Mori kembali berjalan mendekati Miranda yang hanya memperhatikan dari kejauhan, apa yang dibicarakannya dengan makhluk tak kasat mata yang mengaku sebagai bagian dari salah satu siswi di sekolah mereka dulunya. Tepanya pada masa revolusi sosial.
"Apa yang kamu bicarakan dengan makhluk perempuan tadi? Dan siapa dia?" Miranda penasaran walau sejujurnya ia memang takut. Meski dirinya adalah salah satu pemilik kekuatan mahkluk mitos yang lebih menakutkan dari pada makhluk tak kasat mata.
"Itulah kenapa kamu tadi tak mau ikut, jadi mau tahu juga kan belakangannya."
"Sudahlah. Kamu mau cerita apa tidak nih?" Miranda tampak sedikit kesal.
"Oke. Aku cerita." ucap Mori yang mengalah untuk kedua kalinya kepada Miranda.
"Bagus!" sahut Miranda yang kini menyimpan ponselnya untuk mendengar dengan baik.
"Perempuan itu tadi, dulunya adalah salah satu siswi di sekolah ini. Dia dipindahkan ke sekolah ini, karena sekolah asalnya sedang ada sedikit masalah. Orang tuanya memutuskan memindahkannya sekolah ke kota ini, tapi sayangnya keberadaannya sebagai anak bangsawan tetap diketahui. Saat ke toilet, ia diculik lalu dibunuh di belakang toilet yang sepi pada sore hari! Itulah kenapa dulu beredar kabar mengenai hilangnya seorang siswi pada sore saat ke toilet dan tak pernah kembali!"
Miranda mengangguk sekali. "Memang ngeri-ngeri dan sadis-sadis, apa yang terjadi saat masa revolusi sosial itu! Aku tak dapat membayangkan apa yang menimpa para sultan dan para kerabatnya yang dibantai waktu itu!"
"Kamu benar! Ah, sudah mau gelap nih. Sudah waktunya pulang!"
Miranda tidak segera mengikuti Mori. "Kamu kan belum selesai ceritanya!"
mori menghela nafas. "Cerita apa lagi?"
"Kamu belum memberitahu alasan makhluk perempuan tadi tiba-tiba muncul. Kamu sudah dua tahun di sekolah ini, kan? Tapi kenapa baru melihatnya sekarang?"
"Nah... itu dia yang menjadi masalahnya!"
Miranda berjalan yang diikuti Mori. "Tolong jelaskan!"
Mori memiringkan kepalanya sedikit ke kiri. "Baiklah. Kita bicara sambil jalan saja." Mori lalu kembali berjalan perlahan menuju parkiran.
"Okey." Miranda kembali berjalan.
"Dia, makhluk itu, mengatakan kalau dirinya bersembunyi karena ada seorang manusia yang ingin menangkapnya dan memaksanya untuk menakut-nakuti orang-orang. Dia tidak mau, makanya bersembunyi."
"Ternyata memang ada ya, manusia yang menangkap makhluk seperti itu lalu memaksanya untuk menakut-nakuti orang! Aku baru pernah dengar kabar anginnya saja dan aku rasa itu mustahil dilakukan!" komentar Miranda mendengar penjelasan Mori.
"Hei, aku juga baru tahu hari ini!" ucap Mori sambil terus berjalan.
"Benarkah?" Miranda terlihat kurang percaya dengan apa yang dikatakan Mori kepadanya.
Mori berhenti berjalan karena Miranda tidak mempercayainya. "Tentu saja! Apa gunanya aku bohong? Kata makhluk tadi, orang yang ingin menangkapnya itu seumuran denganku dan salah satu siswa sini juga. Selain itu menurutnya, aku akan tahu siapa orang itu kalau bersentuhan langsung dengannya!"
Miranda juga ikut berhenti, mengangkat tangan kanannya dan mengetuk-ngetuk dagunya pelan. "Hum... sulit juga kalau kamu berniat mencari orang itu, karena harus menyentuhnya!"
Mori mengangguk sekali dan melanjutkan perjalanan. "Yap. Tapi tadi pagi ada satu kejadian yang tidak disengaja terjadi di kelasku."
"Kejadian apa?" Miranda jadi penasaran dan menyusul Mori dengan cepat.
"Nanti di parkiran saja kita lanjutkan ceritanya." sahut Mori terus berjalan.
Miranda melihat kiri dan kanan, sedikit ngeri melihat sekolah yang telah sepi dan mulai gelap.
Sesampainya di tempat parkir yang lampu penerangannya telah dihidupkan, Mori berjalan menuju parkiran siswa yang terpisah dari parkiran guru. Setelah itu barulah Mori berhenti berjalan, karena telah sampai di parkiran khusus siswa. Parkiran itu sudah banyak yang kosong karena memang sudah jam pulang sekolah sejak satu jam lalu.
Di atas motornya, Mori duduk sebelum lanjut bercerita. "Aku sempat ribut dengan salah satu anak dari kelasku, tidak sampai beradu fisik langsung sebenarnya. Hanya saja dia sempat mencengkeram tanganku! Saat itulah aku merasakan suatu aura yang lain dari anak itu! Seolah memiliki kekuatan tersembunyi!"
"Apa itu artinya teman sekelasmu itu kemungkinan besar adalah orang yang dimaksud makhluk perempuan tadi?" tebak Miranda yang hanya berdiri mendengar cerita Mori.
Mori mengangguk beberapa kali. "Bisa jadi. Tapi... aku rasa sedikit aneh kalau itu dia."
Miranda memiringkan kepalanya sedikit ke kiri. "Aneh kenapa?"
"Ya... aneh karena sebenarnya aku dan dia itu dari masa SD sudah satu sekolah, satu kelas juga. Lalu pas di SMP hal sama juga terjadi, satu sekolah juga dan satu kelas juga. Entah ini kebetulan atau bukan, tapi SMP yang aku masuki dan juga SMA ini menerima siswa dan siswi nya berdasarkan nilai. Apa masuk akal, sebegitu kebetulannya nilai kami tidak terpaut jauh dan dimasukkan ke dalam kelas yang sama?!"
"Benar juga. Tapi apa selama itu kalian tidak pernah bersentuhan langsung?"
"Tentu saja pernah, karena kami sering bergulat!" sahut Mori cepat dan pikiranya sedikit menerawang masa kecilnya yang sering ribut dengan teman yang ia maksud.
"Dan kamu tak pernah merasakan aura aneh darinya?"
Mori mengangguk pelan.
"Ah. Bisa saja ini efek pubertas masa remaja! Kamu sudah lama memiliki kelebihan ini, sementara temanmu itu baru mendapatkannya setelah remaja. Seperti ras kita yang bisa diturunkan pada keturunan selanjutnya."
Mori mengusap dagunya dengan tangan kiri dan tampak berpikir keras walau ekspresinya datar. "Bisa jadi begitu. Aku akan menyelidikinya mulai malam!"
"Baiklah. Kalau begitu kamu pulanglah."
"Apa kamu mau aku antar?"
"Tidak. Terima kasih. Aku ke sini tadinya dengan sopir dan sekarang dia masih menunggu di depan gerbang luar."
"Baiklah. Aku pulang duluan." Mori memakai helm dan menghidupkan mesin motornya lalu mulai berjalan meninggalkan tempat parkir setelah melambiakan tangannya pada Miranda.
Miranda juga segera berlalu dari tempat parkir.