Saat mendengar Pulau Sangia, La Mudu merasa sangat tertarik, dan bertanya, “Maaf, dalam rangka apa lenga berempat menuju pulau itu?”
“Kami hendak mendaftarkan diri sebagai anggota pasukannya Paduka Sandaka Dana. Sekarang sedang ada penerimaan anggota pajuri besar-besaran,”yang menjawab adalah La Rangga Jo.
“Paduka Sandaka Dana? Siapa dia?” bertanya La Mudu.
Mendapat pertanyaan itu, keempat pemuda saling berpandangan, merasa heran dengan pertanyaan La Mudu.
“Paduka Sandaka Dana adalah pemimpin besar di Pulau Sangia, yang terkenal dengan sebutan La Afi Sangia,” La Lewamori menerangkan. “Dia punya rencana untuk mendirikan sebuah kerajaan yang terpisah dari Kerajaan Babuju. Karena itu dia menerima angora pajuri besra-besar sebagai calon pajuri kerajaannya.”
“Waaw, saya justru baru mendengar kabar ini,”berucap La Mudu. Mendengar nama La Afi Sangia, mendadak amarahnya bergolak dalam dadanya. Akan tetapi ia menyembunyikannya dan bersikap biasa saja. Namun dalam hatinya ia merasa bahwa perbuatan manusia iblis yang bernama La Afi Sangia itu sudah melampaui batas, lebih-lebih karena ia hendak mendirikan sebuah kerajaan sendiri. Itu artinya ia hendak mendirikan sebuah kerajaan dalam sebuah kerajaan yang sudah ada. Ini tidak boleh terjadi, dan harus dicegah!
“Lenga Mudu ini bukan orang wilayah sini?” bertanya La Tunggara.
“Oh bukan, aku dari wilayah sekitar Pegunungan Sorowua. Aku lagi bertualang saja. Ohya, syarat menjadi anggota pajuri (prajurit) Afi Sangia apa saja? Maaf, tidak apa-apa kan aku nanya-nanya sembari lenga berempat makan? Siapa tahu saya jadi berminat juga nih?”
“Tak ada syarat khusus sih, hanya diperuntukkan kepada para pemuda saja. Jika diterima, kelak akan dididik menjadi prajurit yang tangguh dan memiliki ilmu persilatan yang mumpuni seperti kebanyakan seluruh anak buahnya La Afi Sangia,” jawab La Pabise.
“Oh seperti itu…?”ucap La Mudu sembari manggut-manggut. “Baiklah, aku akan ikut lenga berempat, kalau boleh.”
“Ya tentu saja boleh. Kita akan menjadi lima sekawan!”sambut La Rangga Jo.
La Mudu sangat gembira dan menyalami keempat teman barunya itu satu persatu.
La Mudu yang memang sebenarnya akan menuju Pulau Sangiang, dengan bersama rombongan empat teman barunya akan dengan mudah masuk ke pulau itu tanpa mengundang kecurigaan apa-apa. La Afi Sangia akan menerima anggota prajurit baru merupakan hal yang sangat kebetulan sekali baginya untuk memasuki wilayah kekuasaan si iblis itu dengan aman!
Menurut Baojia, perahu yang datang dan pergi dari dan menuju Pulau Sangiang tidak setiap hari, dan itu pun hanya kapal khusus milik Kelompok Merah Merah (La Kala).
“Hanya lima hari sekali kapal dari Pulau Sangiang itu masuk daratan,” cerita Baojia. “Mereka bersandar di la’bu (pelabuhan ) Wadu Mbolo. Biasanya mereka datang pagi harinya dan pulang pada sore harinya. Dua hari yang lalu kapal itu datang, berarti akan datang tiga hari lagi.”
“Pelabuhan Wadu Mbolo itu jauhkah dari sini?”bertanya La Mudu kepada Baojia.
