webnovel

Putri tidur

Pagi cerah nan segar mengikat alam dan seluruh isinya ikut bernyanyi tentang suasana fajar tiba. Kurentangkan tangan agak memutar-mutarnya searus pinggang kanan dan kiri lalu menguapkan mulut namun tetap dalam hati Asma Allah yang suci.

Seperti biasa setiap usai subuh aku selalu tertidur dan memang tidurku setelah subuh datang. Pada awalnya aku begitu marah dan kesal pada tubuh dan badan yang tak dapat secara rutin menemui sang subuh lalu kubuat mereka seluruh bagian tubuh ini terjaga sepanjang malam hingga subuh tiba.

Lalu terdengar suara teriakan Ibu dari omelan kasih sayang yang ia lontarkan. Dahulu ocehan beliau tentang caranya membangunkanku terkadang membuat teramat kesal di telinga tapi pada akhirnya aku mengerti bahwa hal itu adalah wujud dari kasih sayang beliau akan memperhatikan anaknya.

"Pendik bangun sudah siang ini enggak kerja kau!" Teriak Ibu di arah dapur berkutik dengan bermacam bumbu dapur dan bahan makanan.

"Ia Ibu," ku ayunkan tubuh untuk bangun dengan agak malas-malasan.

Pagi ini minggu, 25 Juli 2021 masih dalam masa pandemi entah kapan yang namanya pandemi akan berakhir. Kusuka muka dengan segar tetesan air sumur di dalam kamar mandi.

Ah segarnya pagi ini, syukur Alhamdulillah aku dapat bertemu subuh tadi pagi. Tawa kecilku di hati merasakan kemenangan dari usaha bertemu subuh kembali. Seakan mendapatkan sebuah lotre atau undian berhadiah barang mewah.

"Bapak sudah berangkatkah Bu?" tanyaku sebab ku melihat motor Bapak sudah tidak ada di tempatnya.

"Sudah dari tadi pagi," jawab ibu singkat namun tetap fokus dengan bahan masakan yang ada di atas meja depan ia berdiri di dalam dapur.

"Hai Si Hitam, apa kabarmu hari ini. Yuk kita keluar menjemput rezeki pagi hari ini," ucapku menepuk kepala motor bebek hitam yang biasa terparkir di belakang pintu depan ruangan dapur.

Ku tuntun perlahan melewati pintu depan ruangan dapur menuju arah bagian selatan dapur yang masih kosong. Rencananya suatu hari nanti apabila ada rezeki akan kubangunkan sebuah rumah di bagian ini.

Ku hela sedikit nafas panjang mendongak kepala melihat langit dengan senyuman, "Alhamdulillah hari ini cerah rupanya terlihat jua pedesaan di kaki gunung Anjasmara tampak begitu terang," gerutuku sambil memasang kedua keranjang di atas jok belakang motor.

Setelah berpamitan pada ibu, "Bu berangkat Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, jangan lupa maskernya Pen, Helm juga sudah di bawakah?" selalu pertanyaan-pertanyaan klasik kala musim pandemi ini berlangsung dari ibu yang setiap pagi selalu sama.

"Sudah Bu," tak terasa usiaku sudah menginjak kepala tiga tapi masih saja menjadi beban orang tua terkadang aku malu akan hal itu dan jua belum menemukan pasangan untuk di jadikan tempat berlabuh kala datangnya malam yang begitu lelah. Untuk sekedar bercanda melepas penat setelah seharian bekerja.

Mau bagaimana lagi ya hidup masih bagaikan nafas senin dan kamis. Begitulah perumpamaan orang Jombang yang berarti masih belum mencukupi hidup walau sendiri dan hasil kerja sebagai tukang rombeng belum jua mendapatkan hasil yang memuaskan.

Sedangkan era jaman sekarang seorang gadis dalam bahasa Jawanya bisa diumpamakan memiliki mata mesin alias melihat motor seorang pemuda bagus atau jelek. Bisa dikatakan mata pulsa atau kuota alias memandang pemuda dari isi dompet tebal atau tipisnya.

