webnovel

Jadi Awak Kapal Tiongkok

"Pulang ke kapal kalian, suluh pimpinan kalian menghadapku!" kata orang itu marah. Setelah prajurit-prajurit itu pergi Panglima Hong Bao mendekati Paman Bayu dan memberi salam. "Kami mohon maaf. Memang ada bebelapa plajulit kami yang bertindak semblono. Sebagai hadiah, maukah kalian singgah di tenda kami?"

Paman Bayu membungkuk. "Terima kasih. Bangga sekali kami mendapat kehormatan oleh yang mulia."

Panglima Hong Bao berkata, "Tendaku berwalna melah dengan atap walna hijau. Bawalah ini, agal kalian mudah menemuik." Panglima Hong Bao memberi pita yang ada tulisan Tiongkok. "Aku tunggu saat matahali telgelincil sedikit di sisi balat."

"Terima kasih yang mulia," kata Paman Bayu.

Panglima Hong Bao dan pengawalnya meninggalkan warung. "Beruntung sekali kalian, karena ada yang melerai. Kemarin ada yang dihajar oleh perajurit mabuk tapi tidak ada yang menolong. Mungkin nasib kalian sangat baik," bisik pemilik warung.

"Ya," kata A Liong cepat. "Berapa ongkos makan tadi?"

"Tiga kepeng, tuan."

A Liong berkerut. "Kok mahal sekali?"

Pemilik warung menyeringai. "Maklum, baru banyak yang butuh makan. Aji mumpung."

"Pintar juga kamu berdagang," kata Paman Bayu sambil tersenyum. "Untung warungmu tidak hancur." Mereka meninggalkan warung lalu mencari tempat berteduh untuk duduk-duduk sambil melihat kegiatan anak buah Cheng Ho. "Kita datang di tenda Hong Bao?" tanya A Liong.

"Tentu saja, ini kesempatan emas. Siapa tahu kita mendapat keterangan tentang Nimas," kata Paman Bayu.

"Paman, kenapa Panglima Hong Bao bicaranya cadel, tidak bisa mengucapkan "er"? tanya Pring.

"Mungkin karena lidahnya pendek," jawab Paman Bayu, sambil tertawa.

Dari percakapan A Liong dengan beberapa orang Tiongkok mereka tahu kalau Panglima Hong Bao adalah salah satu pemimpin kapal yang kedudukannya setingkat di bawah Laksamana Cheng Ho. Dia setingkat dengan Panglima Zhou Wen dan Panglima Zhou Men. Ketiga panglima itu masing-masing memimpin kesatuan kapal penempur dan kapal panglima disebut kapal komando. Kapal komando pimpinan Panglima Hong Bao bertugas mengawal kapal utama yang ditumpangi Cheng Ho. Ketika matahari telah melewati titik tengah, mereka bertiga menuju tenda yang ditunjuk. Mereka melewati berlapis-lapis pengawal, tapi dengan pita pemberian Panglima Hong Bao mereka diterima dengan segan.

"Silakan masuk, kalian dudah ditunggu Panglima Hong Bao," kata salah satu pengawal.

Dengan sedikit ragu mereka masuk ke dalam tenda. Luar biasa, tenda yang sangat mewah. Mereka bertiga layaknya debu yang mengotori keindahannya. Begitu melihat kehadiran mereka Panglima Hong Bao berdiri dan mempersilakan mereka duduk di karpet. Pring merasa sangat kecil dan tak berarti melihat kemewahan di sekelilingnya. Pring lebih banyak jelalatan melihat isi tenda. "Sikali lagi kami mohon maaf atas kejadian tadi," kata Panglima Hong Bao.

"Lupakan itu, Panglima," kata Paman Bayu.

Panglima Hong Bao tersenyum. "Hiaya, halap kalian ketahui, pelayalan besal ini tidak untuk mencali musuh. Tetapi pelayalan untuk menjalin pelsahabatan. Kaisal Yongle berhalap kekaisalan kami memiliki banyak teman di mana-mana, dan pulau Jawa yang subul ini tidaklah telalu jauh dali Tiongkok." Paman Bayu dan A Liong mengangguk-angguk. "Apakah kalian olang-olang sekital sini?"

"Bukan yang mulia, kami dari pedalaman. Kami orang hulu sungai Bengawan Solo. Kami terpaksa melakukan perjalanan jauh karena mencari anak kami yang hilang," kata Paman Bayu.

"Hilang?"

"Ya, karena ulah sekelompok orang yang menggunakana kapal berkepala naga. Mereka membakar dusun dan membunuh beberapa orang, termasuk Tuan Ling Tiong ayah mertua hamba," jawab Paman Bayu.

Panglima Hong Bao terkejut sampai berdiri dari tempat duduknya. "Kapal itu berkepala naga dan membuat kelusuhan? Haiya, apa aku tidak salah dengal?"

"Betul, Panglima. Karena saya sendiri terlibat perkelahian untuk membela ayahku. Saya pun hampir terbunuh," kata A Liong. Panglima Hong Bao gelisah dan tidak tenang. "Mereka menggunakan panah-panah api tanpa busur, mengetahui rahasia obat api hanyalah orang Tiongkok," kata A Liong lagi.