“Tidak terlalu jauh.” Sahut Baojia tanpa melihat kepada La Mudu karena waktu itu ia sibuk dengan merapikan peralatan makan di meja La Pabise dan teman-temannya. “Hanya butuh waktu sepeminum kopi dengan naik kuda, kalian sudah sampai di pelabuhan itu.”
La Mudu dan keempat teman barunya saling berpandangan satu sama lain. “Berarti terpaksa kita harus menginap dulu di desa ini selama tiga hari,”ucap La Tunggara.
“Ya mau tak mau,”tanggap La Rangga Jo. Lalu bertanya kepada Baojia, “Apakah Tuan punya semacam penginapan yang bisa kami sewa?”
“Kami tak punya penginapan,” jawab Baojia, “tapi kami punya rumah kosong di belakang. Rumah saudara saya yang sebulan lalu pindah ke kota raja. Jika kalian mau memakainya, pakailah.”
“Terima kasih Tuan Baojia, karena sudah berbaik hati kepada kami,”ucap La Mudu seraya mengangguk kepada Baojia.
“Justru kami yang harus berterima kasih kepada Jawara mudu. Jika tak ada Jawara Mudu mungkin nasib kami hancur oleh para pangacau tadi itu,”sahut Baojia dengan sikap hormatnya. Lalu dia menoleh ke belakang dan memanggil Meilin. Saat putrinya itu datang mendekat, Baojia berkata, “Tolong kaubersihkan rumah belakang. Jawara Mudu dan tuan-tuan muda ini mau numpang menginap barang beberapa hari.”
“Baik, Fuqin…!”
“Oh, tak usah, Tuan Baojia. Biar kami sendiri saja yang membersihkannya,”ucap La Mudu.
“Ah, tak mengapa, Jawara Mudu, hitung-hitung buat balas budi kami,” ucap Baojia lagi, lalu berkata kepada putrinya, “Ayo Mei, pergilah ke belakang.”
“Baik, Fuqin...,” sahut Meilin, lalu melangkah keluar dari warung makan dan berjalan ke barat, ke belakang warung yang merupakan juga rumah tinggal.
“Kalau begitu saja juga akan bantu…” Tanpa menunggu jawaban dari Baojia, La Mudu keluar dari warung makan dengan setengah berlari, mengikuti Meilin. Keempat pemuda lain pun mengikutinya.
Baojia hanya menggeleng-geleng pelan melihat tingkat La Mudu dan keempat pemuda lainnya itu. “Haiya…dasar anak muda!”
Rumah yang dikatakan oleh Baojia adalah sebuah rumah panggung tiang sembilan, sebuah ukuran rumah panggung yang cukup besar di masa itu. Perabotannya masih lengkap, karena masih kadang dipakai oleh pemiliknya jika datang dari kota dan menginap. Hanya saja, tempat tidurnya harus diganti alasnya dengan tikar pandan yang bersih.
Saat Meilin membersihkan kamar tidur dan tempat tidur, La Mudu ikut membantu. Terkadang keduanya saling menatap dan melemparkan senyum. La Rangga Jo, La Tunggara, La Lewamori, dan La Pabisa rupanya pelan-pelan mengintip lewat dinding bilik yang terbuat dari papan. La Mudu menyadari itu, dan timbul niatnya untuk mengerjai keempat teman barunya itu. Kepada Meilin dia berkata dengan agak berbisik, “Tolong Meilin tutup dulu mulut dan hidungnya…”
Meilin tak paham maksud kata-kata La Mudu, tetapi ia mengikutinya saja. La Mudu lalu berkata, “Dinding bilik ini juga kayaknya sudah lumayan berdebu…,”dan tau tau-tau tangannya menampar dinding kamar dengan cukup keras. Debu berghamburan, lalu terdengar di luar suara batuk-batuk ramai La Pabisa, La Rangga Jo, La Lewamori, dan La Tunggara.
