". . . Jika ingin ikut, bilang dari tadi, tidak usah menunggu tawaran," Line menatap dingin.
"Huh..... ganteng-ganteng jutek banget, ih.... aku ingin ikut pokoknya," Zahra berjalan mengikutinya.
"Kau bisa tinggal sampai sekarang, itu berarti kau bisa mengurus dirimu sendiri tanpa bantuan orang lain."
"Ya, itu benar, ku pikir kau menganggap ku wanita centil."
"(Memang itu yang kupikirkan dari tadi,)" pikir Line dengan wajah yang dingin.
Tapi tiba-tiba saja, Zahra jatuh dan Line menoleh padanya. "Kau baik-baik saja?" tatapnya dengan wajah dingin dari jarak yang tidak dekat.
"Ah.... aku.... aku baik-baik saja, ini mudah," Zahra mencoba berdiri dan mengulurkan tangan meminta bantuan pada Line.
". . . Kau bilang itu mudah," kata Line tanpa menolong. Ia lalu berbalik tapi Zahra memegang lengannya membuatnya menoleh padanya.
"Kamu kira aku tak bisa pegang tanganmu walau tidak kamu ulurkan? Kamu masih tidak tahu aku," tatap Zahra, ia berlutut membersihkan baju bawahnya lalu menatap lagi ke Line.
"Kenapa serius sekali, kamu membuatku malu. Sudahlah, kamu tidak peka sekali, aku bisa berdiri sendiri," kata Zahra melepas tangan Line dan berdiri sendiri. "Laki-laki sepertimu memang tidak peka. Aku heran apakah ada wanita yang mau sama kamu, kecuali sama wajah dan tubuhmu itu. Mereka pasti suka, tapi sifatmu, mereka pasti mundur," tambah Zahra.
Kemudian dari perkataan Zahra itu, Line menjadi teringat sesuatu. Bahwa ia kembali berpikir, sepertinya lelaki sepertinya memang tidak peka dan ia juga berpikir sifat itulah yang membuat Uminoke juga ragu padanya. "Kau..... Apa kau pernah bercinta sebelumnya?" Line menatap.
Lalu Zahra tersenyum kecil dan menoleh. "(Akhirnya kamu mau berbicara.) Aku pernah bercinta tentunya, kenapa memangnya? Mau denganku, aku sudah berpengalaman."
"Itu berarti kau sudah tidak perawan."
"Kurang ajar, kamu bertanya itu hanya untuk mengatakan hal seperti itu!!" Zahra menatap kesal dan marah, tapi di saat itu juga Roland datang sambil memakan keripik kentang.
"Ada apa ini? Wanita baru?" tatapnya.
"Oh halo, apa itu rekanmu, dia sama gantengnya seperti kamu," tatap Zahra dengan antusias membuat Roland mengangkat satu alis dengan bingung.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tatap Roland pada Zahra.
"Ahahah... ceritanya panjang banget... mau tahu.... Jangan lah, nanti malah kaget..... pokoknya, aku ingin ikut kalian, aku pengen jadi satu-satunya wanita yang kalian lindungi hehe," kata Zahra.
Hal itu membuat Line dan Roland memasang wajah dingin dan menghela napas panjang. "Haruskah kita beritahu dia?" tatap Roland.
"Tidak perlu.... biar dia tahu sendiri saja," balas Line. "Apa yang kau temukan?" dia menatap.
"Hanya makanan yang begitu banyak, haruskah kita membawa untuk di perusahaan?" Roland menatap.
"Yeah, bawa sebanyak-banyaknya," Line berjalan melewati mereka dan mereka ke bagian makanan.
"Hei, apa kalian akan mengambil banyak makanannya?" Zahra menatap.
"Yeah, sebaiknya kau juga membantu kami membawa banyak makanan," balas Roland.
"Hm... Aku akan mengambil yang aku butuhkan juga sebanyak-banyaknya," Zahra berjalan memengaruhi dari mereka.
"Gadis itu, kenapa dia berani sekali? Apa jangan-jangan dia juga kuat?" Roland menatap curiga.
"Mungkin, aku juga belum pasti tahu. Dia pastinya punya ceritanya sendiri.... aku juga kurang tahu, atau dia hanya gadis biasa dengan sifat tenang dan tidak takut pada apapun...." kata Line sambil mengambil makanan dan memasukkannya ke karung yang ia temukan tadi.
