webnovel

Bab 7. GUGUR (RENGGANIS)

"Aku hamil." Kataku dalam pesan yang kukirim kepada Ken, pagi ini.

"Tidak mungkin. Kita baru melakukan sekali." Jawabnya tidak percaya. Sejenak aku menghentikan jemariku untuk tidak segera mengetikan huruf-huruf membalas. Berpikir untuk mencari kalimat yang tepat. Berbicara melalui pesan itu bisa banyak menimbulkan persepsi yang terkadang jauh dari maksud sang pengirim. Seharusnya aku bertemu langsung dengannya untuk membicarakan hal ini, namun aku tidak ingin menyakiti Bantar lebih banyak lagi. Setidaknya untuk saat ini.

"Ini anakku, aku yang akan merawatnya."

"Oke." Begitu singkat jawabnya, kupikir itu akan mengakhiri pembicaraan kami.

"Kota tua, hujan yang menderas, serta hotel itu adalah saksi yang tidak bisa dihapus!" Ternyata masih ada lanjutan dari jawaban singkat tadi. Entah apa yang dipikirkan, kalimat yang dikirim kali ini ada nada kecewa dan sebuah ancaman.

"Ken, kita tidak akan bisa hidup bersama. Bantar tidak akan pernah melepasku, tentu kamu tahu itu."

Diam. Tidak ada lagi balasan.

Semenjak itu, tidak ada lagi pesan bahkan kabar dari Ken. Tanpa kata-kata, hubungan percintaan kami sudah berakhir tapi bukan cinta itu sendiri. Pernah suatu malam aku bermimpi tentangnya. Dalam mimpi kulihat Ken jatuh dari atas tebing, dan saat kulihat ke bawah tubuhnya telah terkapar di bawah jurang yang ternyata sebuah pinggiran pantai. Menurut ilmu titen jawa, jatuh dari jurang merupakan kemerosotan hidup dan air laut adalah masalah besar dalam hidup. Bangun dari tidur aku hanya termangu, memikirkan Ken yang sekarang entah di mana dan dalam keadaan tidak baik-baik saja. Maaf Ken, aku tidak bisa lagi berlari mengejarmu, rintihku dalam hati. Sejak awal, aku sudah berkata bahwa aku hanya ingin menjadi Drupadi yang akan melahirkan anak-anak dari bibit unggul meskipun tidak bisa kupungkiri bahwa memang ada cinta untuknya yang tidak pernah surut. Bahkan ketika dia telah pergipun, gairah dan rindu masih datang menjenguk mengantar getaran yang kadang tidak terbendung.

Aku juga sudah mengatakan pada Bantar bahwa aku yakin sedang mengandung anak Ken. Ada benci di matanya meski selalu ditutup-tutupi dengan diam dan menuruti mencium perutku setiap pagi. Aku tidak menutup mata hatiku tentang luka panjang yang sedang berusaha dia balut setiap hari. Aku juga tidak ingkar bahwa betapa egoisnya diriku memaksa dia menerima setiap pemikiranku. Semua itu demi sebuah pembuktian, bahwa menjadi ibu itu bukan sekedar takdir tapi tugas besar yang menjadi akar dari sebuah peradaban manusia.

Sebelum ini, aku berpikir akan menjadi Drupadi dari dua lelaki yang kucintai, jika dalam istilah ilmu sosial adalah perilaku poliandry yang mana di Indonesia terutama di Jawa, hal seperti tidak akan bisa diterima di kalangan sosial masyarakat. Meskipun seringkali aku memiliki pemikiran yang selalu bertentangan dengan cara berpikir masyarakat pada umumnya, namun masih ada hal-hal yang seringkali aku pertimbangkan baik-buruknya, bukan untuk diriku sendiri tetapi untuk anakku. Termasuk, jika benar aku akan melakukan cara hidup poliandry dengan menjadi istri dari dua lelaki. Awalnya aku terlalu yakin bisa menjalaninya, namun saat dua lelaki nyaris dalam genggaman aku mulai melepas salah satunya, Ken.

Aku tidak tahu alasan sebenarnya mengapa melepas ken begitu saja, apakah aku merasa yakin telah hamil dengannya kemudian sudah merasa cukup dengan kebutuhan yang telah kudapatkan, atau karena takut kehilangan Bantar, jika saja sewaktu-waktu Bantar tidak mampu menahan luka hatinya kemudian pergi begitu saja, atau perasaan bersalahku kepada Sevana, pacar Ken yang merasa perasaanya diombang-ambingkan sikap Ken yang secara tidak langsung akulah sebagai penyebab kebimbangan di hati Ken. Atau semua alasan itu yang membuatku merasa bersalah. Entahlah.

Kuambil laptop untuk meneruskan menulis cerita pendek yang kelak akan kujadikan sebagai sebuah kumpulan cerpen. Cerita-cerita yang kukumpulkan dari kisah nyata para perempuan tentang pergulatan mereka dalam hidup. Para perempuan yang pernah kukenal di sepanjang petualang hidup yang sengaja kuarungi demi menguak bagaimana para perempuan masih saja banyak yang mendapat perlakuan yang tidak adil baik secara fisik, psikologis maupun secara verbal. Salah satunya yang paling aku tonjolkan dalam kumcerku kali ini adalah kisah seorang perempuan gila, yang harus menggendong anak lelaki dari perkosaan yang dia alami kemudian mati di usia yang sangat muda.

