Penjelasan Jennice membuat Qelia mencatat waktu-waktu itu dalam ingatannya. 'Pukul enam pagi, dua belas siang, dan terakhir pukul delapan malam,' ulang Qelia dalam hati.
Dia mengangguk, lalu tersenyum ke arah Jennice dengan sangat tulus. "Terima kasih," ungkap Qelia memasang wajah yang bersahabat sekali, seakan sebelumnya tidak punya masalah dengan Jennice.
'Sekarang pukul berapa?' tanya Qelia pada Xevanus melalui batinnya.
Mendengar pertanyaan sang master. Xevanus langsung memunculkan panel sistem yang memperlihatkan keadaan di luar. "Kira-kira pukul 12 tengah malam," jawabnya menebak-nebak.
Kepala Qelia mengangguk perlahan. Dia menolehkan kepala ke arah kasur yang ditempati para tahanan. Berdiri dari posisi duduknya, dia melangkah dan berbaring di kasur bawah.
"Ini sudah tengah malam. Tidurlah," saran Qelia lembut.
Lagi dan lagi, di mata Jennice dan ketiga tahanan lainnya. Dia terlihat seperti memerintah. Tak mau membuat masalah, mereka langsung bergerak berebut tempat tidur yang berada di sisi berlawanan dari Qelia.
Tak ada yang mau untuk menempati dua kasur yang berada di atas Qelia. "Minggir, aku pakai kasur yang di bawah," pinta Jennice terdengar mengancam dengan tatapan layaknya harimau kelaparan, tapi tak dipungkiri, kalau dia sedang ketakutan jika berhadapan dengan Qelia lagi.
Bisa saja nanti kondisinya menjadi lebih buruk dari apa yang terjadi barusan. Nyali ketiga tahanan tadi pun ciut. Sekarang hanya tersisa satu kasur di atas Jennice.
"Ini punyaku!"
"Punyaku!"
"Sejak kapan kalian bisa mendapatkan hak atas kasur di atas? Bukankah sebelumnya ini adalah milikku?"
Kelopak mata Qelia yang menutup rapat itu berkedut ketika suara dari tiga tahanan berebut kasur itu terdengar dengan sangat keras. Berusaha mengabaikan suara mereka, tapi apa daya. Semakin dibiarkan, mereka malah semakin ribut.
"Diamlah! Kalian bisa mengambil tempat tidur yang ada di atasku, untuk apa berebutan?" Qelia bangkit dari posisi rebahannya, lalu menatap ketiga tahanan itu dengan tatapan seperti sedang menatap kucing bertengkar depan rumah tengah malam. Tatapan meresahkan.
Mematung tanpa bisa bergerak. Mereka langsung terdiam begitu mendengar suara Qelia. 'Gawat! Pasti kami akan diberikan hukuman yang lebih buruk dari Jennice,' pikir mereka dengan keringat dingin mengucur di seluruh tubuh.
Melihat mereka hanya terdiam seperti itu. Qelia memijat keningnya dan berkata, "Cepat putuskan siapa yang akan tidur di kasur itu, sisanya akan tidur di atasku. Jika kalian memutuskan dengan lama, setidaknya jangan ribut!"
"Ba–baik," jawab ketiga tahanan itu menundukkan kepala mereka.
Qelia pun mengangguk pelan, lalu kembali rebahan dan menutup mata. Sementara ketiga tahanan tadi melanjutkan perebutan posisi kasur di atas Jennice dengan sangat sengit, tapi tidak membuat keributan seperti tadi.
Pada akhirnya, yang menempati kasur di atas Jennice adalah Flora. Tahanan perempuan dengan kulit gelap dan rambut sedikit keriting. Sementara dua tahanan lainnya menempati kasur yang berada di atas Qelia. Malam pun berlalu dengan tenang pada detik selanjutnya.
"Banguun! Waktunya keluar dari sel kalian, dasar para Penjahat!" teriak salah satu petugas perempuan dengan nada tegasnya. Sontak saja, semua tahanan yang sedang menutup mata dan terlelap di alam mimpi langsung terbangun mendengar suaranya, tak terkecuali Qelia.
Semua tahanan langsung turun dari kasurnya, begitu juga dengan Qelia. Sel pun dibuka. 'Xevanus, ini pukul berapa?' tanyanya dalam hati.
Xevanus yang tak pernah tidur dan hanya mengganti waktu tidurnya dengan kultivasi pun membuka mata. Dia melirik ke layar yang terhubung ke luar. "Sekitar pukul enam pagi. Masih agak gelap, tapi matahari sudah menampakkan sinarnya," jelas Xevanus mengatakan apa yang dia lihat.