Setelah selesai, mereka berdua membawa masing-masing karung. "Baiklah, ini sudah cukup," kata Roland.
Lalu di saat itu juga Zahra datang, tapi anehnya, dia hanya membawa kantung kecil.
"Apa yang sebenarnya kau lakukan? Kau hanya membawa kantung kecil itu?!" Roland menatap.
"Ini penting untukku, wanita... Jadi jangan protes.... Kalau begitu, di mana kita bisa pergi?" Zahra sudah tidak sabar.
--
Mereka terlihat berjalan pulang ke perusahaan dan merasa di lantai satu tempat mereka pakai itu menjadi sepi. "Kemana semuanya, tidak mungkin mereka pergi kan, kendaraan pun ada di sini?" tatap Roland.
"Waw, jadi kalian memutuskan tinggal di gedung besar ini? Tempat nya besar pasti juga luas, kalian benar benar pandai dalam memilih tempat bagus seperti ini," Zahra melihat sekitar dengan kagum. Lalu Line menatap ada surat pesan di sana dan mengambilnya, di sana tertulis, "Kami menunggu di ruang rapat gedung ini."
"Sepertinya kita memang harus ke sana," kata Roland.
"Yah, mungkin, suatu rapat yang harus dikatakan penting. Dan di mana ruang rapat itu?" tanya Line.
"Aku tahu tempatnya, tepat di lantai dua, tinggal naik tangga saja.... Hei, kau juga harus ikut, kami masih mencurigaimu," tatap Roland pada Zahra yang dari tadi memasang senyuman ceria.
Lalu mereka menaiki tangga dan masuk membuka pintu di ruang pertemuan. Nikol, Barbara, Suga, Uminoke, Kachi, Ariya, dan Dian sudah duduk menunggu di sana.
Suga yang menyambut mereka. "Halo, kami sudah menunggu lama."
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Line menatap.
"Kami membahas soal apa yang harus kita lakukan nantinya. Jangan khawatir, kami belum mulai karena kami menunggu kalian berdua. Dan.... Kalian membawa siapa?" Suga menatap Zahra yang melambai manis padanya.
"Ah, hei, perkenalkan dirimu," tatap Roland. Lalu Zahra berjalan ke depan tempat dikatakan presentasi ketika bekerja.
"Line...." Uminoke tampak memanggilnya, lalu Line melambai pelan dan berjalan mendekat duduk di sampingnya.
Roland ikut duduk di sisi lain, di samping Nikol. "Dari mana kau dapat gadis itu?" tanya Nikol dengan menyilang tangan.
"Dia muncul sendiri ketika aku dan Line berada di mal dekat sini."
"Ada mal dekat sini? Kenapa tidak bilang?"
"Memangnya kenapa?"
"Kau tanya kenapa, kami para wanita membutuhkan sesuatu. Ini tanggal berapa? 18, tanggal itu adalah tanggal untuknya mereka sudah kedatangan tamu," kata Nikol dengan wajah kesal, sepertinya dia sedang PMS.
"Ah, halo, aku mendengar perkataan kalian, dan aku membawa sesuatu," Zahra menyela menatap Roland dan Nikol, ia lalu mengeluarkan sesuatu dari bajunya dan rupanya itu pembalut isi 8. Rupanya yang dia maksudkan tadi, hal penting untuk wanita.
Nikol dan Barbara langsung berdiri. "Berikan itu pada kami!!"
"Baik, aku harap kita bisa jadi teman," Zahra memberikan nya dengan ramah layaknya dia memang sengaja membawa benda itu di sana. Dengan cepat Nikol dan Barbara keluar dari ruangan itu membuat semua terdiam.
Line menatap ke Uminoke. "Apa kau tidak datang bulan sekarang?"
"Ah, aku datang bulan pada bulan akhir, begitu juga kakak, kami memiliki tanggal yang sama dan teratur," balas Uminoke.
"Ah begitu, jika butuh sesuatu, bilang saja," tatap Line.
