webnovel

Chapter 8

POV Safaraz

Aku memilih meninggalkannya tanpa dia tau, jika aku melihatnya dengan wanita tadi, sekarang aku tau, jika hari ini dia berpakaian seperti itu karena ingin berpergian bersama kekasihnya. Setelah membayar sepatu yang kubeli, kuputuskan untuk keluar dari mall dan tidak jadi berbelanja bulanan. Aku menaiki taksi online yang sudah kupesan sejak di dalam toko sepatu tadi.

Sepanjang perjalanan aku mengingat bagaimana Daniel tersenyum begitu manis untuk wanita lain, sementara untuk aku suaminya, sedikitpun tidak pernah dia lakukan. Aku mengingat semua perlakuannya kepadaku.

Selama ini, bukannya aku tidak tau jika dia masih menjalin kasih dengan wanita lain, namun saat aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, rasanya ternyata sesakit ini. Walaupun kami menikah karena perjodohan, namun sebagai seorang suami, apa aku tidak berhak merasa sakit hati, ketika suamiku menjalin cinta dengan wanita lain.

Katakanlah aku bucin, namun bukankah jika urusan hati laki-laki juga tidak dapat berfikir jernih. Ah, mungkin aku hanya perlu sedikit hantaman di kepalaku, agar aku bisa segera tersadar dari lingkaran hitam ini.

"Dari awal gue bilang sama lu, Raz, minta cerai sama si Daniel sok kegantengan itu, lagian pak William sudah meninggal, enggak ada lagi yang bikin lu berat buat minta cerai dari dia, kan?" cecar Tiara, berulang kali dia mencoba membuatku sadar, namun aku terlalu bebal.

"Tapi gue sudah kadung janji buat enggak cerai sama anaknya, apapun yang terjadi, Ra, gue juga serba salah. Cuma karena janji sama pak William yang ngebuat gue brat buat pisah dari dia,"

"Sampai kapanpun, elu enggak akan pernah bisa bohong sama gue, Raz. Elu bukan hanya berat dengan janji lu sama pak William, tapi lu sudah terlanjur jatuh cinta sama dia, iya, kan? Capek gue nasehatin lu tau, enggak? Sebaga calon dokter spesialis, otak lu terlalu bebal buat nerima nasihat, tau engga?"

"Gue enggak cinta sama dia, Ra."

"Yaudah kalau gitu cerai! Apa lagi yang lu tunggu? Lu masih muda, masih perawan, lu cantik, bentar lagi gelar spesialis lu dapat, jadi apa lagi? Hah?"

"Gu-gue." aku bingung harus menjawab apa, karena nyatanya semua yang Tiara katakan benar adanya.

"Lu enggak bisa jawab, kan? Benar kan semua yang gue bilang tadi? Hati lu sudah buta kemakan cinta, sampai otak lu bego!!" tandasnya membuatku makin nestapa.

"Gini deh, Raz, kita kenal dan dekat sudah lama, dari kita SMA, gue tau banget tentang diri lu, begitupun sebaliknya. Lu tau, kan, gue sedih ngelihat lu diperlakukan kayak gini sama Daniel dan keluarganya, sebagai sahabat, gue pun sakit hati, Raz, jadi please, pikirin yang gue bilang ke lu, Raz, lu pertimbangin lagi buat ikutin saran gue buat cerai sama dia!" tambahnya lagi, membuatku tidak bisa berkata-kata.

Tiara Novelita Bagaskara, gadis keturunan Jogja - Padang itu sudah menjadi sahabatku sejak kami duduk di kelas dua SMA, pembawaannya yang supel, ramah dan tidak pilih-pilih teman, membuatku nyaman berteman dengannya, namun ada dua sifatnya yang terkadang membuatku geleng-geleng kepala, yaitu kebiasaannya yang ceplas ceplos dan suka berkata menyakitkan kepada orang yang tidak disukainya.

Pernah sekali waktu, saat itu ada segerombolan cowok popular di sekolah yang membully ku sebagai murid miskin, karena sekolah hanya bermodalkan beasiswa berprestasi. Aku, yang merasa hal tersebut adalah fakta, merasa tidak perlu untuk membantahnya, namun berbeda dengannya, Tiara tidak akan puas sebelum membalas telak murid-murid sok popular tersebut.

