Pukul delapan malam mobil Reygan merapat di depan rumah Aneska. Ketika turun dari mobil, Aneska dikejutkan dengan 'patung selamat datang' yang mirip Mas Kinan.
Aneska memegang dadanya sambil beristighfar. Itu memang Mas Kinan. Aneska melayangkan tangannya dan terdengar suara mengaduh.
"Gue aduin Papa, ya." Bukannya mengadu soal pukulan keras yang dia terima. Tapi mengadu, kalau seharian ini anak bontot kesayangan Mama-Papa pergi dengan lelaki.
"Malam, Bang Kinan." Reygan merasa perlu keluar dari mobil dan menjelskan. Padahal tidak perlu sampai sejauh itu.
"Ah. Pergi sama lo, Rey. Gue kira sama siapa." Kinan terlihat lega. Kaca mobil Reygan yang gelap membuat Kinan tidak mengenali siapa orang di balik kemudi.
"Maaf, Bang. Niatnya main nggak seharian tapi Aneska bilang pengen lihat sun--" Sebelum kalimat Reygan selesai, Aneska berlari dan mendekap mulut lelaki itu dengan satu tangan.
"Sun apa?" Kinan menanggapi serius.
"Sun..." Aneska mengambil alih.
Kinan maju selangkah dan mengendus Aneska. Bau shampoo bayi dan asin. Dia menunduk. Melihat celana adiknya yang bersisa pasir. Tapi memutuskan untuk tidak membahas lebih lanjut.
"Udah makan kalian?" Kinan memang suka makan, tapi dia tidak bisa makan sendiri.
"Mbak Maya belum pulang?"
"Arisan sosialita." Mas Kinan menjawab sebal. Bukan arisan sosialita seperti yang kalian pikir. Maksudnya, Mbak Maya sedang kumpul dengan teman-temannya.
"Belum makan, kan? Yuk, gue traktir. Lo nggak buru-buru pulang kan, Rey? Mobil lo tinggal sini aja. Aman, kok."
"Aku capek, Mas." Aneska tidak lapar. Dia hanya ingin merebahkan badan.
"Rumah gue kunci, Dek." Sudah pakai embel-embel 'Dek' artinya Kinan tidak mau ditentang. Ya ampun, ini cuma masalah makan.
Kinan merangkul bahu Aneska dan Reygan. Tidak memberi kesempatan Reygan untuk menjawab. Dia menyeret keduanya ke kedai nasi lamongan di depan komplek. Sepertinya baru buka, Aneska tidak lihat sebelumnya.
Ketiganya sudah mencari tempat, lalu duduk. Soal memesan, Aneska menyerahkan sepenuhnya ke Kinan.
Kata Kinan begini ketika satu pelayan mendekat. "Mas, ikan gurame bakal satu. Cumi bakar dua. Lo mau apa, Rey?"
Reygan tentu saja tercengang. Bukannya Kinan menyebutkan tiga pesanan? "Samain sama Anes aja."
"Oke, jadi gurame bakar satu, cumi bakar dua, nila bakar dua."
Reyfan memutuskan untuk diam dan menelan kalimat spontanitas yang ingin keluar. Dia ingat kalimat Aneska tempo hari tentang gentong di rumahnya.
Kinan yang pengertian tidak lagi membahas dari mana dua orang di depannya ini pergi seharian. Sambil menyeruput es teh manisnya, Kinan bertanya hal lain. "Kalian pacaran?"
Jujur. Lebih baik Mas Kinan tahu dari mana mereka seharian ini. Daripada bertanya hal konyol seperti itu.
"Bang Kinan tebak sendiri aja." Reygan menjawab bijak.
Kinan menggaruk rambutnya.
"Mas Kinan aja jomblo, masa aku mau pacaran?" Aneska tahu jika seminggu lalu kakaknya itu diputus. Memang tidak kentara. Kinan juga tidak galau sepanjang hari.
"Oke. Kita makan!" Kinan sengaja mengalihkan, bertepatan dengan pesanan mereka yang datang dengan kilat.
Aneska dengan sebal menukar nilai bakar miliknya dengan cumi bakar pesanan Kinan.
"Anes di sekolah nggak nyusahin lo kan, Rey?"
"Nggak, Bang. Cuma suka ngajak ribut."
Kinan memajukan tubuhnya ke arah Reygan berkata pelan. "Dia takut sama cicak, kodok, terus cacing."
Reygan mengacungkan jempol sebagai jawaban. "Jadi kenapa Bang Kinan jomblo?"
