Aaah! Lepas!" Aku menarik tangannya tapi kalah kuat.
Dia makin menekan lukaku. Raut wajahnya sangat menakutkan, dia seperti kesetanan. Ada apa sebenarnya dengan Bu Putri.
"Kamu mau bebas dari masalah ini, 'kan?"
Aku mengangguk samar. Dia langsung tenang dan wajahnya tidak menakutkan lagi. Wanita yang menggunakan daster merah itu masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa benda yang menurutku sangat berbahaya.
Aku tersentak melihat senjata tajam yang dibawa Bu Putri dari dalam. Oh, tidak! Dia benar-benar dirasuki setan. Aku bangun dari duduk dan mencoba menghindari wanita di depanku yang sudah menyeringai. Dia seakan-akan menemukan mangsa empuk yang siap dijagal.
"Ibu, mau apa?!" ingin berteriak agar ada yang mendengar, tetapi suara yang keluar tak sesuai apa yang kumau.
"Lho, kamu bilang mau bebas dari semua ini, 'kan? Sekarang saya akan bantu kamu. Caranya, dengan menancapkan benda ini, tepat di jantungmu, Fira!" Wajah Bu Putri terlihat menyeramkan.
Dia tak tetlihat seperti orang baik. Aku jadi ragu dan malah mau memilih pergi saja dari sini. Karena aku merasa semakin aneh dengan sikap yang ditunjukkan oleh wanita di hadapanku.
"Tidak! Jangan coba-coba lakukan ini, Bu! Saya akan teriak!" Aku mencoba mengancam.
Aku memutari sofa menghindar dari Bu Putri yang terus saja mengekorku. Dia tidak terlihat takut sedikit pun, malah tertawa geli dengan ancamanku.
"Coba saja, kamu pikir orang-orang di sekitar sini ada yang mau bantu kamu?" Dia enggan berhenti.
Aku sadar, omongannya benar. Tadi saja orang-orang berlari ketika melihatku. Namun, kalau tidak berteriak aku bisa tiada di tangannya.
"Tolooong ...!" Aku akhirnya berteriak.
entah ada yang mendengar atau tidak, tapi aku akan bersikeras sampai akhir.
Biar saja bila tak ada yang datang, setidaknya aku sudah berusaha menolong diri sendiri. Terbukti dari raut wajah Bu Putri yang menegang. Beliau berhenti di tempat dan menatapku dengan sorot yang tajam. Pisaunya dilemparkan jauh-jauh.
Ada apa dengannya?
"Pergi kamu! Dasar wanita sundal! Berani-beraninya kau menginjakkan kaki di sini!" Bu Putri menjerit, tetapi suaranya terdengar bergetar.
Aku menganga lebar melihat perubahan sikap wanita di hadapanku ini. Dia terlihat rapuh dan ketakutan. Sekarang, dia terduduk di sofa dan menangis.
Ini kesempatan bagus untuk kabur. Aku menetralkan napas dan pelan-pelan berjalan menuju pintu. Hanya tinggal beberapa langkah lagi. Aku akhirnya bisa memegang kenop pintu.
Namun, dengan cepat dia menjambak rambut dan menarik serta menindih tubuhku di sofa. Luka di perut semakin meradang akibat desakan badan Bu Putri. Tangannya yang putih mencekik leherku dengan kencang. Aku mencoba melawan sekuat tenaga, tetapi dia selalu menghindar.
"Kau harus pergi, Sinta! Kau harus meninggalkan dunia ini, termasuk Bayu!"
Dadaku rasanya panas dan nyeri. Oksigen sepertinya semakin menipis. Melihatku sekarat, Bu Putri menjadi beringas. Rambutnya kusut masai dengan bola mata memerah. Mulutnya tak berhenti bergumam, entah apa yang dia bicarakan. Aku tak bisa fokus mendengarkannya.
Aku memgang tangan Bu Putri dan menariknya menjauh, dia tak gentar dan terus mendorongku. Tenaganya berkali-kali lipat, dan saat aku memandang wajahnya ternyata dia bukan Bu Putri lagi. Aku melihat diriku sendiri, seperti berkaca.
"Kau harus pergi!" Perintahnya.
Beberapa detik kemudian wajah itu tak terlihat lagi dan berubah kembali menjadi Bu Putri. Setelah itu, entah kekuatan dari mana. Bu Putri terpental jauh membentur tembok. Aku langsung berdiri dan melihat keadannya yang sudah kehilangan kesadaran.
