webnovel

Tragedi Telah Menanti

Pring diam sejenak. "Hanya beberapa hari. Bila aku sudah temukan paman, kami akan menjemputmu. Bukankah Ki dan Nyi Anjo sangat baik kepada kita? Siapa tahu Paman Bayu pergi melaut."

"Tapi ada Bibi Me Hwa," sergah Nimas.

"Bisakah Nimas tinggal beberapa hari di sini?"

Nimas tidak segera mengangguk. Tapi beberapa saat kemudian menatap kakaknya dan tersenyum, "Tapi segera kembali kalau sudah bertemu paman atau bibi."

Pring memeluk adiknya. "Pasti, adik cantikku!"

Sorenya, Ki Anjo dan beberapa orang telah sibuk menyiapkan pedati dan menaikkan barang-barang yang hendak dibawa ke Kota Air. Selain ikan asin juga hasil bumi dan beberapa kerajinan tangan dari dusunnya. Beberapa orang titip mata cangkul dan dandang agar dibetulkan di pandai besi Kota Air. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, mereka siap berangkat. Nimas tak mau jauh dengan kakaknya. Dan itu sebetulnya membuat Pring tida tega meninggalkannya.

Tiga pedati, tiga sais, Ki Anjo, Pring, dan empat tetanggganya. Jadi ada sembilan orang yang berangkat ke Kota Air. "Hati-hati, Kakang!" seru Nimas ketika pedati mulai berangkat.

"Jaga dirimu baik-baik!" seru Pring dari atas pedati. Dia menatap adiknya sampai pedatinya hilang di kelokan Dusun Jaganono.

"Kita akan cepat kembali," kata Ki Anjo kepada Pring. "Kita akan bermalam di Dusun Sigar Jambe sebelum sampai di Kota Air."

"Apakah ada perampok, Ki?" tanya Pring tanpa sengaja.

Ki Anjo tertawa. "Lihat, apakah mereka pegang senjata?" bisik Ki Anjo pada telinga Pring. Pring melihat seksama kepada para sais dan tetangga Ko Anjo. "Mereka masing-masing menyimpan senjata. Karena mereka adalah pengawal saya." Mendengar itu barulah Pring tenteram hatinya. Dia sering merasa ketakutan, juga suka mengalami mimpi buruk sepeninggal orangtuanya. Sehingga dia berjanji akan menjaga adiknya, apa pun yang terjadi. Mereka lebih sering bertemu hutan dari pada dusun atau persawahan. Sepanjang perjalanan mereka bercakap, sebelum akhirnya mereka terkantuk-kantuk dan terlelap. Hanya sapi dan saisnya harus tetap berjaga karena pedati terus berjalan. Menjelang matahari terbenam mereka tiba di sebuah dusun kecil, Dusun Sigar Jambe, dan mereka berhenti. Mereka disambut ramah oleh warganya. "Sudah lama saya bersaudara dengan warga sini, karena selalu menginap di sini kalau ke kota dengan pedati."

"Apakah Ki Anjo mendengar kabar tentang kedatangan armada kapal dari seberang?" tanya Ki Buyut, tetua dusun Sigar Jambe.

"Belum, Ki Buyut dapat kabar dari mana?" tanya Ki Anjo.

"Sepekan lalu ada beberapa orang yang menginap di sini. Tampaknya prajurit Blambangan yang menyamar. Kudengar mereka bercerita tentang pelayaran besar dari Kekaisaran Ming dari Tiongkok," kata Ki Buyut.

Ki Anjo mengerutklan dahi. "Apakah mereka akan menggempur Mojopahit untuk melepaskan dendam lama? Dulu Kaisar Kubulai Khan dari dinasti Mongol pernah mengirimkan duta ke Singosari yang saat itu dipimpin Kertonegoro. Utusan yang bernama Mengki itu diusir dan dilukai telinganya. Kaisar Mongol marah besar, dikirimnya ribuan prajurit ke Jawa untuk menghukum Kertonegoro. Tapi, Kertonegoro sudah duluan dibunuh Joyokatwang dan kerajaannya diganti dengan nama Kediri. Kedatangan pasukan Mongol itu malah dimanfaatkan oleh Raden Wijoyo untuk melawan Kediri. Tapi setelah Joyokatwang dan Kediri hancur, dengan siasat Raden Wijoyo, Ronggolawe, Nambi, dan teman-temannya, menyerang tentara Mongol. Tentara Mongol kokar-kacir kembali ke negaranya. Sementara Raden Wijoyo mendirikan kerajaan Mojopahit."