Sedangkan hasil dari kerjaku setiap hari hanya mampu untuk membeli sebungkus rokok. Tapi aku selalu bersyukur masih diberi satu pekerjaan oleh Allah SWT. Setidaknya aku tak menganggur di masa di mana semua orang sedang sulit. Dimana hari ini tiada beda miskin atau kaya.

Ah sudahlah aku sela sekali motor bebek kesayangan sekali sela berbunyilah iya. Dan hari ini kami siap bertualang naik atau menuruni jalanan antar desa-ke desa di daerah kecamatan Wonosalam.

Beberapa menit sudah berlalu dan aku sudah berkendara di jalur menuju atas gunung sebuah desa bernama Pokah adalah tujuan pertama tempatku mencari rezeki pagi ini. Namun seakan dewi rezeki belum jua menghampiri, seakan nasib baik belum jua datang walau berapa kali aku berteriak, "Rosok, rosok..., Pak, Buk, Rosoknya," tetapi belum jua ada yang memberhentikan motorku untuk menjual barang bekas yang mereka miliki.

"Sabar Pendik, Sabar kamu adalah Super Hero THOR yang sangat kuat, hehehe," gerutuku dalam hati menghibur diri sendiri di atas matahari yang semakin teri ku rasa.

Sedikit kuseka meluncurnya keringat di keningku sambil melirik ke arah belakang. Kedua keranjangku masih kosong jua belum terisi sama sekali oleh barang bekas yang harusnya kubeli dari orang-orang yang nantinya akan kujual kembali pada pengepul barang bekas.

"Ah ya sudahlah mungkin hari ini belum ada rezeki berlebih yang menaungi akan kerjaku sebagai tukang rosok."

Sejenak ku ambil hanpone yang ku taruh di saku jaket hijau pemberian tetangga beberapa hari yang lalu. Tertera jam di dalam layar hanpone 13:30. Seharusnya sudah waktunya pulang tapi haruskah aku pulang dengan tangan kosong. Tiada memperoleh barang dagangan satu pun.

"Ah Sudahlah memang kesalahan pada diriku setiap malam menghadirkan Nazis dan menyuguhkan nafsu pada keheningan malam di mana seperempat malamnya aku selalu berjibaku dari apa yang namanya syahwat. Sudah aku pulang Allah aku menyerah hari ini," teriakku di atas panasnya sengatan matahari yang terus berpijar di atas bumi.

Tetapi seketika seakan Allah mendengar keluhanku dan seakan Gusti Allah melihatku dengan senyum memerintahkan sang malaikat untuk mengirimkan rezeki kepadaku. Seakan Sang Malaikat hampiri aku lalu memegang pundakku dan berkata.

"Assalamualaikum, Pendik aku diperintahkan Allah menyampaikan rezeki kepadamu dan semua tergantung kepadamu atas menikmati rasa syukur atau kufur nikmat akan rezeki yang di berikan,"

Dan ada sebuah tangan melambai dari kejauhan. Sebuah tangan dari lelaki sebaya lima puluh tahun berdiri di depan rumahnya melambaikan tangan padaku. Dan berteriak, "Mas Rosok!"

"Ia Pak, Alhamdulillah ada rezeki yang datang," gerutuku agak menggumam bergegas membalikkan motor melaju menuju arah rumah bapak yang melambai.

"Ia Pak, ada barang bekas yang mau dijual ya?" tanyaku agak berbosa-basi.

"Ikut aku Mas, aku tunjukkan di mana rongsokan yang mau aku jual, tetapi jangan di beli dengan uang atau ditukar dengan bumbu masakan yang bernama bawang merah ya?" kata-kata Bapak itu membuatku tak mengerti.

Aku sedikit terdiam dari kata-katanya ada barang bekas atau rongsokan tapi iya tak mau dibeli dengan uang atau di ganti dengan bawang merah selayaknya umumnya orang-orang yang lain.

"Lalu aku harus menggantinya dengan apa Pak?" sedikit kupicingkan mata melihat sang bapak yang hanya tersenyum melihatku.

Tetapi aku bisa menangkap gurat kesedihan yang mendalam terbaca dari sorot matanya yang seakan menahan pedih teramat pedih menumpuk-numpuk.

"Perasaanku tidak enak ini," gerutu ku agak lirih.