Mendengar itu, Meilin pun tak mampu menahan tawanya, lebih-lebih mendengar La Mudu berkata kepada keempat teman barunya dengan suara setengah membentak, “Makanya jangan suka mengintip! Sana, kuda-kudanya di bawa ke mari dan dikasih makan dulu…!”
Tanpa menyahuti, keempat pemuda di luar pun turun dari rumah. La Mudu melihat kepada Meilin lalu menyembunyikan tawanya dengan tapak tangan kanannya. Hal yang sama dilakukan oleh Meilin.
Setelah beres membersihkan kamar, La Mudu dan Meilin duduk-duduk dan mengobrol di berada depan rumah. Udara dari arah laut tiada henti berhembus, membelai-belai wajah. Meilin berkali-kali menyingkirkan sebagian rambut mereka yang menutupi wajah mereka ke samping akibat tertiup angin.
“Meilin lahir di desa ini atau lahir di Dataran Sinae?” bertanya La Mudu sembari menatap wajah wajah cantik gadis yang duduk kursi kayu di hadapannya.
“Mei lahir di sebuah desa di sekitar Sungai Yangtze, di daerah Zhejiang, Sinae Timur. Kami pindah ke sini sepuluh tahun yang lalu,”jawab Meilin seraya menatap wajah La Mudu.
“Oh begitu? Maaf, usia Meilin sekarang sudah berapa?”
“Sebulan Mei berusia dua puluh satu tahun.”
“Berarti pindah ke sini pas usia Mei sepuluh tahun, ya?”ucap La Mudu, lalu, “Mei anak tunggal…?”
“Tidak,” sahut Meilin, “saya anak kedua. Kakak saya laki-laki, sekarang dia sedang melawat ke Tanah Jawa. Sedangkan adik saya meninggal di lautan saat kami pindah ke sini.”
“Oh….” Hanya itu yang keluar dari mulut La Mudu. Ada perasaan ikut teriris mendengar cerita gadis di depannya, sebelum ia kembali bertanya, “Kenapa orang tuamu memutuskan pindah ke sini, padahal menurut Dato Hongli, guruku, Dataran Sinae itu teramat jauh. Dia aslinya dari sana juga.”
“Ya orang tuaku memutuskan pindah ke negeri yang sangat jauh ini karena di negeriku kala itu sedang dilanda perang saudara. Lalu…di mana gurunya Kak Mudu sekarang?”
“Ada di sebuah sebuah gunung di sebelah barat sana,” jawab La Mudu. “Padahal di sini juga negerinya tidak begitu aman juga. Ada banyak pengacaunya, seperti gerombolan pengacau tadi itu.”
“Benar sekali, Kak. Terima kasih, Kak…,” ucap Meilin, “andaikata tak ada Kak Mudu tadi, entah bagaimana nasib Mei.”
“Iya, sama-sama, Mei. Mungkin memang Sang Dewasa telah mengirim aku hingga bisa sampai ke sini,” jawab La Mudu.
“Bisa jadi, Kak,”sahut Meilin. “Mei merasa heran, kenapa masih saja ada pengacau kecil-kecilan seperti mereka, padahal telah ada pengacau besar yang berasal dari Pulau Sangiang.”
“Maksud Mei, Kelompok La Kala itu, ya?”
“Iya benar, Kak.”
“Mereka pernah mampir untuk makan di warung makan kalian?” bertanya La Mudu.
“Bukan lagi pernah, Kak, tapi hampir setiap mereka masuk daratan, mereka akan mampir di makan di warung kami….”
“Apakah mereka tidak pernah mengganggu Mei?”Ada kekhawatiran di wajahd an suara La Mudu.
“Tidak,”ucap Meilin. “Sebab setiap tahu mereka akan mampir, Mei langsung bersembunyi di sebuah tempat rahasia. Jadi, selama ini Mei masih aman-aman saja. Entahlah seterusnya, Kak.”