webnovel

Tetangga di Rumah 17 B

Friska dan Nanta yang mengetahui jika lelaki asing itu pergi tak membiarkan begitu saja, mereka langsung mengikuti orang aneh itu dengan berjalan pelan di belakang lelaki yang sekarang sedang berjalan dengan tertatih-tatih sembari memegang dadanya yang mungkin sedang sakit.

"Orang itu kenapa sih, Nan? Aneh banget, udah tahu sakit masih aja gak mau ditolong," ucap Friska bingung. Rasa manusiawinya sangat menggebu-gebu untuk menolong, namun apalah daya, orang yang ingin ditolong saja tak mau.

"Aku juga gak tahu," jawab Nanta sembari mengamati lelaki yang berada tak jauh darinya.

Beberapa saat mereka berjalan mengikuti orang tersebut, dan walau pun rumah yang berderet di sana hampir sama semua, namun Nanta bisa melihat dari angka-angka di rumah tersebut jikalau jalan yang ia lewati ini adalah jalan yang sama sama dengan arah ke rumahnya.

Dan benar saja dari sedikit kejauhan ia bisa melihat ada rumah dengan nomor 17 A yang merupakan rumah dimana ia tinggal. Dan yang membuat Nanta lebih terkejut lagi adalah lelaki itu berhenti berjalan di depan rumah dengan nomor 17 B yang letaknya berada persis di sebelah rumah 17 A.

"Itu rumah dia? Hah... Sebelahan dong sama rumah kita," ucap Friska dengan heboh.

Nanta hanya mengangguk. Lalu lelaki itu kembali terfokus kepada orang yang sekarang sudah masuk ke dalam rumah itu, ya benar rumah yang dimasukinya adalah rumah yang persis ada di sebelah rumahnya.

"Orangnya udah masuk mendingan kita ke sana," ucap Friska.

Nanta mengangguk. Kedua orang itu langsung pergi menuju ke rumah yang dimasuki oleh lelaki asing itu.

Saat sampai di rumah tersebut, tak ada yang aneh dengan rumah itu. Rumah 17 B itu sama persis dengan rumah-rumah yang lain.

"Kok rumahnya sama ya, Nan?" tanya Friska saat melihat rumah tersebut sama persis dengan rumah yang ia tinggali bersama dengan Nanta.

"Semua rumah yang ada di sini sama," jawab Nanta.

"Mending kita panggil aja orangnya, anggap aja kita mau bertamu," ucap Friska.

Nanta menggelengkan kepalanya. "Gak bisa. "

Friska mengerutkan keningnya. "Kenapa yang bisa?"

Tangan Nanta menunjuk ke arah pojok gerbang, di sana ada sebuah alat kotak kecil yang digunakan untuk mendeteksi kartu akses. "Kita gak bisa masuk karena harus pakai kartu akses. Yang kedua, gak mungkin kalau kita teriak-teriak orang itu akan keluar, lagian dia saja tadi kayak enggak melihat kita."

Friska mengangguk-anggukkan kepalanya. Benar apa yang dikatakan Nanta, tak mungkin jika ia dan Nanta berteriak orang itu akan keluar menemuinya.

"Ya udah balik aja," ucap Nanta.

"Mau ngapain balik, mendingan kita cari orang lain lagi," tolak Friska.

Nanta menggelengkan kepalanya. "Kita udah ketemu sama satu orang, lagian orangnya juga tinggal di samping rumah kita, kita tunggu aja besok, kita tungguin di depan rumah."

Friska mengangguk. Kemudian perempuan itu mengikuti Nanta yang sudah terlebih dahulu berjalan di hadapannya.

Saat mereka hendak masuk ke dalam rumahnya, seorang perempuan yang lewat di jalanan membuat mereka mengurungkan niatnya. Mereka melihat ada seorang perempuan berumur sekitar tiga puluhan berjalan cepat dengan pandangan yang lurus tertuju ke depan.

"Ada orang, Nan," ucap Friska dengan heboh. Belum juga Nanta menjawab ucapan Friska, perempuan itu terlebih dahulu sudah berjalan dengan cepat menghampiri seorang perempuan yang lewat tadi.

"Mbak, maaf. Saya mau tanya, mbak-" ucapan Friska terhenti saat ia tak mendapatkan jawaban atau pun respon dari perempuan itu. Dia dengan santainya malah berjalan lurus begitu saja, tanpa merespon Friska yang menyapanya, bahkan untuk menghentikan langkahnya saja tak dilakukan oleh perempuan itu. Kening Friska mengerut, bingung dengan kelakuan seorang perempuan yang sekarang sudah berjalan di depannya.