"Bisa saja terjadi seperti itu. Mudah-mudahan saja tidak," kata Ki Buyut. "Kami takut sekali kalau ada perang. Ah, sudahlah itu urusan kerajaan. Kita hanya rakyat jelata. Urusannya hanya cari makan. Meskipun makan tanpa lauk karena ayamnya belum bertelur."

"Ada banyak ikan asin di pedati," sahut Pring sambil tertawa.

"Kok saya baru melihat cucumu sekali ini, Ki. Belum pernah diajak jalan-jalan, ya?" tanya Ki Buyut menatap Pring.

"Ya, baru kali ini saya sempat mengajaknya jalan-jalan," sahut Ki Anjo sambil mengelus rambut Pring. Tampaknya Ki Anjo tidak tertarik memperpanjang soal kedatangan armada Tiongkok itu. Sebelum fajar menyingsing mereka melanjutkan perjalanan lagi. Beberapa keranjang ubi dan ikan asin di tinggal di rumah KI Buyut sebagai biaya menginap. Matahari sepenggalah mereka sampai di tepi Kota Air. "Pring, kamu ingat rumah pamanmu?" tanya Ki Anjo.

"Ya, Ki," sahut Pring girang. Ya, dia akan bertemu Paman Bayu adik ibunya yang sangat sayang kepada mereka. Pring ingat jalanan Kota Air di tepi sungai itu. Kota Air boleh dikatakan pelabuhan kecil dan sangat ramai dengan kedatangan perahu-perahu yang menyusuri sungai untuk berdagang.

Perantauan asal Tiongkok banyak yang tinggal di Kota Air, Paman Bayu menantu salah satu dari mereka. Dulu dia nahkoda kapal dagang Tuan Ling Tiong sebelum kecelakaan menimpa dirinya. Tapi anak Tuan Ling Tiong, Me Hwa, jatuh cinta kepadanya sehingga dinikahkan. Tuan Ling Tiong sudah sangat tua. Bibi Me Hwa sangat cantik dan baik. Berali-kali hamil tapi anaknya meninggal terus, konon katanya karena penyakit kucing, karena bibinya sejak kecil suka memelihara kucing.

"Pring!" terdengar teriakan. Suara itu sangat dikenalnya. Seseorang berlari ke arahnya dengan terpincang-pincang dan menubruknya, lalu mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Kaki kanan Paman Bayu cacat karena kecelakaan kapal. Mereka berdua terjatuh tetapi tertawa. "Mana Kangmas? Mana Mbakyu? Mana Nimas yang cantik itu?" tanya Paman Bayu. Matanya nyalang mencari ke kiri dan ke kanan. Ketika tidak ditemukan siapa-siapa bersama Pring, "Kamu ke sini bersama siapa?" Pring menangis. Setelah bisa menguasai diri Pring bercerita tentang orangtuanya. Mendengar cerita itu Paman Bayu menjambaki rambutnya sendiri seperti orang kesurupan dan menangis kencang sekali sambil memeluk Pring erat-erat. Dua orang itu berpelukan dalam tangis. Pring dibawa pamannya ke rumahnya. Tentu itu sangat mengagetkan bibinya, yang lalu menangis sedih ketika diceritakan nasib dua keponakan mereka.

"Kapan pedati-pedati itu akan kembali ke Dusun Jaganono, tempat Nimas?" tanya Paman Bayu.

"Besok," jawab Pring. "Mereka hanya mengantar barang dagangan dan beberapa keperluan."

