webnovel

The Lost Child 8

Ben menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandinya setelah ia melepaskan lensa kontak yang ia gunakan. Ia menghela napas panjang ketika menatap matanya sendiri. Ia kemudian membasuh wajahnya.

Setelah itu, Ben menyeka wajahnya dan keluar dari kamarnya. Ia lalu berjalan keluar dari bale dauh. Di sana, Aji sudah duduk menunggunya sambil bersandar pada salah satu tiang yang ada di sana. Pria paruh baya itu duduk sambil memegang rokok kretek kesukaannya.

Ben meraih bungkus rokok milik Aji dan mengambil satu rokok untuk dirinya. Aji menatapnya sambil berdecak pelan. "Begitu lebih bagus daripada kamu pakai lensa kontak."

Ben tertawa pelan. Ia kemudian menyalakan rokok yang ia pegang dan duduk di hadapan Aji lalu bersandar pada tiang yang ada di belakangnya. Ia menghembuskan asap rokoknya ke udara.

"Kalau di sekolah, kamu sudah kena razia, Ben," ujar Aji.

"Ini kan, di rumah. Selama Aji ngga melarang, aku bisa tetap merokok begini. Lagipula teman merokok Aji cuma aku," sahut Ben.

Aji tertawa pelan. Ia lalu ikut menghisap rokoknya. Keduanya lalu sama-sama menghisap rokok sambil menikmati suasana rumah Nini yang teduh. "Besok kamu harus berangkat ke sekolah," ujar Aji pada Ben.

"Iya," sahut Ben.

"Sebentar lagi kamu lulus SMA, jangan banyak bolos. Aji tahu kamu itu pintar, tapi jangan seperti itu juga."

"Iya, Aji." Ben kemudian menghela napas panjang. "Setelah SMA, gimana kalau aku kembali ke Australia?"

Aji langsung mengerutkan keningnya sambil menatap Ben. "Kamu mau melanjutkan sekolah di sana? Atau kamu mau pergi menemui Ayah kamu?"

"Aku juga ngga yakin," jawab Ben.

"Kalau ngga yakin, kenapa kamu tanyakan," sahut Aji. "Apa ini gara-gara berita kalau Ayah kamu sudah dibebaskan?"

"Aku ngga mau dia tiba-tiba datang ke sini dan merusak kedamaian di sini," jawab Ben.

"Jadi, sebelum pria itu ke sini, kamu mau menemuinya terlebih dahulu?"

"Aku juga ngga yakin mau ketemu dia apa ngga," timpal Ben.

Aji berdecak pelan. Ia kemudian memperhatikan mata Ben yang kemerahan. "Besok tidak usah pakai lensa kontak dulu. Mata kamu merah begitu."

"Pakai obat tetes mata juga nanti hilang merahnya," sahut Ben.

"Kalau mata kamu rusak, biayanya jauh lebih mahal ketimbang beli lensa kontak baru," timpal Aji. "Lagipula kenapa kamu pakai lensa kontak terus. Warna mata kamu itu beda daripada yang lain. Kenapa tidak kamu syukuri aja?"

"I see the face of a murder when I look into my eyes," ujar Ben. Ia mendongakkan kepalanya dan menatap langit biru di atas tempat tinggalnya. "I still remember his eyes when he's choking me. Maybe that time, he's forgotten that I'm his only son."

"Kejadian itu sudah lama berlalu, Ben. Aji pikir kamu sudah melupakan itu."

"How did I forget? If every time I see my eye, it reminds me of him," sahut Ben.

"Terus kamu mau melakukan apa kalau kamu bertemu dia?" tanya Aji pada Ben.

"At least, he can sorry for me. He took mom from me, from you, from her family. Doesn't he feel guilty about that?" ujar Ben.

Aji terdiam dan menatap Ben yang sepertinya memang terusik dengan kabar tentang ayahnya. "Your mom chose him over her family. Nini always told you about that, right?"

Ben menganggukkan kepalanya. "Nini always says that. But Nini and the others didn't know the reason why dad was very angry that day so he stabbed mom."

"You didn't tell us about that too," sahut Aji.