Namun walau begitu, Friska tetap mengikutinya. Langkah kakinya yang sangat panjang dan cepat membuat Friska yang tak terlalu tinggi itu kesulitan mengejarnya hingga harus sedikit berlari untuk menyamakan langkahnya dengan perempuan tersebut.

"Mbak, perkenalkan nama saya Friska, saya penghuni baru di tempat ini," ucap Friska sembari mengejar perempuan itu. Namun lagi lagi tak ada respon sedikit pun dari perempuan tersebut, yang dilakukan olehnya hanya menatap lurus dan tetap berjalan tanpa menoleh ke arahnya.

"Mbak saya mau tanya, apakah mbak kenal dengan orang yang tinggal di rumah 17 B? Dia lagi sakit mbak, tapi saya tidak tahu dimana rumah sakit, saya mau tanya letak rumah sakit dimana ya?" Tanya Friska lagi-lagi. Namun seperti sebelumnya, perempuan itu benar-benar menutup rapat mulutnya hingga tak mengeluarkan suara sedikit pun.

"Mbak saya lagi ngomong sama mbak, tolong hargai saya," teriak Friska sembari menatap ke samping wanita tersebut. Namun bukannya menjawab, wanita itu justru menjauh dari Friska dan menambah kecepatan berjalannya membuat Friska akhirnya tak bisa mengejarnya.

Friska menyerah, ia memegangi lututnya dengan nafas yang tersengal-sengal. Pandangannya kemudian beralih lurus ke depan melihat seorang perempuan yang sudah jauh dari jangkauannya. Ia penasaran apa perempuan itu benar-benar tak melihatnya.

"Ngapain sih?" Suara dari sampingnya membuat Friska menoleh.

"Aku mau tanya sama mbak-mbak itu, tapi mbak-mbaknya cuma diem aja gak jawab."

Nanta mengerutkan keningnya. "Mungkin dia mikir kalau kamu gak jelas makanya gak jawab."

"Ya tapi aneh, Nan. Dia bahkan seperti gak lihat ada aku," ucap Friska menggebu-gebu dengan nafas yang sesekali masih tersengal-sengal.

"Kayak cowok tadi?" tanya Nanta.

Friska menganggukkan kepalanya dengan mantap.

Wajah Nanta langsung terlihat sangat bertanya-tanya.

"Apa mereka gak lihat kita ya?" tanya Friska sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal. Perempuan itu dibuat bingung dengan tingkah orang-orang di sini yang menurutnya tak normal.

"Gak mungkin, aku yakin mereka manusia normal," jawab Nanta sembari berjalan masuk ke dalam rumah diikuti oleh Friska di belakangnya.

"Iya tapi kalau mereka manusia normal gak mungkin merek-" ucapan Friska terpotong saat sebuah benda berbentuk tabung berdiameter 10 berada tepat di hadapannya. Benda yang semula tingginya hanya sekitar satu meter itu langsung menyesuaikan dengan tinggi badan Friska dan langsung memancarkan cahaya berwarna merah dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Otak Friska membeku, seluruh anggota tubuh dan mulutnya terasa tak bisa digunakan.

Beberapa detik kemudian Friska menoleh ke samping saat benda tersebut berpindah ke arah Nanta dan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukannya tadi. Saat sudah melakukan sesuatu aneh kepada Nanta, benda yang mungkin beroda tersebut langsung pergi meninggalkan Friska dan Nanta menuju ke pojok ruangan.

"Nanta itu apa?" tanya Friska masih menatap benda yang sekarang telah diam berada di pojok tembok. Perempuan itu bahkan dibuat tak berkedip saat melihat benda aneh itu.

"Bukannya kemarin udah tahu?" Kemarin saat pertama kali Nanta masuk ke dalam rumah ini, kedua orang itu juga diperlakukan dengan aneh oleh benda tersebut. Namun saat diingat-ingat lagi, Nanta mengingat jikalau kemarin Friska menutup matanya karena ketakutan.

"Aku takut deh nanti dia bunuh kita atau jahat sama kita," ucap Friska menatap ngeri benda yang tak terlalu mencolok di pojok ruangan itu.

Nanta kemudian mendekati benda tersebut karena penasaran. Kemarin pun ia juga belum sempat melihat benda itu, Saat menelusuri ke semua sisi. Nanta melihat di bagian bawah ada sebuah tulisan berbunyi....

"UV Sterilisasi," ucap Nanta dengan wajah yang bingung.

"Sterilisasi itu apa?" tanya Friska, ia seperti pernah mendengar kata asing itu, namun ia lupa apa artinya.

"Semacam membersihkan," jawab Nanta dengan ragu sembari berpikir tentang maksud uv sterilisasi.

"Lah emang kita kotor? Em... Tapi aku dari kemarin memang belum mandi sih."

下一章