Mata yang tadinya masih menampakkan hawa malasnya orang bangun, kini langsung berbinar dengan sangat cerah seakan-akan siap untuk menempuh hidup baru. "Xevanus, persiapkan dirimu. Kita akan melakukan apa yang kamu sarankan tadi malam sekarang," lirih Qelia mengepalkan tangan.
Senyum penuh rencana dan siasat pun terbit di bibir Xevanus. "Baik, Tuan," jawabnya dengan nada sopan tingkat tinggi.
Qelia berbaris di belakang Jennice, Flora dan dua tahanan lainnya. Perlahan, mereka keluar satu per satu dan ikut menyatu ke barisan para tahanan yang lebih dahulu keluar dari selnya.
Begitu Qelia keluar dari sel. Banyak tahanan lain menatapnya dengan tajam. "Wah-wah-wah! Jennice, sepertinya kamu punya babu baru!" salah seorang tahanan perempuan dengan badan yang sedikit lebih kecil dari Jennice menerobos barisan, dia berdiri di belakang Qelia sambil menatapnya tajam.
Kalimat dari orang itu berhasil membuat keringat dingin mengucur di seluruh tubuh Jennice. Tak terkecuali Flora dan dua tahanan yang satu sel dengan Qelia. 'Kenapa mulut orang itu begitu luwes, aku lebih baik menjauh darinya karena tak ingin mencari masalah,' batin mereka pada orang pemilik suara tadi.
Jennice dan yang lain tak membuka suara sama sekali, sementara Qelia hanya mengabaikan omongan perempuan di belakangnya barusan. Dia menganggap omongan itu hanya sebuah cuitan tak berguna.
Para tahanan termasuk Qelia pun berjalan keluar dari ruangan. Mereka menuju ruang makan yang cukup luas, dan di sana mereka berbaur dengan tahanan perempuan dari ruangan lainnya.
Tanpa mengubah barisan sedikitpun. Para tahanan yang memasuki ruang makan termasuk Qelia akan diberi nampan khusus untuk makan. Mereka harus berbaris untuk mendapatkan makanan.
Tahanan perempuan yang bernama Grace di belakang Qelia tersenyum. Dia memiliki ide dan niat untuk menjahili Qelia. Mengambil lauk-pauk yang tersedia, Qelia melangkah menuju meja kosong di pojok ruangan.
Niat awalnya adalah duduk sendiri dan menikmati makanan dengan tentram, sambil menunggu Xevanus mencari letak pasti dari keberadaan artefak ini. Akan tetapi, Grace tidak membiarkannya.
Brak! Grace duduk sambil menghentak nampan besinya di meja makan. Jennice, Flora dan dua tahanan lainnya melihat itu. Bukan, bukan hanya mereka, tapi juga seluruh tahanan perempuan yang ada di ruang makan tertuju pada Grace dan Qelia.
'Aku harus memperingatkannya, agar tak memancing emosi perempuan itu!' batin Jennice melangkah menuju meja Qelia sambil membawa nampannya juga. Dia diikuti oleh Flora dan dua tahanan lain.
Duduk di samping Grace, Jennice berbisik, "Jangan mencari gara-gara dengannya. Aku memperingatimu, sebelum kamu menyesal nantinya!"
"Hah?" Grace menoleh sambil memasang ekspresi tak percaya, tapi kemudian, tawanya menggema dengan keras di ruang makan. "Barusan kaubilang apa?" tanyanya mencoba memastikan bahwa kalimat barusan itu tidak salah dengar.
"Aku memperingatkanmu," ulang Jennice tapi dibuat lebih padat dan mudah dipahami, sebab dia yakin kalau Grace sudah mendengar kalimat sebelumnya, hanya saja Grace tidak percaya.
Brakk! Tangan Grace menghentak meja, disusul dengan tawa khas tak percaya. "Barusan ... kau benar-benar memperingatiku, agar tidak menyesal ketika mencari masalah dengan perempuan rapuh ini? Sekali tampar saja mungkin dia akan langsung pingsan!" tunjuk Grace dengan nada sarkasme.
'Aku sudah memperingatkanmu!' batin Jennice menghela napas. Dia mencuri pandang ke arah Qelia, lalu menjauh sedikit dari Grace. Jaga-jaga bila Qelia marah dan melakukan hal yang lebih parah, dari apa yang pernah dia terima tadi malam di sel.