Cahaya pada gelang ukiran teratai dan mawar pada tangan keduanya semakin bersinar setiap kali mereka memohon. Mereka sama sekali tidak menyadari apa sinar itu. Sebab, hanya fokus pada sang mama karena rasa khawatir tak lagi mampu untuk dibendung.
Di atas gubuk yang mereka tempati saat ini. Setitik bintang atau konstelasi sedang bersinar dengan semakin menyilaukan, seiring gelang kedua bocah di dalam gubuk itu semakin bersinar.
Angin berembus kencang, di seluruh dunia —dunia kedua bocah itu berada— diiringi ombak yang menggulung tinggi pada seluruh lautan, membuat para ilmuwan terkejut dengan sendirinya. Manusia yang tinggal di kota, maupun desa mulai khawatir bercampur resah. Satu pertanyaan yang sama dalam benak mereka; apa yang terjadi saat ini.
Konstelasi di langit atas gubuk tadi bersinar semakin cerah, lalu redup. Tak menyisakan cahaya sedikit pun pada cakrawala. Langit mulai ditutupi oleh awan hitam, bersamaan terhentinya cuaca ekstrim.
***
"Sekarang, biarkan saja dia seperti ini," titah Varo, mengusap cambuknya hingga bersih, dan kembali menyimpannya pada bagasi mobil. Kemudian mengambil tisu dan mengusap darah di tangannya, lalu masuk ke dalam mobil setelah memastikan jari-jemarinya bersih.
Ravo terdiam, napasnya menghela panjang mendengar perintah dari sang kakak yang menghalangi di tengah keasyikannya menyiksa pria tua Keyvano. "Baiklah," gumamnya berjalan ke dalam bagasi, meninggalkan Keyvano dengan kondisi mengenaskan.
Tubuh Keyvano yang telanjang bulat menampilkan setiap bagian yang dipenuhi oleh luka, dari kedua cucunya. Sakit dan perih tak usah ditanya lagi, luar biasa rasanya. Ditambah yang melakukan itu adalah cucunya sendiri.
Tanpa henti darahnya terus terkuras dan mengalir keluar melalui luka, membuat wajah pria tua itu semakin pucat. Di saat yang bersamaan, Ravo masuk ke dalam mobil. Kemudian, menengok ke arah sang kakak.
"Kak, aku masih belum puas," ungkap Ravo di dalam mobil. Varo melirik, dan memasang kacamatanya. Senyum smirk pada bibirnya mulai terlukis jelas setiap saat waktu berselang.
"Baiklah, kita akhiri ini semua siksaannya dengan satu ending. Kita ganti posisi, kamu bawa mobil, aku duduk di sana." Ravo mengangguk, walau tak paham apa 'ending' yang dimaksud oleh sang kakak kembarnya ini. Namun, firasatnya berkata bahwa itu akan sangat sayang untuk dilewatkan.
"Tabrak dia." Hanya satu perintah dari Varo, mata Ravo terbelalak dengan senyum yang berkedut senang. Ekspresi wajahnya menjadi penuh rasa bahagia mendengar kalimat itu.
Tak bisa membantah dan memang keinginannya. Adrenalin Ravo meningkat pesat. Jarinya terulur menyalakan mobil, memasukkan gigi, lalu menginjak pedal gas tanpa rasa iba.
Brak! Dalam injakan penuh. Mobil melesat menabrak pria tua penuh luka tak berdaya, sambil telanjang bulat dan terikat di pohon. Darah bercipratan ke segala penjuru arah, mewarnai malam dengan warna merah.
***
Masih diiringi dengan isak tangis. Keduanya juga belum menyadari sinar gelang mereka. Bintang-bintang membentuk pola seperti pada gelang keduanya. Tak ada manusia yang menyadari fenomena saat ini. Mereka masih sibuk mempertanyakan kejadian alam yang secara tiba-tiba. Lagi pula, langit ditutup oleh awan. Hingga mereka tak bisa melihat apa yang terjadi di baliknya.
Wusshh! Titik-titik cahaya pada langit yang membentuk pola teratai juga mawar, seakan bergerak pada satu posisi langit kosong. Tempat di mana konstelasi silau tadi meredup. Dalam sekejab, bintang yang tadi redup, kembali bersinar dengan lebih terang dari sebelumnya.
Bintang itu membelah diri dan bergerak turun, ukurannya semakin kecil setiap mendekati bumi. Kedua konstelasi yang berpisah itu tak berhenti bergerak melewati satu demi satu lapisan atmosfer pada bumi. Melewati awan, dan bergerak menuju gubuk sambil berputar-putar bagai gasing.
Cahaya yang tadinya bergerak turun melewati langit lapis demi lapis, kini berhenti tepat di atas tubuh si wanita muda yang menjadi ibu dari kedua bocah tadi. Kedua bocah itu berhenti menangis dan melihat ke arah dua cahaya itu.
