La Mbila menghentikan kesibukan tangannya, dan dengan tersenyum ia memalingkan wajah kepada Jenderal Hongli. "Tentu, tidak, Tuan Hongli. Jika seseorang masih kuat tubuhnya dan memiliki keahlian ilmu bela diri, kejawaraan, kerajaan akan menerima. Bahkan sangat mengutamakannya.”
"Hm, sangat menarik dan saya perlu untuk dipikirkan," sahut Hongli.
Mengapa tidak? Pikir Jenderal Hongli. Ia adalah salah seorang mantan panglima divisi angkatan perang dari sebuah kemaharajaan, juga seorang yang pernah menguasai jagat persilatan dengan nama besar. Mendengar cerita itu, maka tergugah juga hati kecilnya untuk ikut mengabdikan diri kepada kerajaan barunya sekarang. Bagaimanapun, saat ini ia sedang menikmati hidup di dalam negeri barunya tersebut, di mana ia pun pernah diselamatkan oleh La Mbila dan La Hiri yang merupakan rakyat daripada Kerajaan Tambora dengan segala keikhlasan. Lantas apakah ia akan menutup mata dan tidak tergerak secara ikhlas juga untuk membantu kerajaan barunya dalam menghalau musuh-musuhnya?
La Mbila manggut-manggut. "Menurut kabar yang beredar, saat ini pihak istana sedang mencari seorang pendekar hebat yang akan menggantikan sementara panglima perangnya. Karena panglima perang, yang merupakan jenateke sedang terbaring sakit akibat terkena panah musuh dalam pertempuran beberapa bulan yang lalu." (Jenateke = putra mahkota).
Hongli sesaat terdiam mendengar kabar itu dan memikirkannya. "Mungkin ini kesempatan aku untuk bisa membalas jasa kepada kerajaan baruku!" ia membatin.
"Dulu kerajaan pernah menyewa seorang pendekar dari Dataran Sinae untuk menjadi juru gembleng para calon tamtama kerajaan. Wajahnya mirip Tuan Hongli juga," La Mbila melanjutkan penuturannya.
"Oh ya?" Jenderal Hongli memandang wajah La Mbila lekat-lekat. "Siapa namanya? Apakah Ama Gunta masih ingat?” (Ama Gunta = ayahnya La Gunta).
La Mbila alias Ama Gunta mengernyitkan dahinya. "Kalau tidak salah namanya…Poo Ling Pong Ah. Iya, itu namanya, jika tak salah. Tapi kami di sini memanggilnya dengan sebutan Paliponga. Dia orang yang sangat baik dan ramah. Warga kerajaan sangat menyukainya. Ketika ia pergi, kami sangat merasa kehilangan dia."
"Poo Ling Pong Ah...!" Hongli tak sadar mengucapkan lagi nama itu.
Tampaknya ia ingat nama dan wajah pendekar itu. Sewaktu dirinya masih menghuni jagat persilatan, nama itu cukup masyhur. Ia adalah pendekar beraliran putih yang masyhur dengan julukan Nanjing Bai Ze (Maling Putih Dari Nanking). Berasal dari wilayah yang sama dengan dirinya. Namun setelah dirinya masuk dan mengabdikan dirinya kepada kekaisaran, ia tidak pernah lagi mendengar kabar tentang pendekar yang memang terkenal dermawan itu. Dijuluki sebagai Bai Ze karena Poo Ling Pong Ah suka merampok harta orang-orang kaya pelit dan serakah, lalu hasilnya ia bagi-bagikan kepada rakyat miskin.
"Tuan mengenal Dato Paliponga?" bertanya La Mbila.
Jenderal Hongli seolah terkaget dengan pertanyaan itu, dan dengan cepat ia berkata, "Oh, ah, tidak...! Mana mungkinlah saya mengenal orang besar seperti beliau? Saya ini cuman orang kecil. Hehehehe...”
La Mbila tertawa agak terbahak-bahak. "Iya juga ya, Tuan..?"
Ketika keduanya mau merapikan perkakas untuk memperbaiki perahu, tiba-tiba seorang pemuda yang bertubuh gempal dan tegap menghampiri.
"Eh, kapan kau pulang, Nak?" bertanya La Mbila kepada si pemuda yang tak lain adalah putranya, La Gunta Marunta.
"Baru saja, Ama," menjawab pemuda itu seraya setengah membungkuk menyalami tangan La Gunta Marunta dan tangan Jenderal Hongli dan menciumnya.
"Oh ya, Tuan Hongli, " La Mbila berpaling kepada Jenderal Hongli, "Inilah La Gunta Marunta, putra saya yang saya ceritakan barusan. Gunta, kenalkan, ini Tuan Hongli."
"Hei, Gunta. Bagaimana kabarmu?" sapa Jenderal Hongli sambil tersenyum, mencoba untuk memberikan keramahtamahannya kepada si pemuda.
"Baik, Tuan...! " jawab La Gunta dengan sikap santunnya
Malam hari, Hongli mengajak La Gunta untuk cerita-cerita di pinggir pantai. Bulan purnama menerangi jagat malam, memantulkan cahaya keperakan ke permukaan lautan. Api unggun dibuat untuk sekedar menghangatkan tubuh dari terpaan udara pantai.