"Apa Nak?" sahut Bapak yang akan menjual rongsokan mendengar gerutuanku.

"Tidak ada apa-apa Pak, mari silakan tolong tunjukkan dimana letak rongsokan yang bapak maksudkan?" ucapku meminta sambil berpikiran positif bahwa beliau hanya bercanda mungkin memang benar ada sejumlah barang bekas di dalam rumahnya.

"Mari Mas lewat sini," beliau berkata sambil berjalan kearah belakang rumahnya.

Dan aku hanya mengikuti beliau berjalan di belakangnya. Ternyata memang benar begitu banyak barang bekas tertumpuk di belakang rumah. Aku melihatnya sambil mengira-ngira bahwa jikalau di masukkan ke dalam keranjang tentu dan pastilah penuh sekali dan langsung pulang aku membawanya.

"Allahuakbar benar-benar rezekimu tak akan ada duanya," gumamku sejenak.

"Lalu kalau barang bekas begini banyaknya. Bapak tidak mau di tukar dengan sejumlah uang. Aku harus membelinya dengan apa pak sedangkan Bapak tak mau juga menukarnya dengan beberapa kilo bawang merah?" tanyaku sekali lagi memastikan apa yang beliau inginkan.

"Nah kalau begitu mari ikut denganku Nak. Akan kutunjukkan engkau harus membayarnya dengan apa. Sebab aku telah menunggumu begitu lama dari firasat atau pertanda mimpi yang telah aku tanyakan kesana-kemari kepada orang yang mampu melihat tafsir mimpi," ucap beliau bergegas berjalan menuju ke dalam rumah.

Dan aku hanya mengangguk saja mengikuti langkahnya begitu penasaran akan apa yang di maksudkan. Sampai pada satu kamar di sebuah ruangan dalam rumah. Aku di ajaknya masuk ke dalam kamar.

"Astagfirullah, ini siapa Pak dan kenapa ia tidur seakan mati," ucapku terperangah melihat seorang gadis muda sebangsa usia dua puluh lima tahun. Yang tengah tertidur berselimut tapi wajahnya begitu pucat seakan tiada ruh di dalam badan.

Lalu aku melihat mata sang bapak tadi berlinang, "Tolong Bapak Nak, sudah berminggu-minggu anak Bapak tertidur dan tak bangun-bangun. Dokter dan paranormal yang Bapak mintai pertolongan sudah angkat tangan suatu hari Bapak bermimpi melihatmu bertamu kemari tapi bukan sebagai tukang rosok. Tetapi sebagai Santri berbaju kok rapi dan berpeci. Sufah aku tanyakan pada beberapa orang pintar semua mengarah kepadamu Nak," kata beliau sambil bersimpuh seakan bersujud padaku.

"Bangunlah Pak kalau memang sudah seperti itu keadaannya. Mungkin memang Allah menunjukkan jalan seperti itu maka dengan Bismilah aku akan mencoba mengobatinya Pak tapi saya tak berjanji akan kesembuhan sebab semua adalah kehendak Sang Kuasa," Jawabku dan beliau hanya mengangguk.

Sebentar kupejamkan mata berdoa memohon petunjuk dari Allah akankah aku mampu mengobati sang gadis tidur di depanku. Lalu seakan ada perintah untuk melaksanakannya seakan tubuh ini bergerak sendiri berjalan menghampiri lalu mengecup kening sang gadis tidur sekali.

Dengan Ridha Allah dan Asma Rasullah perlahan matanya terbangun langsung menangis dan memeluk bapaknya.

Seperti perjanjian awal aku mengambil barang bekas yang di janjikan kepadaku tanpa sepeser pun uang aku berikan pada beliau.

"Aku jadi teringat Mbak Moza Mustafa kala berpisah di tepian ruang tunggu setasiun Pasar Senen ia menangis memelukku karena menerima kabar Putrinya di guna-guna orang dan sudah tiga hari tak terbangun. Andai saja aku masih kenal Mbak Moza hingga hari ini tentu Insya Allah aku dapat menolong putrinya dengan ijin Allah tentunya," gumamku sambil menata rongsokan di dalam keranjang.