Bagaimana tidak aku ingin dunia ini menjadi lebih baik, jika melihat dunia hanya berisi makhluk-makhluk kanibal yang memangsa bangsanya sendiri. Aku selalu berpikir, tidak bisakah dunia ini menjadi lebih baik atau setidaknya, jika memang harus ada kesedihan dan kebahagiaan, tidaklah sekeji itu. Bagaimana jika para perempuan mulai bangkit untuk mengisi dunia ini dengan melahirkan manusia-manusia berkualitas sehingga kesedihan itu hanya karena sebab kegagalan-kegagalan dari persaingan-persaingan hidup yang lebih bermutu. Sebuah penelitian mengatakan bahwa, kecerdasan seorang anak itu 95% diturunkan atau setidaknya dikondisikan oleh ibu. Aku ingin memulai dari diriku sendiri. Sungguh sayang melihat lelaki-lelaki yang memiliki keistimewaan itu memberikan bibit kepada para ibu yang tidak kompeten dan malas memikirkan masa depan dunia ini. Malas memikirkan kelangsungan hidup ras manusia.

Seandainya saja, dalam setiap aktivitas seks bukanlah sekedar pelampias biologis saja, tapi sambil memikirkan akan jadi apa setiap sel yang dia keluarkan dalam lenguh nikmat di setiap detiknya. Bukankah sudah ada manusia yang menemukan bagaimana sel-sel itu dikeluarkan dan apa saja yang akan menjadi apa ketika milik si jantan bertemu dengan si betina. Sehingga ketika berharap mendapat seorang anak dari aktivitas tersebut, bukan sekedar membuat dan mendapatkan saja, namun ada banyak yang bisa dilakukan untuk melahirkan generasi yang baik.

Terkadang aku bertanya-tanya juga tentang telah banyak cara manusia berusaha menjadikan dunia ini lebih baik dengan sengaja menghilangkan manusia-manusia yang dianggap tidak berkualitas. Sebagai contohnya saja adalah Hitler yang mengembangkan pemikiran Nietsche di mana Nietsche sendiri mengadopsi pemikiran Darwin tentang Genetik. Banyak yang menghujat usaha yang dilakukan Hitler dalam mempertahankan manusia-manusia unggul dan mematikan manusia-manusia yang dia anggap gagal. Kadang aku berpikir, mungkin kesalahan Hitler adalah ada unsur antisemit dalam usahanya sehingga memperlihatkan kesombongan Hittler bahwa rasnya lah yang paling unggul.

Namun, belajar tentang keseimbangan membuatku banyak tidak menyetujui orang-orang yang berpikir seperti Hittler. Bahwa dunia ini memang perlu kelas yang bekerja dari bawah, dari tengah dan bekerja dari atas. Jika semua merasa unggul, tentu akan menimbulkan perang yang lebih dasyat pula karena semua orang merasa pintar dan tidak bekerja di bawah sementara sebagus apapun sebuah teori, tanpa orang yang bekerja kasar untuk mewujudkannya tentu teori itu hanya sebuah omong kosong belaka.

Namun, tetap saja kecerdasan untuk mereka yang bekerja keras dari bawah dibutuhkan. Dengan kecerdasan, orang akan memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya masing-masing. Bisakah itu terwujud? Tentu saja sangat bisa. Lihat saja negara-negara yang berhasil membuat keseimbangan itu menciptakan kedamaian dalam hubungan antar makhluk hidup, bahkan semesta.

Apakah Bantar benar-benar memahami pemikiranku? Apakah Ken juga mengerti? Ataukah mereka hanya sekedar bergelut dengan perasaan romantisme belaka? Tidak gampang meyakinkan orang kemudian mengajak mereka turut berjuang demi idealis kita. Sebut saja Bantar, bagaimana dia menyikapi kehamilanku dengan benci yang berusaha dia tahan. Tidak bisakah manusia mencintai anak manusia meski itu lahir bukan dari bibitnya? Ah! Tidak seharusnya aku mencurigai perasaan Bantar seperti ini, jika dia mencoba memahamiku sudah seharusnya pula aku mempercayainya.

Lama kutermangu di depan laptop mencoba merangkai kata demi kata untuk menjadikan kisah tentang perempuan gila ini adalah cerpen yang menarik dan benar-benar melukiskan situasi serta perasaan Si perempuan gila. Banyak orang memandang orang gila sebagai makhluk asing yang tidak memiliki perasaan, dan ketika membaca tulisanku ini aku berharap mereka bisa turut merasakan bagaimana seorang gila hatinya lebih manusiawi dari manusia kebanyakan. Saking manusiawinya, mereka tidak mampu menahan beban kenyataan bahwa banyak manusia yang tidak semanusiawi dirinya. Banyak yang ingin aku tuang tentang semua itu, namun tidak banyak kata yang mampu kuciptakan kali ini.

