Tanpa berkata apa pun ia menghela tali kekang kuda tunggangannya dan mengarahkan arah langkah hewan itu untuk masuk ke bekas perkampungan. Meilin dan keempat pemuda lain mengikuti dari belakang. Tak ada bekas tapak manusia di jalan masuk yang mereka lewati atau pun dahan-dahan pokok atau semak bekas tebasan parang yang menandakan bahwa tempat itu kerap dimasuki oleh manusia.
Benar pula yang dikatakan oleh La Pabise dan yang lainnya, bahwa setelah peristiwa yang memilukan itu teramat jarang orang datang ke tempat itu. Tempat itu seolah-olah telah dijadikan saksi bisu atas peristiwa biadab yang pernah dilakukan oleh La Afi Sangia dan para anak buahnya.
Semakin masuk ke dalam, suasana senyap dan kewingitan semakin terasa. Tak ada satu pun yang bersuasa. Mereka menyaksikan di sana sini puntung-puntung kayu rumah yang bekas terbakar. Dan tak sedikit tiang-tiang rumah yang masih tegak di sana sini dalam bentuk luar berupa arang. Pada saat itu La Mudu bertanya-tanya, di manakah bekas rumah orang tuanya? Tempat di mana ia dulu dilahirkan oleh ibunya. Percuma juga ia bertanya kepada keempat sahabatnya, karena pasti mereka tak akan tahu, karena rata-rata usia mereka pun seumuran dengan dirinya. Saat ia melihat sebuah bekas rumah yang cukup luas yang sebagian tiang-tiangnya masih berdiri, perasaannya seolah-olah merasakan getaran yang aneh. Ia memejamkan matanya, seolah-olah ia tengah mencoba meraba-raba bahwa bekas rumah di hadapannya itu adalah rumah kedua orang tuanya.
Dan tanpa bersuara pula ia turun dari punggung kuda tunggangannya. Ia mengayunkan kakinya ke depan dengan langkah pelan dan ringan sambil tetap memegang tali kekang kuda tunggangannya. Hal yang demikian pun diikuti oleh keempat sahabatnya dan Meilin. Mereka mengedarkan pandangan ke daerah sekitar tanpa bersuara. Tentu ada banyak pertanyaan yang tak terjawab dalam hati mereka masing-masing saat itu. Lengang penuh misteri menyelimuti tempat itu.
Pada saat keenamnya bermain dengan pertanyaan-pertanyaan dalam benak masing-masing, keenamnya dikejutkan suara gemeresik dedaunan kering yang diinjak dari arah belakang. Saat mereka menoleh, di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar enam puluhan tahun. Laki-laki yang rambunya sudah dipenuhi oleh rambut putih itu hanya mengenakan sarung tenunan kasar sambil menenteng parang bongkok. Saat melihat mereka laki-laki itu tersenyum sembaru mengangguk hormat.
“Tuan-tuan muda ini berasal dari manakah gerangan?”bertanya laki-laki tua itu dengan sikap ramah.
“Oh, kami dari kota raja saja, Ama,”menjawab La Mudu. “Ama sendiri orang asli dari sini?”
“Benar, Tuan Muda. Saya dari desa sebelah utara sana, tak jauh dari sini,”sahut si orang tua.
“Sejak kapan Ama tinggal di desa itu?”tanya La Mudu lagi.
“Saya lahir dan besar di desa itu, Tuan Muda.”
La Mudu merasa tertarik dengan keberadaan dan keterangan dari orang tua itu. Dia mengikatkan tali kudanya pada sebatang pohon kecil di sekitar tempatnya berdiri sebelum datang mendekati si orang tua. “Artinya...Ama menyaksikan peristiwa pilu atas desa ini dua puluhan tahun yang lalu?”
Sontak wajah laki-laki tua terlihat agak kaget. Ia memandang kepada keenam anak muda yang tak dikenalnya di hadapannya satu persatu, lalu dengan wajah yang berubah gugup ia mengintai daerah sekeliling.
La Mudu yang memahami apa yang dipikirkan dan dikhawatirkan oleh laki-laki tua itu lalu berkata, “Ama tak usah merasa khawatir, di tempat ini hanya ada kita. Kami adalah orang-orang baik, Ama.”Lalu tak lupa tersenyum.
Meyakini apa yang diucapkan oleh La Mudu membuat perasaan si orang tua jadi tenang dan hilang rasa khawatir di wajahnya. “Iya, Tuan Muda,” ucapnya akhirnya, “tentu saya menyaksikan peristiwa yang memilukan itu. Kebetulan kala itu saya menikah dengan wanita dari desa ini dan tinggal di desa ini pula.”
“Tapi mengapa Ama bisa luput dari pembantaian itu?”ganti La Pabise yang bertanya.
