Tetapi ada suatu keajaiban...!
Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu.
Mungkin bayi itu asal suara barusan. Tapi bayi itu tidak nampak bergerak dan bernafas sama sekali. Tubuh bayi itu tergolek polos, telanjang, karena seluruh pakaiannya telah menjadi abu, terbakar. Yang tersisa hanya semacam kalung yang berleontinkan separuh koin dari selaka (perak) yang melingkar di leher si bayi.
Maka tanpa membuang-buang waktu, Dato Hongli melangkah dan berjongkok di samping tubuh bayi itu. Setelah mengalungi tali tasbih yg dari tadi dipegangnya di lehernya sendiri, orang tua bermata sipit pun lalu memeriksa nadi di leher bayi itu dengan sentuhan jari tengah tangan kanannya. Kulit wajah tuanya mendadak berubah sedikit cerah, dengan sinar mata sipitnya yang terbuka melebar.
“Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!”
Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana:
“Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!”
Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yang nestapa.
Setelah berkata demikian, Dato Hongli bangkit, lalu melangkan ke arah timur. Di pinggiran pantai, ia berdiri tegap, wajah diangkat dengan keangkuhannya sebagai seorang laki-laki besar. Sorot matanya yang sipit mengarah tajam ke Pulau Sangiang di hadapannya, seolah-olah menghunjam ke kedalaman magma gunung yang menggelegar dan siap meledak. Urat-urat di lehernya menonjol karena amarah yang teramat sangat.
Lalu, sembari mengangkat tinggi tubuh bayi dengan kedua belah tangannya, Dato Hongli bersuara dengan lantang membahana:
"Wahai manusia iblis yang paling biadab yang bernama La Afi Sangiaaa..! Ini adalah bayi yang tersisa dari kebiadabanmu...! Demi segala Dewa yang menitisnya, aku bersumpah untuk membesarkan dan menggemblengnya, hingga menjadi pendekar hebat. Kelak ia akan datang untuk menuntut balass kepadamu...!!"
Seakan-akan langit mendengar teriakan Dato Hongli tersebut. Mendadak cakrawala mengumpulkan mendung tebal berwarna kelabu di atas Bumi Wera. Kilat sahut-bersahut, gemuruh susul-menyusul, seakan-akan hendak membelah langit.
Tak lama kemudian hujan pun turun dengan lebatnya. Dato Hongli membalikkan tubuhnya ke arah barat, lalu meninggalkan tempat itu dengan gerakan lari yang demikian cepatnya. Kecepatan yang nyaris sulit ditangkap mata.
Di suatu gua tersembunyi yang berada di suatu tebing batu yang curam yang berada di rimba Pegunungan Sorowua, di mana selama ini ia mengasingkan dirinya, Dato Hongli membesarkan dan mendidik bayi La Mudu. Ia benar-benar bertekad untuk menjadikan si kecil La Mudu sebagi murid, pewaris segala ilmunya, sehingga kelak menjadi seorang pendekar besar!
* * *
Dato Hongli adalah pelarian dari negeri Tiongkok. Sepuluh tahun yang silam ia terdampar di suatu pantai di pesisir utara Pulau Sumbawa. Kapal kecil yang dipakainya untuk pelarian hancur akibat dihantam badai laut, dan ia selamat berkat menumpangi sisa papan kapalnya yang pecah.
Dalam riwayatnya, Hongli sebenarnya adalah salah seorang jenderal yang sangat dihormati dalam angkatan perang Kekaisaran Dinasti Ming (Ming Chao). Kebesaran dan kejayaan kekaisaran Dinasti Ming (Ming Chao) tak lepas dari jasa-jasa orang besarnya seperti Jenderal Hongli. Banyak kekaisaran yang berhasil taklukan sehingga ekspansi wilayah kekuasaan membentang sangat luas.
Kepiawaian utama Jenderal Hongli adalah dalam mengatur siasat perang, di samping ilmu kependekarannyayang sangat tinggi yang dimilikinya.
Ya, jauh sebelum masuk ke dalam lingkaran kekuasaan Jenderal Hongli adalah seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ia adalah seorang pendekar besar yang sangat dihormati dan ditakuti oleh semua pendekar di seantero daratan Tiongkok kala itu. Ia dihormati oleh kawan sealiran, dan ditakuti oleh lawan-lawannya dari aliran hitam. Ia masyur dengan julukan Nanjing da Jianke (Pendekar Agung dari Nanking), di samping masyhur dengan julukan Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan). Kemasyhuran namanya itu membuat pihak kekaisaran lalu merekrutnya menjadi seorang bintara dalam angkatan perang. Karier militernya megitu moncer dan gemilang. Dalam wkatu beberapa tahun saja ia sudah berada di tataran perwira tinggi, ia punya andil besar dalam membangun sebuah angkatan perang dengan kekuatan yang sangat besar yang dibekalinya dengan kepandaian ilmu bela diri yang mumpuni, sehingga angkatan perang Kekaisaran Dinasti Ming sangat disegani dan ditakuti oleh kekaisaran-kekaisaran lain kala itu. Dalam setiap gelombang penyerbuan penaklukan, mereka selalu membawa kemenangan yang gilang-gemilang.
Karena sesuatu alasan yang mendasar yang hanya dia sendiri yang mengetahuinya, di suatu malam Jenderal Hongli pun meninggalkan Daratan Tiongkok dan keluarganya dengan menggunakan sebuah kapal layar yang tidak besar. Ia sendiri tidak tahu hendak menuju ke negeri mana. Yang dia pikirkan ketika itu adalah pergi sejauh mungkin dari negeri Tiongkok, meninggalkan segala kebesaran dan kemasyhuran yang ia sandang. Berminggu-minggu ia mengarungi samudera yang luas. Ia hanya mengikuti saja ke mana kehendak angin mengarahkan layar kapalnya.
Sampai suatu malam, mendadak badai laut yang dahsyat mengombak-ambikkan pelayarannya. Jenderal Hongli tak mampu mengatasi kekuatan alam yang dahsyat itu. Badai itu menghempas dan menghancurkan perahunya. Malam terlihat demikian pekat. Langit tak sedikit pun memberikan petunjuk, angkasa telah ditutupi oleh mendung tebal.
Penderitaannya semakin bertambah dengan turunnya hujan deras yang dibungkus oleh badai yang terasa kian membuatnya kehilangan arah sama sekali. Oleh satu hempasan yang kuat, Jenderal Hongli merasakan kapalnya terhempas kuat. Ia tak punya kemampuan lagi utnuk menggulung layar utama kapalnya sebagai upaya untuk mengurangi hajaran gelombang dan badai yang disertai hujan. Namun terlambat, kapalnya hancur dan pecah.
Tetapi untung masih dapat ia raih. Sebilah papan yang cukup lebar dan panjang dari pecahan kapalnya telah menjadi alat penyelamatan hidupnya. Dengan kekuatannya yang tersisa, ia mengayuh papan itu dengan tangan, kaki, dan sisa kekuatan tenaga dalamnya. Tetapi lagi-lagi ia tak mampu mengalahkan kekuatan waktu dan alam. Lalu, entah berapa lama ia berikhtiar demikian, ia pun tak tahu. Akibat kepayahan, ia pun tak sadarkan diri di atas papan tersebut.