Secara kebetulan seakan menjawab kebuntuanku, mendadak perutku melilit mengajak ke toilet. Karena merasa sudah tidak mampu menemukan kata-kata lagi, kumatikan laptop sebelum beranjak ke kamar mandi. Seperti tidak mau menunggu sejenak, perut yang melilit ini semakin menjadi-jadi dan membuatku segera berlari menuju kamar mandi sebelum laptop benar-benar mati. Dari ruang tengah aku langsung menendang pintu kamar mandi tanpa mengerem kecepatan laju kakiku. Namun sungguh nahas, ketika baru satu kaki kananku menginjak lantai kamar mandi yang licin karena pagi ini belum sempat kusikat dan sreettttt.... telapak kaki kananku meluncur deras tanpa memberi kesempatan aku untuk menyusun keseimbangan. Bukkk!! Cukup keras pantatku menyentuh lantai kamar mandi dan separuh badan atas jatuh di luar pintu. Beberapa saat aku kehilangan kemampuan untuk memahami rangkaian kejadian alias agak linglung, namun hanya beberapa detik saja dan akupun segera bangun. Memeriksa seluruh tubuh kalau-kalau saja ada luka yang serius. Namun setelah kuperiksa setiap inci tubuhku, akupun merasa lega karena tidak ada cidera, hanya sedikit rasa nyeri di pantat karena itu bagian yang pertama jatuh dan menahan anggota tubuh lain. Demi melihat tubuh baik-baik saja, akupun meneruskan hajatku yang tertunda.

Sorenya, seperti biasa menemani Bantar istirahat sepulang kerja sambil menyesap rokok dan kopi di meja makan. Akhir-akhir ini, tidak banyak yang kami obrolkan, dan hal itulah yang membuatku seinrkali berprasangka buruk tentang pikiran bantar akan diriku, bukan berarti tidak lagi mepercayainya, namun kenyataannya Bantar lebih banyak menutup diri dan komunikasinya denganku. Seperti kali ini, yang biasanya banyak cerita serta perdebatan di meja makan, namun hanya sepatah dua patah kata yang terucap dari mulutnya itupun jika ada pertanyaan dariku. Kopinya sudah tinggal setengah, dan biasanya itu adalah saat dia mulai beranjak ke ruang atas tempatnya menyepi dan berkarya. sudah ada tanda-tanda itu, hanya dia mencoba membuat suasana tidak begitu kaku sehingga tidak langsung beranjak.

"Bagaimana perutmu?"

"Perutku?" Aku bingung dengan pertanyaannya berpikir dia tahu dengan insiden kamar mandi tadi pagi.

"itu." Ucapnya lagi sambil mendongakkan kepalanya ke perutku. Aku mulai paham dengan maksudnya bahwa itu adalah tentang kandunganku.

"Oh. Tidak masalah. Baik-baik saja." Ucapku singkat.

"Mungkin aku akan berhenti merokok sementara." Bantar hanya mengerucutkan bibirnya sebagai jawaban, kemudian pamit beranjak menuju ruangnya.

Aku meneruskan aktivitas ngopi di sore itu sendiri. Iya, aku harus mulai berhenti merokok dan mengurangi kafein untuk sementara waktu. Itu yang aku lakukan sewaktu hamil Bhre dulu, sejak pertama tahu hamil aku mulai memakan makanan sehat, bahkan jika makanan yang tidak aku sukai sekalipun. Semisal betapa aku tidak menyukai wortel, namun tetap memakannya demi asupan gizi untuk sang bayi. Banyak memakan sayur yang mengandung asam folat di mana itu penting untuk perkembangan otak janin. Biasanya asam folat banyak terkandung di sayur bayam, Brokoli serta ikan. Meskipun aku juga mengalami hal-hal yang kebanyakan dialami ibu hamil di trisemester pertama, yakni mual dan muntah jika membaui apa saja utamanya bau amis, namun aku terus memaksakan diri untuk makan makanan yang bagus untuk calon anakku. Sering aku mendengar cerita bagaimana seorang calon ibu sampai dirawat di Rumah Sakit hingga berminggu bahkan sampai trisemester yang berjalan 3-4 bulan berakhir, sang ibu hanya dirawat di tempat tidur. Hanya ibu yang manja, pikirku. Biasanya calon ibu yang terlalu menuruti dirinya sendiri, diapun akan rapuh saat mulai anak lahir hingga mendidiknya di masa balita.

Perlahan kusesap hingga tandas kopiku yang tinggal seperempat cangkir, di saat yang sama mendadak ada sesuatu yang keluar membasahi celana dalamku. Segera kuletakan cangkir kopi dan beranjak menuju kamar mandi. Kuturunkan celana dalam hingga setengah paha dan mulai kuperiksa apa yang tadi mengalir. Ternyata benar dugaanku, ada bercak darah di sana. Mencoba tidak panik dan dengan tenang kubuka celanaku kemudian kuganti dengan yang baru. Hanya saja malamnya aku sadar bahwa aku datang bulan.

下一章