“Andaikata saat itu saya sedang berada dalam desa ini, tentu saat itu pun saya ikut menjadi korban, Tuan,”ucap laki-laki tua, “tetapi saat itu saya kebetulan sedang mengurus kerbau-kerbau tuan saya di kandangnya yang terletak agak jauh di sebelah barat desa ini, di kaki bukit. Namun dari sana saya masih dapat mendengar suara hiruk pikuk dan teriakan-teriakan warga desa. Saya segera menaiki kuda saya. Tetapi di tengah jalan saya berpapasan dengan orang-orang dari desa sebelah berlarian menuju buki. Kepada salah seorang saya sempat bertanya ada kejadian apa? Orang itu berkata bahwa La A...fi Sangia dan gerombolannya tengah melakukan menganiayaan dan pembunuhan terhadap seluruh warga desa. Tak ada warga desa ini yang berhasil lolos karena di sekeliling desa sudah mereka kepung. Saya tak mampu berbuat apa-apa. Saya lalu kembali ke atas bukit. Dari saya saya menyaksikan desa ini dibakar habis. Saya... hiks...hiks..hiks...”
Si laki-laki tua tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Rasa sedihnya menghunjam dalam ruang dadanya. Ia tersedu tanpa mengeluarkan air matanya. Mungkin air mata laki-laki tua telah habis ia tumpahkan sepanjang hidupnya setelah peristiwa itu.
“Sebentar, Ama,”ucap La Mudu, “Siapakah tuannya Ama yang Ama sebutkan barusan?”
Si laki-laki tua mengangkat wajahnya, menatap lekat-lekat wajah La Mudu sesaat, lalu berkata, “Beliau adalah pemimpin desa ini, namanya Ompu Mpore.”
Mendengar nama ayahnya disebut, wajah La Mudu langsung mendongak. Ada cairan bening yang menggenangi sepasang bola mata elangnya. Saat kedua matanya ia katupkan, cairan bening itu langsung mengalir keluar di kedua sudut matanya. Ia membiarkannya, dan tak ingin mengusapnya. Biarlah ini adalah air mata pertama dan mungkin terakhir yang pernah ia kucurkan buat orang-orang yang ia cinta yang wajahnya belum sempat ia tatap itu. Rasa perih dan sedih yang teramat sangat itu kembali ia rasakan dalam hati dan jiwanya. Menyaksikan itu, keempat sahabatnya maupun Meilin ikut hanyut dalam duka. Mereka mampu merasakan duka dan perih yang dirasakan oleh sang jawara.
“Kenapa Tuan Muda jadi sangat bersedih seperti itu?” bertanya si laki-laki tua pada La Mudu dengan raut wajah heran.
“Ama, nama saya La Mudu,”ucap La Mudu sembari memegang pundak si laki-laki tua. “Saya adalah tuan mudanya Ama. Saya adalah bayi dari Ama Mpore dulu. La Mudu adalah nama pemberian orang yang menyelamatkan saya dan mengasuh saya hingga besar seperti ini, untuk mengabadikan peristiwa itu. La Mudu artinya si yang terbakar.”
Mendengar pengakuan La Mudu, terlihat sekali kekagetan yang sangat yang ditampakkan oleh si laki-laki tua. Dia mengamati wajah La Mudu lekat-lekat, lalu dengan sigap ia membuka bagian depan baju yang dikenakan oleh si pemuda. Ketika melihat kalung dari anyaman benang sutera yang berliontinkan koin emas separo, maka pecahlah tangisan si laki-laki tua sembari memeluk tubuh kekar tuan mudanya erat-erat. Ketika lagi-lagi ia memandang kembali wajah La Mudu, maka berkali-kali itu pula si laki-laki tua kembali memeluk dan menangis di dada tuan mudanya dengan tangisan pilu yang menyayat jiwa semua yang mendengarnya.
Setelah tangis si laki-laki tua mereda, La Mudu lalu bertanya, “Lalu di manakah bekas rumah orang tua saya dulu, Ama?”
Si laki-laki tua menoleh dan menunjuk ke arah bekas rumah panggung besar yang beberapa tiangnya sudah berupa arang tapi masih berdiri tegak. “Ya inilah rumah orang tuamu, Tuan Muda. Di sinilah Tuan Muda dulu dilahirkan. Firasat Tuan Muda telah menunjuki Tuan Muda dengan benar. Dulu Tuan Muda memiliki saudara kembar dampit, perempuan. Saat saya dulu masuk, ketika semua gerombolan La Afi pergi, saya tidak melihat mayat Tuan Muda maupun kembarannya Tuan Muda. Kembaran dampit Tuan Muda juga dipakaikan kalung berbandulkan uang emas separo seperti yang Tuan Muda kenakan ini, karena memang dipecah dari satu ketip uang emas.”
“Iya, saya dengar juga dari orang yang menyelamatkan saya bahwa saya memang memiliki saudara kembar perempuan. Dia pun tak melihat mayat saudara kembar saya itu,” ujar La Mudu.