dirinya mendapat informasi yang seharusnya tidak ia ketahui. Ia bahkan tak memikirkan sampai sana. Kenapa dia bisa ada di sini dan berbicara bahkan marah-marah pada orang yang tak dia kenal sebelumnya?"
"A…aku mengingatnya… aneh sekali. Aku tiba-tiba ingat saat masih berada dalam rahim seorang wanita," panik Amanda. Ia memegang dadanya sembari merintih kesakitan. "Tadi aku sedang bermain dengan Jhony… akhhh dadaku sakit…"
Amanda meremas rambutnya hingga berguguran di lantai. Dadanya sesak ketika ia mengingat betapa sempitnya dinding rahim yang menyempiti kulit dan organnya yang masih lemah di dalam kandungan. Nafasnya cepat dan tak beraturan. Mayor yang masih berdiri di depannya, mendadak kini siluetnya berubah samar-samar. Amanda limbung dan pingsan di lantai.
Mayor mengangkat tubuh kecilnya, sesaat sebelumnya ia berbisik di telinganya.
"Aku akan membesarkanmu menjadi manusia seutuhnya."
***
"Anak setan! Anak setan! Dasar anak setan kau!!"
Aamnda terbangun dari mimpi buruk. Bayangan wanita itu (Ibu panti) yang tadinya manusia, berubah menjadi monster besar yang mengerikan. Badannya besar dan hampir melahapnya. Ia ingin lari, namun kakinya dicekal hingga berdarah, dan darahnya mengalir, menciprat di seluruh sudut ruangan bahkan dinding dan langit-langit kamar.
Amanda memegang dadanya yang kesakitan. Ia terbangun di ranjang putih dan selimut putih yang menutupi badannya. Gaun ungunya bersih, begitu juga wajah, kaki dan tangannya. Tidak ada cipratan darah sama sekali. Padahal saat ia menemui Mayor Holan, kondisinya sangat kacau. Sesaat ia sadar dan melihat sekeliling ruangan yang putih bagai salju.
"Dimana ini?"
***
"Pak Polisi tolong selamatkan Amanda," tangis Pak Santos pecah begitu melihat Mayor Holan sampai di rumahya jam 5 pagi. Sedang isterinya, Bu Sari, dibawa ke rumah sakit karena terus-terusan pingsan.
"Masalahnya bukan itu, Pak," jawab Mayor.
"Apa maksud anda?"
"Aku tidak berencana membawa ini ke pengadilan anak, maksduku aku tidak berencana memasukkan Amanda ke penjara."
Pak Santos nampak bingung.
"Bisa anda bawa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan anak itu beserta foto dan barang-barangnya? Pihak polisi sendiri belum tahu bagaimana wajah dan penampilan fisiknya."
"Kami memiliki dokumennya, tapi kami tidak memiliki fotonya. Anak-anak di sini memang banyak yang tidak memiliki riwayat lengkap, kecuali yang memang ditinggalkan beserta fotonya oleh orang tua kandung mereka sendiri."
Mayor nampak berpikir sejenak. "Bawa seadanya saja."
Pak Santos masuk ke dalam kamar dan kembali dengan map berwarna merah di tangannya dan sebuah kotak kecil berwarna hitam. Ia menyerahkannya pada Mayor.
Mayor mengecek dokumen itu dan membuka kotak hitam kecilnya. Matanya melebar, namun sedetik kemudian ia berusaha mengendalikan ekspresinya.
"Kami sendiri tidak tahu itu kalung apa," jelas Pak Santos.
Kotak itu berisi sebuah kalung dimana ada sebuah liontin berbentuk segitiga dengan garis tegak ditengahnya. Ia juga ingat saat melihat telapak tangan Marina yang telah menjadi kerangka, terdapat sebuah tanda yang sama berwarna biru seperti asap. Namun tanda itu hanya bisa dilihat oleh Mayor, orang biasa tidak akan melihatnya.
"Apa dia memang anak berkebutuhan khusus?" tanya Mayor.
"Itu…sebenarnya…" Pak Santos tak berani menatap mata Mayor.
"Tidak apa-apa. Jelaskan pelan-pelan."
"Amanda sepertinya anak indigo. Setidaknya begitulah yang kami rasakan sejak ia masih berusia belia. Isteriku lama-lama tidak tahan jadi dia sering membentaknya dan memarahinya. Kami dulu bahkan pernah mengiranya bahwa dia adalah bayi yang lahirannya di ritualkan atau ditumbalkan untuk tujuan tertentu. Bayi tersebut tidak mati, namun sebagai wadah berbagai macam iblis. Namun keterangan saya ini pasti tidak masuk di laporan, kan Pak. Saya tahu ini terdengar tidak masuk akal."
"Bagaimana dengan korban? Apa mereka berdua memiliki keterkaitan khusus?"