"Haiya!" seru Panglima Hong Bao. "Memang sebelum mendalat di suatu pelabuhan kami mengilim kapal-kapal cepat kami untuk menjanjaki tempat-tempat itu. Tapi bukan untuk membuat keonalan ataupun pelmusuhan dengan pemelintah kelajaan atau penduduknya. Ini jelas-jelas masukan buat kami. Kami akan membicalakan dengan Laksamana Cheng Ho. Wajah kami tak ingin tercoleng dengan alang." Setiap mendengar Panglima Hong Bao bicara, Pring tersenyum geli.

"Maaf, bukan maksud kami membuat gundah," kata Paman Bayu.

"Tidak. Tidak, justlu aku bertelima kasih pada kalian," kata Panglima Hong Bao. "Lalu kalian setelah ini hendak ke mana?"

"Mencari adikku yang hilang," sahut Pring.

Panglima Hong Bao memperhatikannya dan terbit rasa ibanya. "Baiklah, aku akan membantu kalian. Bagaimana kalau kamu ikut di kapal kami?"

"Terima kasih, Panglima. Tapi kalau diizinkan biarlah anakku ini tidak berpisah denganku," kata Paman Bayu.

"Ha-ha-ha, maksudku kalian beltiga ikut kapal kami."

Paman Bayu memandang A Liong. A Liong memberi hormat kepada panglima. "Bila diizinkan biarkan hamba tidak berada di kapal ini, agar aku bisa mencari keponakanku di kapal lain."

"Baiklah, akan kukilim sulat kepada Panglima Zhou Men. Agal kamu bisa ikut di kapalnya. Tapi kalau disuluh bekelja di bagian dapul tidak apa-apa, kan?"

A Liong tertawa. "Terima kasih, Panglima." Pangliam Hong Bao memberi isyarat tangan kepada pengawalnya, lalu pengawalnya membawakan kain dan tinta. Dengan cepat dia menulis lalu diserahkan kepada pengawalnya dan menyuruhnya mengantarkan A Liong kepada Panglima Zhou Men. "Kita akan selalu memberi kabar," kata A Liong kepada Paman Bayu, lalu dia menepuk badan Pring. "Sampai jumpa lagi, akan kubawa Nimas untukmu." Sejenak Pring memegang erat tangan A Liong.

"Hoe Ho, antal tuan ini dan anaknya kepada Sim Po. Katakan kepadanya bahwa meleka beldua akan membantunya mengupas kentang di dapul," kata Panglima Hong Bao. "Kami masih cukup lama di Tuban, kalena menunggu belas. Kami membeli belas untuk bekal di lautan. Kalian beldua bisa membantu Sim Po, julu masak di kapal ini."

"Terima kasih. Panglima sangat bermurah hati kepada kami."

"Kecuali kalau kalian mata-mata yang dikilim kepada kami, maka kami tak segan menghukum mati." Kini Pring bergidik mendengar kata-kata itu.

Paman Bayu tertawa. "Percayalah, kami hanya sekadar mencari anak dan adik kami." Panglima Hong Bao tertawa. Pring dan pamannya diantar Hoe Ho menuju kapal. Menemui seseorang, Sim Po, yang ternyata laki-laki yang genit alias banci. "Ai-ai, semoga kamu pandai meramu bumbu sate!" kata Sim Po sambil mencolek lengan Paman Bayu. Pring berdoa semoga Sim Po sebaik pimpinannya. "Siapa namamu, nak?"

"Pring," jawab Pring. "Paman pandai bahasa Melayu?"

"Ai-ai, sebetulnya aku lebih suka dipanggil bibi," kata Sim Po. "Kalau bertamu tidak tahu bahasa tuan rumah bisa berbahaya. Bisa ditipu. Makanya, kamu harus belajar banyak bahasa. Bukan hanya bahasa jawa atau melayu saja, karena banyak orang asing yang akan kamu temui seiring usiamu. Bukankah kamu ingin jadi pelaut, anak ganteng?" kata Sim Po, genit sambil melirik Paman Bayu yang pura-pura tidak memperhatikannya. "Bapakmu sangat tampan meskipun memakai tongkat."

Tugas pertama Pring dan pamannya adalah mengantar Sim Po berbelanja di pasar. Bawaan mereka sangat banyak, tapi mereka dibantu beberapa orang lagi untuk membawanya ke kapal. Dengan bekerja di kapal itu mereka bisa pasang mata dan telinga untuk mencari keberadaan Nimas. Paman Bayu berpesan kepada Pring untuk hati-hati, tidak sembarang bercerita tentang kejadian yang dialaminya. "Kamu harus hati-hati, siapa tahu panglima Hong Bao juga menyuruh orangnya untuk memata-matai kita."

"Tapi dia sangat baik, Paman," bisik Pring.

Paman Bayu tertawa. "Dia orang pintar, sehingga siasatnya pun halus. Ya, mudah-mudahan saja memang dia tulus membantu kita." Selama kapal-kapal itu masih berlabuh mereka memasak makanan di darat. Bukan main sibuknya para juru masak. Mereka membuat ratusan dapur umum. Bayangkan saja, untuk menyuapi sekitar duapuluh tujuh ribu mulut. Bila sehari satu orang menghabiskan setengah liter beras, maka dibutuhklan 1300 liter beras setiap hari. Ya, prajurit dan awak kapal porsi makannya besar karena mereka harus kuat.

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

setiawansasongkocreators' thoughts
下一章