Tubuhku masih bergetar ketakutan ketika membuka pintu dan keluar dari rumah wanita aneh itu. Aku berjalan secepat yang aku bisa. Aku menyerah dan memutuskan ingin pulang saja sendirian ke kota, ke rumah Mamah.
***
Setelah sampai di rumah. Aku buru-buru masuk ke kamar tidur dan membawa koperku yang sudah berisi pakaian keluar rumah. Aku berjalan menyusuri jalanan desa tepat pukul empat sore. Waktunya sangat mepet dengan kepulangan Mas Fadil. Aku harus cepat.
Nanti, saat sampai di rumah barulah menghubungi suamiku karena kalau bilang sekarang pun, dia tidak akan mengijinkan untuk pergi lagi.
Setelah lama aku berjalan, ketika langit sudah mulai gelap aku akhirnya sampai di depan jalanan besar. Ada beberapa mobil dan motor yang berlalu lalang. Kuharap ada angkutan umum yang bisa membawaku ke terminal bus.
Sambil menunggu aku melihat ke belakang, takut Mas Fadil memergokiku di sini dan membawaku kembali ke rumah terkutuk itu. Aku tak akan membiarkan itu sampai terjadi. Ini yang terakhir, tidak akan terulang meskipun lelaki itu memohon atau mengancam seperti biasanya.
Aku memang mencintainya dengan segenap hati. Namun, bukan berarti rela dibohongi terus menerus. Dia harus menerima akibatnya. Aku akan meninggalkannya dan meminta cerai jikalau Mas Fadil makin menjadi dengan sikapnya.
Sudah hampir setengah jam aku berdiri, tetapi tak jua datang kendaraan yang kutunggu. Aku nekad menyetop beberapa mobil atau motor beberapa gagal dan ada satu mobil yang berhenti di depanku. Kacanya turun lalu muncul wajah seorang pria yang tak asing. Dia Pak Bayu.
Aku kaget dan menjauh dari jalan. Tidak lagi, aku tak mau berurusan dengan siapa pun yang ada hubungannya dengan suamiku atau Bu Putri dan rumah itu. Pak Bayu masih terdiam dia melihatku dari ujung kaki sampai kepala. Senyumnya merekah.
"Masuklah Sinta!"
Hatiku bertalu kencang mendengar nama itu lagi. Tadi wanita aneh itu sudah memanggilku dengan nama yang sama, dan sekarang Pak Bayu melakukannya lagi.
"Saya Fira! Bukan Sinta!" kataku, ketus.
Pak Bayu terlihat salah tingkah dan keluar dari mobilnya. Dia menghampiriku lalu memgang koperku.
"Maaf Fira, sebaiknya kita ngobrol sebentar, kamu bisa ke rumah saya yang baru di dekat sini."
Aku mundur lagi.
"Iya, setelah saya ke sana. Anda pasti akan melukai dan membuat saya tiada seperti yang dilakukan Bu Putri. Iya, 'kan?!"
"Apa?! Ja-jadi Putri hampir menghabisimu?"
"Ya! Saya hampir saja kehilangan nyawa!"
"Fira, jangan pernah dekati mantan istri saya itu. Dia tidak waras dia akan melukaimu! Sejak kapan Fira? Apa kamu pernah memakan atau meminum yang dia berikan?"
Aku membeku di tempat. Pernyataan serta pertanyaan Pak Bayu makin membuatku takut.
"Ya, saya pernah memakan masakannya dan minum air pemberiannya."
Koperku terlepas dari genggaman pria yang kini menatapku dengan sorot yang tak kumengerti. Sepertinya dia sedih dan dia langsung merangkul tubuhku ke dalam dekapannya.
"Maafkan saya, Fira! Kamu akan mengalami hal yang sama. Putri sudah menjadikanmu tumbal, kau sudah diikuti makhluk itu, kau tidak bisa pergi. Maaf karen—"
Ucapan Pak Bayu terpotong seraya tubuhku yang tertarik ke belakang. Aku melihat siapa yang melakukannya dan ternyata itu Suamiku. Dia terlihat marah dan mencengkram bahuku. Kemudian dengan kasar, Mas Fadil memukul wajah Pak Bayu sampai sudut bibirnya mengeluarkan darah.
"Sial! Apa yang kau lakukan terhadap istriku!"