"Aku akan ikut kalian menjemput Nimas," kata Paman Bayu. Pamannya minta diantar menemui Ki Anjo da kawan-kawan. Mereka berbincang akrab, karena Ki Anjo salah satu langganan Tuan Ling Tiong. Paman Bayu mengutarakan niatnya untuk ikut pedati Ki Anjo.

Tentu saja disambut suka cita oleh Ki Anjo. "Silakan, pasti Nimas senang sekali."

Mereka kembali ke rumah. "Besok kami akan menjemput Nimas. Ikut pedati Ki Anjo bersama Pring," kata Paman Bayu kepada Bibi Me Hwa.

"Aku ikut," kata Bibi Me Hwa.

"Jangan, siapa nanti yang menjaga Tuan Ling Tiong," kata Paman Bayu.

"Ada A Liong," kata Bibi Me Hwa. Paman A Liong adalah adik Bibi Me Hwa. Pring pernah diajari pamannya bahasa Tiongkok tapi sulit mengikutinya sehingga dia masih betul-betul buta bahasa itu. Sementara bahasa Melayu yang diajarkan mendiang ayahnya sudah dikuasainya. "Paling lama lima hari kami sudah kembali ke sini lagi. Bila dengan perahu bisa lebih cepat."

Keesokan harinya mereka meninggalkan Kota Air dan bertolak menuju Dusun Jaganono untuk mengambil Nimas. "Betulkah ada armada Tiongkok yang berlayar ke Jawa, Paman?" tanya Pring di sela-sela percakapan mereka di perjalanan..

"Betul. Iring-iringan kapal yang sangat besar, yang belum pernah ada tandingannya," jawab Paman Bayu. "Mereka sempat singgah di Kerajaan Aceh dan juga Palembang. Mereka sekarang sedang menyusuri laut utara Jawa. Mungkin, sekarang mereka sudah mendekati Tuban, karena beberapa waktu lalu kudengar kabar mereka sudah meninggalkan Semarang. Mungkin juga sekarang mereka sudah ada di sekitar Tanjung Jati atau Tanjung Bugel. Kabar yang kudengar kapal mereka terdiri dari enam puluh satu kapal jukung besar yang diringi kapal-kapal kecil yang jumlah semuanya mencapai duaratus kapal. Ada sekitar duapuluh delapan ribu awak kapal dan prajurit bersama kapal-kapal itu." Mereka yang mendengar cerita itu berdecak kagum.

"Luar biasa. Siapakah gerangan pemimpin armada kapal itu?" tanya sais pedati.

"Laksamana Cheng Ho," jawab Paman Bayu.

"Kok Paman Bayu tahu?" tanya Pring penasaran.

"Orang Tiongkok perantauan selalu mencari berita tentang tanah leluhurnya. Juga perubahan-perubahan pemerintahan yang terjadi di sana. Dan, berita itu disebarkan kepada sesama perantauan."

Di Dusun Sigar Jambe mereka bermalam dan esok paginya melanjutkan perjalanan dengan membawa jengkol dan pete dari Ki Buyut dan warganya. Jadi, selama ini mereka melakukan pertukaran barang-barang kebutuhan. "Setengah hari lagi kita sampai di rumah," kata Ki Anjo. Pring sudah ingin sekali bertemu Nimas. Pedati bergerak lamban, karena lebih banyak tanjakan, kebalikan dari saat mereka berangkat ke Kota Air. Mereka makin dekat Desa Jaganono ketika tiba-tiba Ki Anjo berdiri dan berteriak, "Berhenti dulu! Apakah kalian melihat kepulan asap itu?"

Orang-orang yang ada di pedati melongok ke arah depan yang ditunjuk Ki Anjo. "Asap itu dari dusun kita, jangan-jangan terjadi kebakaran!" teriak salah satu dari mereka.

"Ayo kita hela sapi kita cepat-cepat!" seru yang lain. Dengan kesetanan mereka melecut sapi-sapi yang sudah kelelahan. Pedati berlari kencang dan mereka tak menghiraukan barang-barang yang jatuh. Mereka hanya berpikir segera sampai di dusun untuk mengetahui nasib keluarganya.