"Ini yang aneh. Marina baru di sini sekitar dua tiga bulan. Mereka juga tidak menunjukkan tanda-tanda saling bermusuhan atau saling menyakiti. Marina lah yang sering mengantarkan makanan ke atas untuk anak-anak dan mengurus mereka. Sejujurnya jika Amanda memang ingin membunuh pengasuh, kurasa itu lebih… maksudku isteriku sering memarahinya, jadi kupikir…" Pak Santos menunduk tak berani melanjutkan kata-katanya.
"Ah aku paham. Maksudmu akan lebih pantas jika isteri anda yang mati dibunuh oleh Amanda, begitu kan?"
Pak santos berdehem mengiyakan dengan malu dan merasa bersalah.
"Marina wanita yang baik. Dia mirip anak perempuanku yang dulu sudah meninggal," Pak Santos menahan air matanya. "Aku tidak menyangka dia mengalami hal sekeji ini. Jasadnya bahkan sudah tidak utuh berupa manusia lagi."
"Pak Santos, mari kita kembali ke pembicaraan awal. Saya tidak berncana melanjutkan kasus ini ke meja hijau, namun jika anda merasa ini tidak adil bagi korban maka saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain melanjutkan penyelidikan. Meskipun dengan hasil yang tidak bisa ditebak. Tidak ada satupun foto yang bisa menunjukkan bagaimana rupa Amanda, dia menghilang seolah lenyap tanpa jejak. Tidak ada cctv dan satu lagi, kami tidak bisa menetapkan tersangka di bawah umur dengan gegabah. Polisi tidak seharunya cepat mengambil kesimpulan hanya karena kondisi dan situasinya nampak seperti itu."
"Kalau begitu hentikan saja kasus ini, Pak. Marina adalah anak yatim piatu yang tidak memiliki saudara. Dia besar di panti asuhan di luar kota dan menjadi relawan anak-anak, setelah itu ia menetap di sini, hanya kami keluarganya. Dan untuk Amanda, jika anak itu sudah menghilang kami tidak bisa berbuat apa-apa, tentu saja saya berharap ia ditemukan dan menceritakan detail peristiwa ini. Namun saya takut…"
"Pak Santos…" Mayor bersimpati.
"Saya takut menghadapi fakta kalau-kalau anak itu benar-benar monster. Isteri saya memang sering memakinya sebagai anak setan, namun sebagai orang tua yang mengasuhnya sejak bayi kami sadar bahwa kami tidak ingin Amanda benar-benar menjadi anak setan. Selama ia belum ditemukan, tolong tutup saja kasus ini, Pak polisi. Kami pun tidak bisa membantu apa-apa ke depannya."
Mayor menghela napas.
"Apa yang akan Bapak Santos lakukan jika kami menemukan Amanda dan ia mengakui bahwa semua ini adalah perbuatannya?"
"Saya tidak akan mempertemukannya dengan isteri saya yang pemarah, namun saya akan memberinya nasihat bahwa ia adalah manusia. Jika dia memiliki kekuatan di luar nalar manusia, saya harap dia menahannya dan hidup layaknya anak-anak normal. Saya tidak akan menyalahkannya karena ini bukan salah anak itu. Pada akhirnya saya tetap egois, saya tidak ingin siapapun masuk bui, Pak. Amanda adalah salah satu anak panti di sini, yang artinya dia adalah anak saya. Meskipun berbeda, saya tetap menyayanginya."
Mayor tersenyum. Ia mengaitkan telapak tangannya satu sama lain sembari menunduk dan menahan senyum. Sesaat kemudian ia bangkit dari duduknya, membawa dokumen dan barang milik Amanda kemudian meninggalkan panti asuhan.
Panti asuhan tersebut kembali seperti biasa setelah beberapa minggu.
Di mobil menuju kantor, Mayor mendapat laporan bahwa tim penelusur telah melaporan pada tim polisi detektif untuk segera memproses kasus. Mayor mendadak menepuk jidatnya, ia tadi sempat meminta forensik yang datang untuk mengambil sampel jejak darah lebih dari 10 sudut tempat di tkp, agar kasus segera ditangani oleh pusat.
"Kita putar balik," kata Mayor pada polisi yang menyupir mobilnya. "Aku harus memberitahu polisi detektif untuk menghentikan penyelidikan."
"Kenapa aku bisa gegabah seperti ini? Jelas-jelas semalam aku sudah mengambil anak itu sebagai kartuku," batinnya.
Mayor mendadak mengingat percakapannya dengan Amanda, anak itu mengaku tidak membunuh Marina. Kini ia pun paham alasan paling logis kenapa korban meninggal dan hanya meninggalkan kerangkanya saja. Yang sebenarnya adalah Marina sudah mati sejak bertahun-tahun yang lalu. Tubuhnya hanya boneka yang dikendalikan dari jauh oleh seseorang. Jadi pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana Amanda memiliki kalung yang bertanda sama dengan sekte itu dan siapa sebenarnya yang mengendalikan tubuh Marina selama bertahun-tahun?
Setidaknya itu cukup menjawab mengapa jasadnya menjadi tulang-belulang, karena pada dasarnya Marina sudah mati sangat lama.
"Anak itu bisa menjadi kartuku sekaligus musuh yang menusukku dari belakang."