Vesko —sang adik— menunjuk cahaya dan mengerutkan kening dengan mata sembab. "I–ni a–pa Kak?" tanya Vesko terbata-bata, meraih salah satu konstelasi seukuran kepalan tangan ke dalam genggamannya.
Aksvar —si kakak— menggeleng isyarat tidak tahu akan pertanyaan Vesko. Tangannya juga terulur mengambil salah satu cahaya itu dan melihatnya secara teliti.
Puas melihat cahaya itu, netra Aksvar melirik pada sang mama yang terbaring tak berdaya. Terus tertidur, tak peduli betapa keras guncangan untuk membangunkannya. Pandangannya kembali berkaca-kaca. 'Aku tak meminta apa-apa, selain Mama untuk bangun,' batin Aksvar menutup mata.
Air matanya turun menyusuri pipi, dan jatuh dari dagu. Menyentuh konstelasi yang ada di dalam genggaman tangannya.
Wuusshhh! Secara menakjubkan, konstelasi itu bergerak menuju jantung wanita yang tak lagi bernyawa di hadapannya.
Cahaya yang berada dalam genggaman Aksvar langsung meledak menjadi butiran debu. Kemudian berkumpul membentuk sebuah teratai yang sedang menguncup, lalu perlahan mekar dengan penuh pesona. Memukau Aksvar juga
Vesko, hingga binar lucu terlihat pada mata kedua bocah laki-laki tampan itu.
Teratai dari cahaya konstelasi itu bergerak menuju dada kiri, letak di mana jantung mama mereka berada. Boom! Suara ledakan kecil terdengar dari dalam, diikuti dengan detakan jantung yang kembali memompa darah ke sekujur tubuh, walau masih lemah.
Di kala jantung wanita itu mulai normal, jarinya bergerak dengan kening yang mengernyit. Perlahan, kelopak matanya mengerjab secara perlahan. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina mata.
Aksvar dan Vesko yang melihat itu saling bertatapan untuk sesaat, lalu mereka terbelalak tak percaya, kembali menatap sang mama.
Bocah bernama Vesko itu membuang cahaya bintang yang ada di dalam genggaman. "Mama!" teriaknya mendekat secara spontn, tanpa berani memeluk sang mama. Berbeda dengan Aksvar, bocah itu masih terpaku tak percaya dengan kesadaran yang terhanyut, saat mengingat cahaya konstelasi membentuk teratai tadi.
Entah Vesko sadar atau tidak, genggaman cahaya konstelasi yang berada di tangannya dia buang. Dan perlahan, cahaya konstelasi itu bergerak masuk ke dalam gelang bermotif mawar yang dia kenakan.
Itu terjadi tanpa diketahui oleh Aksvar, bahkan Veko sendiri. "Unggh, di mana aku?" gumam sang wanita bertanya dengan nada lenguhan di awal kalimat. Dia menggerakkan tangan menyangga tubuh.
Wanita itu bergerak mengedarkan pandangan ke setiap sudut gubuk tempatnya berada. "Bukannya tadi aku ditabrak, lalu hancur oleh mobil itu?" tanyanya menatap kedua telapak tangannya yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Wanita itu memang bangun, tapi jiwanya bukan lagi seorang perempuan. Melainkan seorang pria tua bernama Keyvano yang tadi disiksa oleh cucunya.
Aksvar yang melihat itu tak percaya, dia masih terdiam menatap sang mama sambil mengepalkan tangan. Berusaha menahan rasa takut dan rindu yang teramat dalam. Namun, seberapa kuat pun dia menahan.
Bocah itu tak bisa menahan rasa takut ataupun rindu, dan langsung bergerak memeluk sang mama. "Mama!" teriaknya. Tak mau kalah, Vesko juga berteriak dan ikut memeluk wanita itu.
Keyvano yang berada di dalam tubuh wanita itu mematung di tempat, mencoba mencerna apa yang terjadi padanya saat ini. Dia masih tak percaya kalau dirinya masih hidup dengan keadaan sehat seperti ini, setelah ditabrak mobil yang dikendalikan oleh sang cucu tadi.
"Apa yang terjadi?" gumamnya didengar oleh Aksvar. Bocah dengan rambut hitam legam itu mendongkak, menatap ke arah sang mama yang bergumam sambil memberikan tatapan polos.
"Mama tidak ingat? Tadi, Mama dibangunin gak bangun-bangun, sampai Vavar sama Koko nangis tadi," jelasnya polos —Aksvar menyebutkan nama panggilannya Vavar, juga nama panggilan Vesko adiknya, Koko.
Keyvano tersentak. "Apa maksudmu? Mama? Vavar? Koko?" tanyanya yang membuat Aksvar dan Vesko terdiam. Mereka tak percaya bahwa wanita di depan ini melupakan mereka. Kata-kata itu terus terulang dalam benak keduanya tanpa disadari oleh Keyvano.
Perlahan, mata keduanya dibasahi oleh air mata.