"Eh manusia laknat, masih mending dia masuk sekolah ini karena beasiswa berprestasi, lah elu, masuk sekolah cuma modal duit orang tua, lu semua mau belajar apa mau main sinetron hah? Giliran belajar planga plongo kayak orang idiot, percuma kan kaya tapi bego?" makinya mewakiliku untuk membalas hinaan murid-murid sok popular tersebut.

Jangan di tanya bagaimana ekspresi mereka, marah sudah sangat jelas, ditambah rasa malu yang harus mereka terima, karena Tiara mengatakannya di kantin sekolah, saat jam istirahat, di mana semua siswa sedang berkumpul sana.

Sejak saat itu, aku dan Tiara seperti sahabat yang tidak bisa terpisahkan, di mana ada aku, di situ ada Tiara, kamipun berkuliahh di kampus yang sama, hanya jadi, passion nya sebagai seorang lawyer lebih menggebu, sehingga dia memutuskan fakultas hukum, sedangkan aku fakultas kedokteran.

************************

Aku tiba di rumah sekitar pukul sepuluh malam, kulihat mobil Daniel sudah terparkir rapi di garasi, berarti dia sudah pulang lebih dulu dari pada aku, tumben, ah iya, kan bukan pulang kerja, tapi ngedate.

Tidak ingin menggangu bik Minah, aku memilih memuka pintu rumah dengan kunci serep yang kumiliki, lampu di lantai bawah sudah di matikan semua, menyisakan lampu dapur yang menyala. Saat ingin memasuki kamar, tiba- tiba lampu ruang tamu menyala, membuatku sedikit terkejut.

"Darimana kamu, jam segini baru sampai di rumah?" suara Daniel menjawab keterkejutanku, kulihat dirinya duduk di sofa, dengan salah satu kakinya di topang menyilang ke atas kaki yang satunya, duduk santai namun bicara penuh penekanan.

"Bukan urusanmu" sahutku acuh.

"Berani ya kamu jawab kayak gitu? Saya tanya sekali lagi, darimana kamu?"

"Kenapa kamu marah? Selama ini kamu bilang jika kita tidak perlu saling mencampuri urusan masing-masing, kan? Permisi saya mau istirahat." aku ingin beranjak dari tempatku berdiri, saat tiba-tiba Daniel bangkit dari duduknya dan melangkah ke arahku.

"Jangan pancing emosi saya!" tekannya dengan suara pelan.

"Baiklah, saya dari mall, belanja sepatu karena sepatu saya sudah mau jebol, setelah itu saya mampir ke rumah teman saya, puas, Bapak Daniel?" sahutku seraya mengangkat paperbag bertuliskan nama toko yang ku kunjungi tadi sore, sengaja, ingin mengetesnya, apakah dia sadar atau tidak.

"Ka-kamu. . . kamu ke toko ini?"

see?

Sesuai perkiraanku, dia bertanya dengan wajah pias.

"Ya, tadi sore."

"Jadi kamu melihatnya?"

"Tentu."

"Bagus kalau begitu, kamu berarti sudah liat sendirikan jika aku dan Adelya masih menjalin hubungan?" ekspresinya sudah berubah, kembali ke mood kejamnya.

"Ya, kamu sudah beberapa kali juga mengatakannya kepada saya."

"Lalu?"

"Lalu, apa?" tanya balik, mencoba menebak apa yang dia inginkan dariku.

"Pernikahan kita? Bukankah tidak ada yang perlu untuk dipertahankan?"

oh, jadi ini. "Tentu saja, ada,"

"Apalagi? Buat apa mempertahankan pernikahan yang tidak bahagia ini, hanya saling menyakiti satu sama lain."

"Saya tidak merasa pernah menyakiti anda."

"Kamu pernah, kamu menyakiti saya dengan cara bertahan dalam pernikahan sial4n ini tau, enggak? Membuat saya terkurung dalam hubungan yang tidak saya inginkan, membuat saya dan Adelya tidak bisa bersatu dan hidup bahagia!?" teriaknya penuh amarah, baiklah, jika itu keinginannya.

"Jadi kamu ingin menikah dengan Mbak Adelya?" seperti ada yang tergores dalam hatiku, saat aku mengatakan pertanyaan tersebut kepadanya.

"Tentu, saya ingin menikahinya, jauh sebelum bapak menyuruh saya, menikah dengan laki-laki sepertimu." pandangan kami saling beradu, dapat kulihat guratan kemarahan dan kesedihan bertempur di bola matanya.

