webnovel

Introvert

Riski sampai ke rumahnya dengan keadaan yang amat sangat bahagia, bahkan ia selalu senyum-senyum sendiri ketika berhasil mendapatkan pekerjaan.

"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri begitu? Apakah ada hal yang membuatmu senang?" tanya Sastro yang memperhatikan Riski.

"Senyum kan ibadah, masa orang senyum nggak boleh?" jawab Riski santai, bahkan ia melepaskan sepatunya pun dengan tersenyum.

"Boleh, tapi harusnya ada alasannya untuk itu. Misalnya mendapatkan uang atau hal yang kamu inginkan" jelas Sastro kepada Riski, tentunya juga dengan tersenyum.

"Apakah hal semacam itu juga bisa untuk kesedihan? Maksud aku, bukan hanya senang yang ada alasannya?" Riski menatap ibunya sendu.

"Tentuu! Kalo sedih juga pasti ada alasannya, kenapa? Karena kalo ada hal yang menyedihkan terkadang kita menangis, bukan? Dan sebaliknya kalo kesenangan kita akan tersenyum"

Riski mengangguk, tanda ia paham akan makna kesedihan dan kesenangan. Memang benar, Riski senyum-senyum sendiri juga mempunyai alasannya. Tapi, Riski enggan bercerita masalah ini ke ibu. Karena takutnya ibu akan melarang Riski untuk bekerja, lagipula ini Riski memang orang yang jarang sekali bercerita kesana kemari kalo terjadi sesuatu yang menyedihkan ataupun menyenangkan. Ia memilih diam dan menyimpan semua itu sendirian, Riski tak mau jika orang lain mendengarkan keluh kesahnya. Apalagi hal yang menyenangkan, takutnya membuat orang yang mendengar akan iri atau justru membenci Riski.

Kebahagiaan orang juga berbeda-beda. Ada yang bisa bahagia dengan memakan di restaurant yang mewah, ada juga yang bahagia dengan menggunakan baju club bola kesayangannya, ada yang bahagia ketika bisa membeli sepeda dengan uangnya sendiri, dan masih banyak lagi.

Riski juga selalu beranggapan, tak selamanya kesedihan akan menimpa dirinya. Mungkin kondisi saat ini sangat sulit di hadapi anak laki-laki yang akan melanjutkan sekolahnya ke SMA, tapi mau bagaimana lagi. Hidup juga terus berjalan, orang lain juga masih melakukan aktivitasnya ketika Riski sedang bersedih. Intinya, jangan terlalu meratapi kesedihan yang di alami saat ini. Toh, nantinya masa sedih itu akan lewat dan di ganti dengan kesenangan. Tetapi, ketika mendapatkan kesenangan kita harus berhati-hati juga, karena tak selamanya juga kita akan senang terus.

"Kamu belum makan? Sana buruan makan, tadi masih ada nasi dan lauk di meja."

"Yaudah, aku mau makan dulu ya, bu!" Riski berlari menuju meja makan, karena perutnya belum terisi sejak pagi. Ya, hanya minuman air putih saja yang mengganjel perutnya sementara, sebelum pulang sekolah dan makan.

Riski mengambil piring, nasi dan lauknya. Ia makan dengan lahap.

Riski juga selalu memakan makanan yang di masak oleh ibunya. Tidak ada alasan tidak menyukai sebuah makanan, karena memang adanya hanya itu. Mau tidak mau juga harus di makan.

Setelah selesai makan, kegiatan Riski cuman tiduran di lantai. Sesekali ia menengok keadaan kakaknya yang sudah agak mendingan.

"Gimana keadaanmu? Apakah udah sehat?" tanya Riski ke Rudy yang hanya diam menatap tembok kamar.

"Alhamdulillah udah agak mendingan" jawabnya singkat.

Karena tak mau mengganggu waktu istirahat kakaknya, Riski memutuskan untuk menyendiri di belakang rumah. Ia memandangi tanaman liar yang tumbuh di sana dengan lebat.

Ya, Riski memang anak yang suka menyendiri dan pendiam. Di sekolahnya juga Riski tak memiliki banyak teman, karena dianggap aneh oleh teman-temannya. Jika tidak ada yang mengajaknya berbicara, Riski memilih untuk diam. Alhasil, ia kurang pandai bergaul bersama teman-teman yang lain.