". . . Eh, jangan begitu, aku...." Uminoke langsung berwajah merah malu. "(Sejak kapan Line bisa mengatakan hal itu? Bukankah dia sebelumnya hanya ingin memilih diam, aku harap dia memang berubah menjadi lebih baik di dekat ku...)" pikirnya.
"Baiklah, aku akan meneruskan yang tadi. Perkenalkan namaku Zahra, aku wanita yang selamat dari kiamat itu," kata Zahra.
"Bisa kau bilang dengan siapa dan bagaimana kisahmu sebelum kiamat ini terjadi?" Roland bertanya.
"Ah maaf, soal itu aku belum bersedia menceritakannya, tapi jika kalian tidak percaya padaku, aku akan membuka bajuku agar kalian tahu aku tidak mencurigakan apalagi membawa senjata," Zahra akan melepas bajunya.
"Haiz... kemarilah, aku akan mengecekmu," Kachi berdiri dari tempatnya lalu memegang lengan Zahra dan membawanya ke ruangan lain.
Sembari menunggu, Ariya bertanya pada mereka. "Apa di luar sana tidak ada zombie itu?"
"Sepertinya ada, kami tadi bahkan menemukan, apa yang ingin kamu lakukan?"
"Kami ingin mencari serum itu, nona Uminoke sendiri yang bicara."
"Ah, jangan pakai nona!" Uminoke menatap malu.
Lalu di sela itu, Line merangkul Uminoke dan menarik kursi gerak itu. "Hampir malam, maukah kau ikut denganku sebentar malam ini?" tatap Line.
"Eh, Line.... Jangan bicara di sini dulu," Uminoke masih merah.
"Jangan khawatir, kau akan senang pastinya," Line semakin erat merangkulnya membuat Uminoke terlihat nyaman.
Ariya fokus bicara pada Roland. "Kami sudah dapat 2-3 simple serum, jika kita cari dalam hal ini, kita akan dalam bahaya, militer tidak akan mengizinkan kami bergabung... Tapi jika kalian mungkin bisa membantu kami," tatap Roland.
"Eh, apa maksud senior? Anda bukannya...."
"Sebenarnya aku sudah dianggap berkomplotan dengan Line dan Line adalah buronan yang dibicarakan sudah sekian tahun lamanya."
"Ah, aku mengerti, pantas saja nama-nama kalian itu tidaklah asing di kepalaku," Dian menyela.
"Hah, kamu tahu?!" Ariya langsung terkejut menatap.
"Aku melihat dari artikel HP sebelum virus ini terjadi, berita yang dulunya sudah hilang kini muncul lagi di saat-saat kritisnya Jepang. Buronan dunia, Line 'Man of... of... Honor' dan juga kucingnya, tapi aku tak menemukan apapun info tentang anda yang merupakan komplotan," tatap Dian pada Roland.
"Aku memang bukan bagiannya, tapi aku keluar dengan perkataan Line, jadi mereka sudah menganggapku sama seperti Line, tentunya sebagian dari organisasi akan menganggapku musuh juga kawan bagi yang belum tahu. Jadi kami harap kalian berdua bisa bekerja saja, jika bertemu pihak-pihak seperti itu, katakan pada mereka bahwa kalian tidak menemukan buronan itu jika ditanya."
"Kapan kami akan melakukannya?"
"Yang pastinya tidak akan sekarang. Sekarang kita harus pikirkan cara bertahan hidup sebelum kita pergi sendiri mencari persediaan."
"Aku dengar bahwa di bagian lain Jepang telah dibangun markas besar milik militer, mereka masih kekurangan tentara. Aku yakin jika bergabung maka kita akan diterima tidak peduli kita dipandang apa."
"Benarkah? Kalau begitu kita bisa ke sana sesudah membahas rencana bertahan hidup dari manusia dan zombie itu," kata Roland. Lalu Dian dan Ariya mengangguk.
Lalu Suga, Kachi, dan Zahra datang. "Dia bersih," kata Kachi.
"Bagus, Zahra, kau bisa bergabung dengan kami," kata Roland.
"Yes... Yeah!!" Zahra senang dan memeluk Suga membuat Suga terkejut. "Apa yang kamu lakukan?!"
"Hei, jangan membuat lelaki takut dengan sifat centilmu," Kachi menarik kerah Zahra untuk melepas, Zahra hanya tertawa kecil.