"Dad is angry because mom tells him that she wants to come back to her family. She wants to take me with her. After that, I hide behind the table. Because they're yelling at each other. They fought, and—"

"Your father stabbed my sister, right?"

Ben menatap Aji dan menganggukkan kepalanya.

Aji menghela napas panjang sambil menatap Ben. "But my sister did what she wants. She brings you here. Nini pernah bilang, sewaktu dia melihat kamu melangkah ke rumah ini, dia seperti melihat Ibu kamu ikut pulang ke rumah."

"Nini ngga pernah bilang begitu ke aku," sahut Ben.

"Gimana mau bilang ke kamu, dulu kamu cengeng. Sedikit-sedikit nangis, kangen Ibu kamu," timpal Aji.

Ben tertawa pelan setelah mendengar ucapan Aji.

"Sekarang, jangankan nangis, kamu malah langganan dipanggil ke ruang guru. Kalau Nini masih hidup, dia pasti udah botakin kepala kamu."

"Nini sama Mama, mereka sekarang lagi apa, ya?"

"Mereka lagi geregetan mau botakin kamu," jawab Aji.

Ben berdecak pelan. Ia kemudian menatap Aji sambil tersenyum sampai menunjukkan deretan gigi taringnya. Tidak lama kemudian, keduanya tertawa bersama-sama. Aji tiba-tiba saja berdiri dan menghampiri Ben yang masih duduk bersandar pada tiang bale dauh.

"Apa saya wakilkan mereka untuk botakin kamu, ya? Rambut kamu udah keliatan gondrong," ujar Aji sambil mencoba untuk menyentuh rambut Ben.

Ben langsung menangkis tangan Aji yang hendak menyentuh rambutnya. "Don't touch."

Aji terus berusaha memegang rambut Ben, sementara Ben terus berusaha menghalau tangan Aji. Ben bangkit berdiri ketika Aji tidak juga berhenti untuk menyentuh rambutnya. "Kalau begini, Aji ngga bisa megang rambut aku," ujar Ben. Ia menjulurkan lidahnya untuk menggoda Aji.

"Mentang-mentang tinggi." Aji sedikit mendongak untuk menatap Ben. Tangannya mencapai kepala Ben dan ia mengacak-ngacak rambutnya. "Padahal dulu kamu segini," ujar Aji sambil menunjuk tinggi Ben yang dahulu hanya sepinggangnya. Kini, Ben bahkan lebih tinggi darinya.

"Itu karena Aji dan yang lain mengurus aku dengan baik," sahut Ben.

Aji kembali menatap Ben. "Jangan kembali ke Australia. Kalau Ayah kamu datang dan mencari kamu, kita hadapi dia berdua. Kita lihat apa yang dia inginkan setelah dia melihat kamu."

Ben balas menatap Aji. Ia kemudian tersenyum. "Why would I go? This is my home."

Aji kembali mengacak-ngacak rambut Ben. "That's my boy. Ingat! Besok jangan bolos lagi."

"Kalau itu ngga janji," sahut Ben. Ia kemudian berlari turun dari bale dauh. "Aku pinjam motor!" teriak Ben ketika ia mencapai angkul-angkul rumah Nini.

"Jangan sampai ditilang," sahut Aji sambil berteriak. Ia geleng-geleng kepala melihat Ben yang berjalan melewati angkul-angkul. "Dasar anak nakal," gumamnya. Setelah Ben pergi, Aji ikut pergi meninggalkan bale dauh dan kembali ke bale besar.

Sementara itu, Ben tersenyum lebar sambil menaiki motor tua milik Aji. Ia kemudian memacu motor tersebut pergi meninggalkan rumah Nini. Ia ingin menghabiskan sore harinya dengan berkendara di sekitar pantai sambil menikmati hembusan angin laut. Namun sebelum menuju pantai, ia terlebih dahulu menghampiri teman-temannya yang sudah menunggu di warnet tempatnya bekerja paruh waktu.

****

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.

Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.

Thank you for reading my work, hope you guys enjoy it. Share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^

pearl_amethyscreators' thoughts
下一章