Sebenarnya di pikiran Riski terdapat banyak pikiran yang ingin ia lontarkan, tetapi mulut membungkan semuanya dan memilih untuk diam.

Di sekolahan Riski juga bukan tipe yang di sukai banyak orang, bukan. Dengan wajahnya yang seperi ini juga sulit bagi Riski untuk di kenal di sekolah. Terkadang ia juga mendapatkan cemooh dari kelas lain.

"Itu wajahnya jelek banget"

"Jerawatnya banyak"

"Dekil"

"Pasti jarang mandi"

Kurang lebih seperti itulah cemooh yang di dapat Riski setiap harinya. Selalu saja ada yang menghina wajah dan keadaannya.

Ketika baru pertama mendengarkan cemooh itu, Riski tentu tidak terima. Ia menantang orang yang menghinanya, padahal Riski tidak pandai dalam hal bela diri. Riski kalah, di keroyok oleh banyak orang dan tidak ada yang membelanya membuat Riski semakin malu di hadapan banyak orang. Untung saja, ada guru yang mengetahui keadaan itu dan langsung melerai semuanya dan membawa Riski ke UKS sekolah.

Hdiup Riski benar-benar hancur, di sekolah banyak yang menghina, di rumah juga ada masalah dari orang tuanya. Rasanya kehidupan Riski sudah benar-benar berat karena masalah-masalah yang ikut menimpanya. Padahal wajah yang jelek juga bukan kemauan Riski, ini juga dari Allah. Kenapa kalian se-enaknya menghina? Masalah orang tua yang cerai juga bukan kemauannya, tetapi semua terjadi begitu saja.

Bahkan, ayah Riski pun sudah tidak ada kabar lagi. Setelah cerai juga tidak pernah memberikan Riski uang saku. Riski tidak tahu di mana keberadaannya sekarang, termasuk kedua kakaknya tidak ada yang mengetahuinya pergi kemana.

"Riskii!"

"Riskii"

"Dimana kamu?!"

Terdengar beberapa teriakan Sastro memanggil Riski.

Riski langsung tersadar dari lamunannya dan menghampiri Sastro, ibunya.

"Kenapa, bu?" tanya Riski penasaran, kenapa ibunya teriak-teriak memanggilnya.

"Sudah mau maghrib, buruan mandii. Pergi ke masjid" perintah Sastro yang enggak bakalan di tolak Riski.

Riski mengangguk patuh dan berjalan mengambil bajunya, setelah itu langsung menuju kamar mandi.

Tak butuh waktu lama untuk mandi, mungkin sekitar 5 menit Riski sudah selesai mandi.

Riski sangat menghormati dan selalu patuh terhadap Sastro, ibunya. Ia tidak pernah menolak ataupun membantah perkataan Sastro. Karena memang yang Riski punya saat ini hanya ibu. Ia tak mau lagi kehilangan. Karena di hidup Riski, tak memiliki banyak orang di sekitarnya.

"Wah, udah ganteng anak ibuu" ledek Sastro. Setiap ibu selalu menganggap anaknya itu selalu ganteng ataupun cantik, tidak peduli seburuk apa pandangan orang lain menilai anaknya, ia tetap mengatakan itu.

"Bu..." panggil Riski lirih.

"Kenapa?"

"Kenapa wajah jadi patokan?"

Sastro mengangkat kedua alisnya, tak mengerti dengan apa yang di tanyakan anaknya, "Maksudnya?"

"Iya, wajah. Kenapa orang yang memiliki wajah yang ganteng selalu di kenal banyak orang dan yang jelek selalu di pandang sebelah mata" jelas Riski, ia tak menyebutkan namanya jelek.

"Kalo memang ingin di kenal banyak orang, mudah kok..." jawab Sastro.

"Bagaimana caranya, bu?" kali ini ganti Riski yang mengankat alisnya, "Emangnya bisa?"

"Tentu bisa! Caranya dengan pintar, dengan juara di kelas atau bahkan di kota ini. Apalagi kalo bisa mengharumkan nama Indonesia, dikenal satu negara. Bisa kan?" jelas Sastro dengan bersemangat, dengan tujuan api yang berada di dalam diri anaknya akan membara.

下一章