Mori melihat ke belakangnya, ke arah rombongan Tim Pencari yang telah menemukan dua polisi hutan, dua orang warga tempatan sebagai pemandu dan seorang penebang liar yang menyerahkan diri.
Sedikit heran kenapa orang-orang itu sepertinya tidak menyadari kehadiran dua sosok bukan manusia biasa yang ada di hadapan Mori.
"Apa mereka tidak bisa melihat kalian?" tanya Mori dengan mengangkat tangan kanan setinggi bahu dan mengarahkan ibu jari kanannya ke belakang.
"Sebenarnya kamu juga tidak terlihat oleh mereka begitu memasuki batas batu yang mengelilingi makam tanda ini!" sahut perempuan cantik dengan rambut panjang diikat ekor kuda.
"APA?!" seru Mori hampir tidak percaya dengan pendengarannya.
Perempuan cantik itu sedikit menghela nafas. "Ayolah, kamu jangan terkejut begitu. Ini kan bukan pengalaman pertama kamu berhadapan dengan hal-hal mistis."
"Dia masih anak-anak. Harap maklum." Ucap laki-laki yang dari awal berbicara pada Mori.
"Hei. Bukankah kamu juga masih anak di bawah umur?"
Perempuan cantik dan laki-laki muda itu saling pandang lalu tertawa bersama-sama dan membuat Mori menjadi kesal karena banyak hal yang tidak dipahaminya sedang berlangsung di hadapannya.
"Baiklah. Aku akan memperkenalkan diri kami." Ucap perempuan cantik itu setelah berhenti tertawa. "Namaku, Miranda. Ini nama asli walau bukan nama panjang. Seorang mahasiswi. Dan yang kamu panggil anak di bawah umur yang sama denganmu ini adalah Tuan Idris. Tuan Idris jauh lebih tua dari kamu atau pun saya, jadi kamu harus bersikap sopan pada yang lebih tua! Kamu mengerti?!"
Mata Mori membulat mendengar perkataan Miranda yang mengatakan jika Idris, sosoknya yang seperti anak di bawah umur itu jauh lebih tua dari dirinya atau pun Miranda yang seorang mahasiswi.
"Baiklah aku percaya kalau Tuan Idris jauh lebih tua dari saya walau penampilannya masih seperti remaja! Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini! Cindaku yang selama ini hanya dianggap mitos oleh banyak orang, sekarang berdiri di hadapanku!"
Miranda tersenyum lebar, membuat kecantikannya semakin bertambah dan membuat Mori jadi terpesona. "Bagus. Kalau begitu kembalilah, kamu pasti lelah setelah berlarian di hutan malam hari."
"Tapi aku masih ingin mendengar penjelasan lebih tentang Cindaku dan termasuk diriku yang Tuan Idris katakan juga mewarisi kemampuan turunan Cindaku."
"Kamu harus istirahat! Kalau kamu yang belum mempunyai kontrol kekuatan kelelahan, kamu akan berubah menjadi harimau! Kamu bisa ditangkap dan dimasukkan kebun binatang. Apa kamu mau?"
Mori menggeleng cepat. "Tidak mau!"
"Kalau begitu kamu harus menurut." Perintah Miranda. "Cepat kembali ke rombongan tim pencari itu dan istirahat. Aku akan menjelaskan semuanya pada pertemuan selanjutnya."
Mori mengangguk sekali lalu pergi menjauhi makam kuno.
"Dia lugu sekali. Percaya begitu saja kamu takuti dia bisa berubah menjadi harimau lalu dimasukkan ke kebun binatang kalau ketahuan."
Miranda tertawa kecil. "Itu karena dia anak yang sedikit sulit diatur."
Idris yang masih duduk di alas makam melihat ke arah Miranda yang berdiri di sisi kirinya. "Tapi dia anak yang baik."
"Yah... itu juga benar."
"Kamu juga ayo balik dan istirahat."
Miranda menundukkan kepalanya sedikit kepada Idris yang masih duduk. "Sampai jumpa lagi tuan."
Idris tersenyum. "Hati-hati."
"Baik tuan." Miranda segera berdiri dan mulai berjalan meninggalkan makam kuno. Setelah beberapa langkah keluar dari lingkaran batu yang mengelilingi makam, Miranda melihat kembali ke arah makam kuno yang telah menghilang tanpa jejak. Miranda tersenyum dan melanjutkan perjalanannya.