"Saya tidak akan melarang mas jika ingin menikahi mbak Adelya, kapanpun kamu mau, tapi dengan syarat, jangan pernah ceraikan saya sampai kapanpun!" ucapku akhirnya, aku tau ini pilihan terbodoh yang aku pilih selama hidupku, namun, tidak ada cara lain untuk mendapatkan keduanya, kebahagian Daniel dan Kebahagian pak William yang menginginkan aku untuk terus bersama anaknnya.

"Ma-maksud kamu .. . kamu rela saya madu?" tanyanya memastikan.

"Ya, menikahlah, tinggalah di sini, di kamar kamu, saya tidak akan keberatan, asal saya tetap menjadi suami mas Daniel juga."

"Apa yang membuatmu berat bercerai dengan saya?" tanyanya waspada.

"Hanya janji saya kepada bapak, selain itu tidak ada, permisi." aku beranjak meninggalkannya yang masih terpaku di tempatnya.

Aku tau Daniel pasti bingung dengan keputusanku, namun, aku tidak akan membiarkan diriku menjadi manusia tidak tau rasa terima kasih, biarlah, mungkin ini konsekuensi yang harus kuterima dari semua bantuan yang pak William berikan kepadaku semasa hidupnya, aku akan bertahan, walau aku tidak yakin hingga kapan aku akan mampu menanggungnya.

Air mata menetes begitu saja tepat aku menutup pintu, tubuhku merosot ke lantai, sekuat tenaga kutahan agar isakanku tidak lolos, karena aku takut Daniel mendengarnya. Tidak akan kubiarkan dirinya melihatku menangis lagi, cukup sampai kemarin saja, tidak akan ku ulangi lagi. Aku sudah bertahan sejauh ini dan aku yakin, aku pasti bisa bertahan lebih lama lagi.

========**===**===**=====**

Dua hari setelah persetuanku malam itu, Daniel memintaku datang ke sebuah caffe yang tidak jauh dari rumah sakit tempatku bekerja. Ini pertama kalinya dia menghubungiku dan memintaku pergi bersamanya, selain ke acara keluarga besarnya.

Menggunakan ojek online, aku tiba di depan caffe, suasana sore ini cukup cerah, angin berhembus sepoi-sepoi membelai rambutku, begitu lembut. Dari pesan chat yang dia kirimkan kepadaku tadi siang, dirinya menunggu di salah satu meja yang terletak di rooftop. Segera saja aku memasuki caffe dan mencari keberadaannya.

Dari tempatku berdiri dapat kulihat, seorang pria dengan setelan chino pants hitam dan kemeja hitam, duduk dengan kedua tangannya menumpu di atas meja. Menatap penuh cinta ke lawan bicaranya, seorang wanita yang juga mengenakan mini dress berwarna hitam dengan blazer cream sebagai outernya. Sangat serasi.

Setelah mencoba menguatkan hati, aku berjalan melangkah kea rah pasangan yang siapapun melihatnya akan tau, jika mereka di mabuk cinta, cara Daniel menatap Mbak Adelya, seperti harimau jantan yang mengawasi betinanya. Sangat intens.

"Permisi. . " sapaku yang membuatnya mengalihkan pandang menatapku.

"Safaraz? silahkan duduk!" sahut wanita tersebut ramah.

"Terima kasih, maaf agak telat, tadi lumayan banyak pasien."

"Enggak masalah, kami juga baru saja sampai, iyakan, Dan?" kenapa suamiku diam saja, sejak tadi hanya wanitanya yang menyambutku.

"Ah, iya, ehem... begini, seperti yang kamu katakan malam itu, mengenai saya diperbolehkan menikah dengan Adelya, karena itu saya mengundangmu untuk ke sini, saya ingin mengenalkan Adelya kepadamu terlebih dahulu. Sayang, ini Safaraz," bagai tidak memiliki salah, Daniel memanggil sayang kepada Adelya di hadapanku.

Aku menyambut uluran tangan Adelya, dia seumuran dengan Daniel, itulah mengapa aku memanggilnya dengan sebutan Mbak. Senyuman Adelya sangat manis, dia juga cantik, pantas jika suamiku tidak bisa move on darinya.

"Kami berencana menikah pekan depan, Raz." ungkap Daniel tepat saat tangaku baru saja terlepas dari tangan Adelya, membuatku mengarahkan pandang kepadanya.

"Mi-minggu, de-depan?" ulangku terbata.

Bersambung

下一章