webnovel

Jiwa Suci 2

Dahulu, jauh sebelum berdirinya kota Dorthive, ada orang tertentu yang sering dikatakan orang banyak sebagai orang yang memiliki jiwa yang suci, orang-orang itu tinggal jauh dari keramaian, mengabdikan diri pada Dewa dan menghindari segala kebutuhan duniawi.

Bisa dibilang, mereka adalah orang yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan orang biasa.

Setelah situasi yang buruk ini terjadi di kota Dorthive, hanya ada dua hal yang mungkin menjadi hal yang paling diharapkan orang-orang.

Yang pertama, sinar matahari.

Hanya di siang hari mereka memiliki aktivitas normal layaknya manusia biasa, mereka bisa bersosialisasi dan bepergian. Hidup sebagai orang biasa dan menyembunyikan serapat mungkin tentang keanehan yang mereka miliki.

Tapi ketika senja menjelang, mereka mulai berubah dan menggila, apalagi kalau Ivana memanggil mereka, bisa dijamin tidak ada satu pun orang yang akan bangun dalam keadaan yang waras.

Marquis mereka juga tidak bisa berbuat banyak, ia adalah orang yang paling menderita dengan semua ini.

Yang kedua, orang-orang berjiwa suci.

Di tengah harapan yang mulai menipis dari waktu ke waktu, mereka percaya kalau suatu saat Ratu akan memilih orang berjiwa suci untuk datang. Tapi dari sekian banyak orang yang datang mereka semua gagal dan melarikan diri.

Perlahan tapi pasti, semua orang mulai lupa dan pasrah dengan keadaan yang terjadi.

Mungkin orang yang berjiwa suci itu hanyalah omong kosong belaka, mungkin tidak pernah ada, hanya sebuah cerita untuk membuat mereka terus bertahan dan berharap.

"Kau orangnya."

Bella menatap Renee tanpa berkedip, tangannya menunjuk bahu wanita itu dengan tegas.

Renee tidak mengatakan apa-apa, ia sendiri tidak yakin.

"Bella, hentikan." Renee pada akhirnya tidak tahan dengan situasi yang aneh ini, ia melambaikan tangan dan menjauhkan tangan Bella, matanya menatap Leo dan Dylan secara bergantian, dua orang itu berdiri dengan gerakan yang canggung. "Kalian juga percaya bahwa aku adalah orang ... berjiwa suci?"

Leo tidak menjawab, sepertinya ia sedang berpikir, Dylan di samping mempunyai luka di kepalanya dan darah tidak berhenti mengalir melewati pelipisnya.

"Kalau kau ragu, coba sembuhkan aku."

"Hah …." Renee terperangah, ia menggeleng dengan cepat.

Dylan menjilat sudut bibirnya, ia melirik Leo dan Bella. "Lukamu sembuh sendiri, bukan tidak mungkin kau bisa menyembuhkan orang lain, kan?"

Leo mengulurkan tangan ingin menyentuh bahu Renee, dari yang ia lihat, memang tidak ada luka di sana, tapi ada memar yang mencolok.

"Dylan, aku ….."

Renee ingin menolak, ia tidak tahu, tidak ada apa pun tentang orang berjiwa suci yang pernah terlintas di benaknya sepanjang ia hidup, ia tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah orang seperti itu.

Renee menatap Leo, tangan laki-laki itu tergantung di udara, dibandingkan dengan Dylan, Leo memiliki luka yang lebih parah, ada goresan memanjang di punggungnya dan lehernya terluka.

Sulit dipercaya ia masih hidup dan bernapas sampai sekarang.

Renee menyentuh tangan Leo, laki-laki itu sedikit terkejut dan ingin menarik tangannya, Renee menggenggam dengan kuat.

Bella dan Dylan saling pandang.

"Aku … akan mencobanya," ucap Renee dengan penuh ketegasannya, ia menunduk dan menatap tangan yang penuh dengan memar, ada noda darah dan debu yang bercampur menjadi satu.

Ia tidak tahu bagaimana caranya ia mengeluarkan cahaya jingga tadi, di pikirannya tadi ia hanya ingin mengalahkan Ivana.

Tapi ia ingin menyelamatkan Leo.

Renee meremas tangan laki-laki itu, keningnya berkerut dalam.

Mereka semua saling diam hingga lima menit kemudian, tidak ada yang terjadi dan Bella mulai meragukan apa yang telah ia katakan tadi.