"Bagaimana perkembangan penggemblenganmu, Gunta?"
"Lumayanlah, Tuan. Cukuplah untuk sekedar membela diri, " sahut La Gunta seraya sekali-sekali memasukkan potongan-potongan kayu yang dikumpulkannya di sekitar pantai ke dalam api unggun. "Sekitar tiga purnama lagi kami sudah siap untuk digabungkan dalam barisan tamtama kerajaan, Tuan."
"Guru gembleng kalian pendekar dari mana?"
La Gunta mengambil tempat duduk agak di samping Hongli. "Beliau pendekar khusus dari asi juga, Tuan. Namanya Dato Kandili. Beliau adalah pendekar terbaik dalam Kerajaan Tambora." (Asi = istana).
"Hm...!" Hongli mengangguk-angguk. "Tadi Ama-mu cerita, bahwa pihak kerajaan sedang mencari pemangku panglima perang sementara?"
"Benar, Tuan. Karena panglima yang juga adalah Jenateke sedang sakit parah. Sudah satu bulan, Tuan, tetapi calon pemangku panglima yang diharapkan kayaknya belum didapatkan." (Jenateke = putra mahkota).
Hongli mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Bentuk pencariannya bagaimana?"
"Ya kerajaan mengundang pendekar-pendekar mumpuni dari segala penjuru, kecuali yang berasal dari wilayah kerajaan-kerajaan musuh. Pendekar itu harus mampu mengalahkan para pendekar istana secara bertingkat."
"Secara bertingkat?"
"Iya, Tuan. Pada mulanya pendekar tersebut jika mampu mengalahkan pendekar uji satu lawan satu, maka selanjutnya ia harus menghadapi lima pendekar lagi, lalu sepuluh pendekar, hingga seratus pendekar."
"Wah, berat sekali ya penjaringannya, Gunta?"
"Menurut mada juga begitu, Tuan. Sangat berat! Tapi tidak mustahil. Sebab Jenateke sendiri tingkat ilmunya setingkat itu. Namun pendekar-pendekar yang ikut ambil bagian rata-rata gugur ketika baru menghadapi lima pendekar penguji." La Gunta Marunta tiba-tiba memandang lekat-lekat ke wajah Hongli lalu bertanya, "Mungkin Tuan juga berminat untuk ikut?"
"Hm...? Aku...?" Hongli berpura-pura kaget seraya mengarahkan telunjuknya ke dadanya sendiri.
"Iya, Tuan. Kenapa tidak? Dulu, guru gembleng istana juga adalah pendekar dari negeri Tuan juga."
"Apakah menurutmu aku ini ada potongan seorang pendekar?"
La Gunta Marunta memandang sesaat ke seluruh sosok Jenderal Hongli, lalu menjawab. "Mada tidak tahu, potongan seorang berilmu tinggi itu persis seperti apa. Tapi menurut firasat mada, Tuan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Hm, setidaknya dari sorot matanya Tuan."
"Ha ha ha ha ha." Hongli tertawa terbahak-bahak demi mendengar penuturan pemuda di sampingnya. Namun demikian, dalam hatinya mengakui akan ketajaman pandang dan firasat sang pemuda. Kemudian dalam nada datar ia bertutur. "Memang ketika muda, seusiamu, aku pernah menjadi murid di sebuah kuil besar. Tapi sekarang aku tidak tahu, apakah kemampuanku masih ada atau tidak. Soalnya sangat jarang terasah dengan pertarungan-pertarungan, Gunta."
"Kalau begitu, kenapa ragu, Tuan?" Sinar mata La Gunta Marunta menyiratkan sebuah harapan. "Siapa tau nasib baik berpihak pada Tuan...?"
Hongli tersenyum sambil menganggu-angguk, lalu bertanya singkat, "Begitu..?"
"Iya, Tuan!"
Hongli mengangkat wajahnya sesaat, menampakkan rahang dan urat lehernya yang kokok. Sembari menoleh ke arah La Gunta, ia pun berkata dengan tandasnya, "Baiklah. Patut dicoba!"
Mendengar kesanggupan Jenderal Hongli itu, sontak La Gunta berteriak kegirangan. Saking girangnya, pemuda itu sampai tak sadar memperagakan jurus-jurus silatnya.
"Cuiiiii...! Heaahh...heaaahh...heiit, heittt...!"
Hongli dibuat terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala demi menyaksikan perilaku 'kemenakan' barunya itu.
Setelah puas bercakap-cakap, mereka pun beranjak dari tempat itu. Sesampai di rumah La Gunta Marunta meceritakan perihal keinginan Hongli untuk ambil bagian dalam pencarian calon pengganti sementara panglima perang kerajaan. La Mbili dan La Hiri, kedua orang tua La Gunta Marunta, merasa senang sekaligus waswas mendengar kabar itu.
Jenderal Hongli tentu tidak menganggap sepele tingkat ilmu para pendekar uji Kerajaan Tambora, sekalipun dirinya adalah seorang pendekar besar. Dia sudah kenyang makan asam garam di dunia persilatan. Kendati demikian, ia perlu memperbaharui dan memantapkan kembali kedigdayaan jurus-jurusnya, sekaligus untuk mengumpulkan kembali tenaga dalamnya terasa nyaris hilang.