Pring semakain cemas, tanpa sadar dia berteriak: "Nimas!"

Paman Bayu jadi gemetar ketika orang-orang pedati meyakinkan dirinya kalau asap itu dari arah dusun mereka. Dari jauh ada yang berlari-lari ke arah mereka, setelah dekat jatuh terjerembab di depan pedati. Untung sais segera menghentikan sapinya sehingga orang itu tidak terinjak sapi. "Icul!" teriak salah satu pengawal Ki Anjo.

Ki Anjo segera meloncat turun dari pedati dan menemui pembantunya yang penuh luka-luka. "Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Ki Anjo.

Dengan terpatah-patah menahan sakit Icul berkata, "Orang-orang perahu berkepala naga menghancurkan dusun kita! Beberapa orang telah terbunuh!" seru Icul. Mendengar itu mereka tidak menghiraukan pedati lagi, ditinggal begitu saja dan mereka berlarian menuju dusun. Pring tertatih-tatih mengikuti mereka, pikirannya hanya pada keselamatan Nimas. Paman Bayu tertinggal, tertatih-tatih dengan tongkat kayunya.

Begitu Pring menoleh ke belakang, Paman Bayu menyuruhnya lebih cepat berlari. "Temukan Nimas!" seru Paman Bayu cemas. Begitu sampai di Dusun Jaganono yang ditemui hanya orang-orang melolong menangisi keluarganya yang tewas. Pring nanar mencari Nimas di antara kerumunan orang yang semuanya terisak. Rumah-rumah di dusun itu habis terbakar, Pring teringat desanya yang bernasib sama. Pring berlari menuju rumah Ki Anjo yang sudah luluh lantak terbakar. Dia berteriak-teriak memanggil Nimas tetapi tidak ada jawaban. Pring terjatuh lemas. Paman Bayu segera mendekatinya. Beberapa orang berlari menemui Ki Anjo sambil ketakutan.

"Siapa yang melakukan semua ini?" tanya Ki Anjo.

"Orang-orang perahu besar!" kata salah satu dari warga. "Tiba-tiba saja mereka datang dan merampas harta kami dengan sangat beringas!"

"Nimas!" teriak Pring lagi. Pring mencari adiknya lagi, berharap menemukannya meskipun mungkin hanya jenazahnya. Paman Bayu pun sibuk mencari Nimas di antara puing, kepulan asap, dan bara api.

Nyi Anjo terlihat nanar duduk di pagar dengan tatapan kosong. Ki Anjo berusaha menyadarankannya. "Nyai! Nyai! Ini aku Nyi, apa yang terjadi? Mana Nimas?"

Pring pun berjongkok di samping Nyi Anjo dengan gugup, sangat gugup. "Nimas!" isaknya tak terbendung.

"Nimas diangkut mereka!" kata Icul sesenggukan. "Aku tidak bsia menyelamatkannya, mereka sangat banyak dan beringas. Panah-panah api mereka bisa melesat tanpa busur. Tapi hanya dengan bara api!"

"Mesiu," bisik Paman Bayu ketika mendengar cerita Icul. Mengambil kesimpulan kalau anak buah Cheng Ho yang melakukannya. Nyi Anjo masih bengong tidak bisa berucap. Mungkin kekerasan yang dilihatnya telah membuatnya sangat ketakutan.

"Nimas anak yang cantik. Mungkin itu alasan mereka membawanya pergi," kata Ki Anjo. Kata-katanya menyentak kesadaran Pring yang segera berlari ke arah sungai dan berteriak keras sekali: "Nimaaas!!!" Tidak cukup itu saja, dipanjatnya pohon yang sangat tinggi layaknya seekor monyet kesetanan. Dinanarkannya mata ke ujung-ujung sungai untuk mengamati aliran sungai. Tapi tidak ditemukannya apa-apa. "Nimaaas!!" suaranya bergema dengan gaung yang sangat sedih, sampai daun-daun dan binatang yang mendengarnya pun menitikkan air mata mendengar suara itu.

下一章