"Tidak apa-apa." Leo yang selalu diam akhirnya bicara, ia menarik tangan Renee dari tangannya. "Mungkin kau belum terbiasa."

Renee tidak menatapnya, ia hanya menatap tangannya yang masih menyisakan noda debu dan darah dari tangan Leo dengan linglung.

"Ya … yah … tidak apa-apa Renee, Jangan memaksakan diri."

Bella menepuk bahu Renee, meski ia akui ia sedikit kecewa tapi ia juga tahu kalau saat ini Renee sama-sama terkejut dengan fakta tentang dirinya sendiri.

Mungkin juga Renee belum terbiasa karena ia tidak pernah tahu menahu tentang hal kekuatan yang ada di dalam dirinya sebelumnya.

"Maaf," gumam Renee, ia mendongak dan menatap Leo. "Apa yang akan terjadi setelah ini?"

"Kabar bagusnya kau sudah mengusir mereka dari Mansion ini," lanjut Bella sambil melihat ke sekitar. "Walau tidak menutup kemungkinan besok mereka akan datang, tapi setidaknya kita tidak perlu bersandiwara tentang mereka lagi."

Bella benci bertingkah seakan ia tidak tahu apa-apa di depan Ivana dan para pelayan yang lain.

"Aku pikir mereka tidak akan datang." Dylan duduk di atas reruntuhan dinding, ia mengusap kepalanya dengan kain yang entah ia dapat dari mana. "Maksudku … Ivana, setidaknya sampai lukanya pulih."

Mereka terluka parah dan ini baru yang terlihat, Dylan tidak tahu apakah ada lengan yang terkilir atau tulang yang retak saat ini, seluruh tubuhnya sakit dan kepalanya tidak berhenti berdenyut sejak tadi.

Laki-laki bermata abu-abu itu melirik leo sekilas.

Leo bahkan tidak mengeluhkan apa pun, bagaimana ia bisa mengeluh. Dylan tidak bisa … menjatuhkan martabatnya di depan Bella dan Renee, alhasil ia hanya bisa menahannya untuk sebentar.

"Kau benar, kita juga harus memulihkan diri dengan luka-luka kita, terutama … sial, matahari hampir terbit." Bella mendengkus, Renee langsung melepas tirai yang menyelimutinya dan menutupi tubuh Leo.

Dari dinding dan langit-langit yang runtuh, cahaya matahari mulai menyelinap masuk, hawa dingin perlahan mulai memudar tergantikan dengan rasa hangat yang mulai bertahap naik.

"Kita bisa pergi ke bagian belakang Mansion." Leo yang tubuhnya tertutupi tirai berkata, ia berusaha berdiri, Renee membantunya untuk memastikan tidak ada celah yang terbuka agar tubuh sang Marquis tidak terbakar.

"Yah, hanya itu satu-satunya tempat yang layak." Bella mendengkus, tampaknya apa pun yang dikatakan oleh Leo akan selalu dilawan olehnya. "Kau masih bisa berjalan, kan?"

Leo tidak menjawab, Renee menggenggam tangan Leo dan menuntunya.

"Berhentilah jadi pemarah, kita semua sama-sama terjebak dalam situasi yang sulit." Dylan berjalan memimpin, darah yang mengalir telah ia seka dan membuatnya terlihat sedikit lebih baik. "Tolong bantu Leo, Renee. Dia benar-benar buruk di saat seperti ini."

"Aku tahu." Renee menggenggam erat Leo dan mengajaknya berjalan dengan pelan.

Sangat sulit berjalan seperti ini tanpa menginjak ujung tirai dan tanpa melihat apa pun yang ada di depannya, tapi Leo tidak sedikit pun mengeluarkan keluhan.

Bella melipat kedua tangannya, ia berjalan paling belakang, matanya tidak berhenti bergerak kesana-kemari, melihat seberapa parah kerusakan yang telah terjdi di ruang utama.

Menyedihkan sekali.

Ia tidak hanya membenci Leo, tapi ia juga benci dengan orang yang membuat mereka seperti ini, mereka semua seperti bidak yang bisa dimainkan sesuka hati.

Bella menggertakkan gigi, ia bersumpah, jika ia bertemu dengan orang yang membuat mereka seperti ini, ia akan menjambak rambutnya hingga rontok.

Mata wanita itu menatap punggung Leo yang diselimuti tirai, kedua tangannya langsung terkepal dengan erat.

Untuk saat ini, ia harus bersabar dan menunggu waktu yang tepat untuk melampiaskan semua kemarahan yang ada di dalam hatinya.

下一章