Pintu benar-benar terbuka saat aku belum sepenuhnya tenang dan menguasai diri yang tentu saja masih bingung dan takut, bahkan aku menengok ke belakang, dan berharap ada Bu Lia di sana, tetapi aku sekarang sendirian.
Aku bisa melihat pintu terbuka sedikit, lalu menangkap mata yang terkena sinar matahari menatapku dengan menyipit, hidungnya saja tak terlihat sama sekali, dia beberapa saat seperti itu, aku jadi tak bisa berekspresi dengan benar.
"Selamat siang, Bu Rohani?" tanyaku sekaligus menucap salam saja.
Pintu kembali di tutup dengan kasar, dan aku jadi mematung di tempat.
Aku kembali mengetuk pintu tersebut dan kali ini dengan jumlah ketukan yang bertubi-tubi. Kesempatan tak boleh hilang, aku perlu melakukannya sekarang.
Aku baru berhenti ketika pintu kembali terbuka. Mendadak semua yang mau kuucapkan menguap begitu saja tanpa bisa kucegah. Isi kepalaku kosong melompong ketika mendapati sosok yang membuka pintu itu dengan sangat lebar.
Pemandangan menyeramkan yang bercampur dengan kengerian menyambut kedua manik mataku dengan sukses. Aku bahkan harus mengedipkan mataku dan berharap ini hanya halusinasi, atau yang terburuk adalah setan kiriman Mas Fadil kembali ikut campur dengan urusanku di sini.
Akan tetapi, yang kulakukan justru malah membuatku sadar kalau ini adalah kenyataan.
Di hadapanku berdiri sesosok wanita dengan rambut yang hampir botak, luka seperti habis terbakar, menghiasi bagian kanan wajahnya. Akibatnya warna kulit beda, dan sepertinya luka itu masih basah. Bahkan aku melihat dia menyingkirkan seekor lalat yang asik mampir di atasnya.
Lidah terasa kelu, aku merasa sangat sungkan, bahkan untuk bernapas sekalipun. Ini nyata, wanita yang menyeramkan itu nyata.
"Udah puas kamu menghina penampilan saya?" tanya Wanita itu memecah lamunanku yang baru saja terbentuk.
Sontak, aku gelagapan dan segera membungkuk. "Maaf, saya tidak bermaksud, saya hanya lupa mau mengatakan apa setelah Anda tadi menutup pintunya. Apakah ini Ibu Rohani?"
Wanita itu menaikkan satu sudut bibir kanannya, tersenyum mengejekku. Ya, memang apa yang aku lakukan tadi sangatlah tak sopan, memandang fisik orang lain dengan sangat saksama sampai melupakan mengucap salam atau terima kasih karena dia mau membuka pintunya.
"Iya, saya Rohani. Ada apa mencari saya? Saat ini saya sedang libur praktek, datangla malam Jum'at Kliwon. Itu adalah tanggal yang saya tetapkan untuk praktek."
Aku menggeleng cepat, tak mau disangka yang tidak-tidak soal ilmu hitam yang dipikirkan juga oleh Ibu Lia dan pria di warung tadi.
"Maaf, tapii saya sama sekali bukan mau menggunakan jasa Bu Rohani sebagai orang pintar. Saya hanya mau bertanya setelah diarahkan ke sini oleh Pak Kusumo."
Lebih baik langsung saja kugunakan nama pria itu, agar perhatian Bu Rohani sedikit terbagi dan aku tak perlu menjelaskan lagi banyak-banyak perihal apa yang mau kuutanyakan di awal bertemu. Bisa-bisa kalau dalam posisi seperti ini, dia akan kembali menutup pintu dan hilanglah kesempatan langka ini.
"Kusumo?! Kurang ajar! Buat apa dia menggunakan namaku untuk membawa orang asing yang ternyata sudah terlanjur datang. Apa yang kamu lakukan dengan pria itu?" tanya Bu Rohani sambil memegang kedua pundakku, dia bahkan mencengkeramnya dan membuatku meringis kesakitan.
Aku berusaha melepasnya perlahan agar dia tak melakukan hal yang lebih jauh lagi. Namun, tenaga wanita yang kutaksir usianya tak jauh dari Pak Kusumo ini, sangatlah kuat. Dia menambah kekuatannya dan aku terpaksa berteriak demi menghentikannya.