***
Mori berjalan menyusuri hutan untuk kembali ke pos Polisi Hutan terdekat setelah menemukan orang yang sempat 'tersesat' di dalam hutan selama tiga hari. Mori hampir tidak berbicara sekali pun jika tidak ditanyai ketua tim pencari dari mana saja sempat menghilang sesaat. Tentu saja Mori tidak akan menjelaskan apa yang baru saja dialami olehnya. Terlebih lagi makam kuno yang hanya makam tanda itu menghilang begitu saja begitu ia memalingkan tubuh.
Hanya lima orang yang 'tersesat' itu yang pernah melihat makam kuno itu selama mereka belum dapat ditemukan Mori, namun ke lima orang itu tidak pernah mendekatinya secara langsung. Karena itulah Mori enggan membicarakannya.
Sesampainya di pos Polisi Hutan, Mori segera membersihkan tubuhnya yang kotor karena lumpur. Setelah itu masih tanpa bicara apa-apa Mori segera memilih tidur di aula pos Polisi Hutan karena lelah dan mengantuk.
Ustaz Ali, Ibu Bunga dan Alysha yang mendatangi Mori ingin bertanya apa yang terjadi dan apakah ia baik-baik saja, Mori mengabaikan semuanya dan tetap memilih tidur. Perkataan Miranda yang menyuruh untuk kembali ke pos Polisi dan istirahat sebuah perintah yang baik, karena itulah Mori menurut dengan patuh untuk istirahat.
Mori tidur dengan nyenyak, tanpa mimpi dan tidak terganggu sekitar oleh tim pencari lain yang telah kembali dan juga beristirahat menunggu pagi datang sebelum kembali ke tempat masing-masing.
Pada pagi harinya Mori terbangun dengan penuh semangat setelah tidur dengan nyenyak, tanpa terganggu sedikit pun. Belum masuk waktu sholat subuh, Mori pergi ke kamar mandi untuk mandi pagi, kebetulan membawa baju ganti karena sehari sebelumnya adalah hari Sabtu, Mori biasa memakai sepeda ke sekolah di hari Sabtu dan selalu membawa baju ganti.
Ketika baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di luar, Mori dikejutkan dengan kehadiran Miranda yang berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Miranda?!"
"Kamu pikir siapa? Minggir anak kecil tidak tahu sopan pada yang lebih dewasa, aku mau masuk."
"Ha. Paling juga umurmu baru sembilan belas walau sudah mahasiswi." Tebak Mori sambil melangkah ke samping agar Miranda bisa segera menggunakan kamar mandi.
Miranda masuk ke dalam kamar mandi dalam diam.
Mori membalik tubuhnya dengan cepat karena teringat sesuatu. "Hei, Miranda. Bukankah ini kamar mandi laki-laki?"
"Apa salahnya masuk kamar mandi laki-laki kalau tempat perempuan ada orangnya." Terdengar sahutan Miranda dari dalam.
Mori mengangkat kedua bahunya. Ia juga tidak mempermasalahkan sebenarnya selagi tidak ada yang keberatan. Ketika Mori sudah mulai berjalan, tiba-tiba ia berhenti karena teringat sesuatu yang lebih penting. "Eh. Bukannya Miranda itu..." Mori berpaling perlahan dan benar saja, ia menemukan sosok Miranda telah berdiri tepat di belakangnya.
Miranda tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang sangat terawat. "Aku hanya mau mengetes saja. Dan ternyata kamu orang yang payah. Bisa-bisanya kamu lupa dan tidak waspada. Payah!"
"Kenapa kamu bisa ada di sini? Apa kamu mau memata-mataiku agar aku tidak buka mulut mengenai identitasmu?!"
"Jangan suka berprasangka, bocah! Aku juga bagian dari tim pencari. Posisiku sebagai tim medis karena kebetulan aku mahasiswi kedokteran hewan!"
"Penyamaran yang sempurna!"
"Terima kasih." Sahut Miranda tersenyum lebar.
"Aku tidak memujimu."
"Tetap saja kamu sudah mengatakannya." Ucap Miranda santai.
"Kamu menjadi tim medis untuk manusia, sementara kamu mahasiswi kedokteran hewan?!"
"Berbuat baik itu tidak harus sesuai keahlian kita. Lagi pula aku juga memiliki pengetahuan dasar medis dari kecil karena orang tuaku dokter spesialis saraf."
"Oh... aku mengerti. Kamu memilih kedokteran hewan agar bisa tetap dekat 'dunia kedua', mu?"
"Seratus!" sahut Miranda sambil berjalan dengan anggun. Rambut hitam lurusnya yang diikat ekor kuda bergerak mengikuti irama langkahnya yang anggun.
Mori yang memperhatikannya berjalan dari belakang menjadi terkagum. Merasa sangat beruntung pagi-pagi melihat gadis cantik walau pun sedikit terkesan sombong.