Aneska tertawa hampir menyemburkan nasi di mulutnya. Buru-buru dia telan.
Kinan ingin marah, tapi ini Reygan. Mana tega dia marah ke kenalan yang Papa sayang.
"Tahu kenapa Anes nggak pacaran?"
Reygan mengangguk.
"Nah! Sama jawabannya." Kinan beralih ke piring kedua. Saling penuh mulutnya dia memaksakan bicara.
Dan kalimat konyol lainnnya terlontar dari mulutnya. "Tapi keluarga kamu nggak menolak kemungkinan lain, Rey. Lo bisa daftar jadi mantu mulai sekarang."
Aneska kalau lupa ini di mana, kalau saja dia tidak punya sopan santun dan berani melawan orang yang lebih tua--terlebih lagi ini kakaknya sendiri. Dia pasti sudah melempar air kobookan ke wajah Kinan.
Tidak bisakah Mas Kinan diam dan makan saja? Menghabiskan tiga porsi itu lama. Tidak perlu diselingi dengan bicara hal-hal aneh.
"Bisa gitu, Bang?"
"Bisa. Itu artinya lo pacaran setelah dapat restu dari Papa."
"Ngelamar dulu?"
"Yes!"
Reygan lalu tertawa. Dia hanya menanggapi kalimat Kinan saja. Siapa tahu menyenangkan. Dan, iya.
Kinan beralih ke piring kedua. Reygan saja baru habis separuh. Aneska tidak mau terlibat lagi, dia fokus makan.
"Tapi Anes bukan tipeku, Bang."
Kinan mendongak, mulutnya yang penuh menganga. Lalu menutup. Dan berkata santai. "Bagus kalau lo punya idaman lain. Anes ini nggak ada cantik-cantiknya kalau di rumah."
Sudah dibilang, Aneska sudah menulikan pendengaran. Daripada dia hilang kendali dan membalik meja mereka.
"Tapi Anes baik." Reygan menambahi.
Aneska tersedak.
****
"Eh! Eh! Gue nggak nerima penumpang ya."
Kalau itu Ari, Adit atau Kiki. Dia tidak akan keberatan. Dia tidak menerima penumpang perempuan. Kecuali situasi darurat.
Tak terkecuali Aneska.
"Keluar."
Aneska cuek memasang sabuk pengaman. "Gue temenin ke rumah Sonia."
"Gue bisa sendiri."
"Gue pengen ikut!"
Merasa tidak bisa mengusir gadis itu, Reygan melajukan mobilnya meninggalkan halaman parkir sekolah.
"Udah seminggu lebih dia nggak masuk sekolah. Gue khawatir." Aneska membuka obrolan.
Reygan sendiri tidak bisa menghubungi Sonia. Semoga saja gadis itu baik-baik saja.
Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di depan rumah berpagar hitam yang menjulang tinggi. Aneska turun lebih dulu dan menekan bel di samping gerbang. Berkali-kali.
Reygan ikut turun. Aneska masih menekan bel dengan tidak sabar. Dia sampai harus menarik tangan Aneska agar tidak merusak bel.
Rumah itu kosong.
Tapi Aneska belum menyerah. Dia menyentuh sisi-sisi pagar. Siapa tahu bisa dipanjat.
"Lo mau ngapain?" Reygan mencekal lengan gadis itu sebelum nekad. "Lo mau diteriaki maling?"
"Ya udah, lo aja yang manjat. Gue yang jaga."
"Nggak. Kita pulang aja."
"Kita udah di sini. Dan langsung pulang gitu aja?"
"Rumahnya kosong."
"Kita coba dulu masuk," kekeuh Aneska.
"Kalau lo mau manjat masuk, sana. Gue mau pulang!"
Aneska menghentakkan kaki dengan kesal. Tapi baru saja Reygan membuka pintu mobil, orang yang mereka cari muncul dengan plastik putih di tangan. dengan masker dan topi hitam. Melihat Sonia yang seperti ini, Reygan sesak.
Aneska berlari mendekat. Sonia tidak menghindar. Percuma juga dia lari. Aneska lantas memeluknya tanpa ragu. Membuatnya terharu.
Setelah Aneska melepas pelukannya, Sonia mendekat ke Reygan. Dia menurunkan masker putih yang menutupi wajahnya. Dia ingin marah. Meluapkan semua yang dia rasakan selama ini. Karena objek itu nyata berada di depannya. Tapi kemarahan itu menguap begitu saja ketika Reygan menatapnya teduh.