Seketika teriakan nyaringku membuat dia berhenti dan segera melepas cengkeramannya yang terasa menyakitan, seperti mau meremukkan tulang-tulangku.
"Kamu?! Oh, kamu calon tumbal itu?" dia menunjukku, lalu menutup mulutnya dengan mata yang hampir keluar ketika menatapku.
Ibu Rohani semakin bertingkah menyeramkan, rambutnya yang memang seudah hampir botak setengahnya itu terlihat tergerai. Penampilan orang ini perlahan-lahan, jadi menyedihkan walaupun aku takut ketika menatapnya terlalu intens.
"Kenapa kamu datang ke sini, kenapa kamu mengotori kesucian rumahku, wanita menjijikan!" Bu Rohani berteriak, dan menccoba mendorongku dengan tenaganya yang mulai melemah, sama sekali tak ada kekuatan yang membuat dia bisa menyingkirkanku.
"Stop! Hentikan teka-teki sialan ini!!"
Bu Rohani mendadak diam ketika mendengarku mengatakan hal kasar. Aku bahkan mau meledak ketika mengatakan itu. Rasanya semua yang kucoba dan kuusahakan demi membebaskan diri, selalu terpentok dengan orang-orang tak jelas yang bukannya membantu, malah membuatku mau menyerah sejak hari pertama.
Tanpa sadar aku meremas rambut dan merasakan kepala yang pening luar biasa, tubuhku berat dan aku mendengar suara-suara yang sangat menyakiti telinga.
Aku mendengar sebuah lagu yang terasa berputar. Lagu yang kudengar di rumah waktu pindahan. Samar-samar aku sering mendengarnya dan aku benci keadaan ini.
Pandanganku terasa berbayang, aku tak mau menyerah dan kembali kehilangan kesempatan.
"Ampun, Nyai! Kami hanya mau hidup lebih lama, menikmati masa tua, uang yang berlimpah, kami tak akan ikut campur!"
Bu Rohani berkata sambil mengelus telapak tanganku yang dia cium juga berkali-kali sehingga aku jadi risih dan berusaha menjauh, tetapi tubuhku sangat lemah untuk diajak bergerak. Aku harus bisa menguasai diri dan tak mau kalah, aku berusaha tenang dan tak terpengaruh, meskipun dalam diri ada saja dorongan untuk melakukan hal yang di luar nalarku.
Entah mengapa aku sangat ingin menyambar sebuah kursi dan menghantamkannya ke tubuh Bu Rohani.
Aku sadar ketidak normalan ini adalah ulah setan yang terus mendorongku untuk melakukan hal yang dibenci. Aku tak mau mengalah dan membiarkan tubuh ini digunakan oleh setan untuk membuatku menjadi hal paling tak berguna.
"Saya tidak mau sampai kamu membuat hubungan yang sudah saya atur ke Nyai dan apa yang Anda harapkan itu, tolong jangan berpikir terlalu panjang dan sekarang membuat saya jadi kerepotan."
"Saya minta maaf dan saya tak akan melakukan semua hal yang menyulitkan Bu Rohani."
Aku perlahan sadar dengan rasa sakit dan pandangan berkunang, menatap Bu Rohani kembali dengan wajah yang memerah itu.
Aku mundur selangkah demi mengindari Bu Rohani.
"Ikut ke bawah, saya akan mencari tahu tentang ini semua dengan suasana yang lebih tenang."
Bu Rohani berjalan melewatiku dengan gerakkan yang seraddak-seruduk seperti orang terburu-buru, dan aku mengikutinya dari belakang.
Kami menuruni tangga yang sepi dengan pencahayaan minim, menyebabkan pengelihatan yang sulit, bahkan bisa membuat orang yang menuruni tangga ini tergelincir apabila kehilangan fokusnya.
"Duduklah dulu!"
Kami akhirnya sampai di bawah, dan ada meja bundar dengan kursi di kanan dan kirinya. Aku duduk meskipun tak ingin. Terpaksa demi Bu Rohani dan aoa yang mau dia bicarakan.
"Ini tempat praktek Ibu Rohani?" tanyaku.
Wanita itu tak menjawab dan dia sepertinya sedang mencari benda di sebuah laci yang ada tak jauh dari tempatku duduk.
Cukup lama, sampai akhirnya berhenti dan dia berbalik menatap ke arahku dengan dua benda yang sangat berbahaya.
Aku baru sadar kalau Ibu Rohani, sepertinya mau menjebakku dengan akal bulusnya.