webnovel

Batin dan Logika

Arya Armando, seorang presdir di salah satu perusahaan sukses yang berdiri di kota Jakarta. Ayahnya sudah pensiun dan sudah sakit-sakitan di rumah, sehingga ia harus menggantikan posisi sang ayah.

Pria bertubuh tinggi itu baru saja mengempaskan duduk di kursi kerjanya, ia terdiam dalam ruangan luas tersebut. Masih terngiang di telinganya, samar-samar pembicaraan kedua pekerja wanitanya beberapa waktu lalu. Andine dan Amira.

Arya tanpa sengaja mendengar, bahwa Andine sedang bertengkar dengan suaminya, pria itu juga dapat melihat bagaimana ekspresi di wajah sang sekretaris bahwa memang sepertinya ia sedang tidak baik-baik saja.

Ada perasaan aneh yang menelusup masuk ke dalam hatinya begitu mengetahui bahwa Andine sedang bersedih. Rasa simpati, atau justru karena hatinya ikut terluka mengetahui kehidupan rumah tangga Andine sedang mengalami masalah.

Pemuda berjas coklat itu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya, ia menggelengkan kepala pelan sambil membenahi posisi duduk.

"Untuk apa aku memikirkan Andine? Dia sudah jadi istri orang, aku tidak berhak memikirkannya." Arya berdecak lirih sambil merutuki diri sendiri, merasa bodoh sebab memikirkan Andine.

"Masalah dalam rumah tangga itu biasa, setiap orang punya masalah. Biarkan mereka menyelesaikannya sendiri," gumamnya lirih. Namun, meskipun bibirnya mengatakan demikian, hatinya justru mengatakan hal lain. Perasaan memang tidak bisa dibohongi, melihat wajah Andine yang tampak nelangsa, Arya sebenarnya merasa iba.

Entah sejak kapan ia mulai menaruh rasa kepada Andine, pria itu tidak ingat pasti. Sudah beberapa tahun sang sekretaris mengabdi di perusahaannya, sampai gadis muda itu dipinang oleh lelaki lain, Arya belum juga bisa mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.

Tinggallah penyesalan ketika wanita yang dipuja pada akhirnya dimiliki oleh pria lain, salahnya sendiri memang tidak buru-buru mengatakan perihal perasaannya pada sang sekretaris.

Beberapa waktu kemudian, terdengar dering ponsel milik Arya yang tergeletak di atas meja kerjanya. Pria berhidung mancung itu segera meraihnya, dan bergegas menggeser icon hijau di layar setelah ia membaca identitas si penelepon.

"Halo, Ma?" Suara Arya begitu lembut saat bicara dengan wanita yang sudah melahirkannya tersebut.

"Halo, Arya. Kamu udah sampe ke kantor?" tanya wanita di seberang sana.

"Sudah, Ma. Ada apa, Ma?"

"Eng ... begini, siang ini mama mau ketemuan sama Tante Devi. Kamu ingat Tante Devi 'kan? Itu lho sahabat mama dari zaman kuliah dulu, pernah mama ceritain 'kan?"

Arya menghela napas pendek, entah mengapa ada perasaan tak enak mendengar cerita sang ibu. Namun, demi menyenangkan wanita itu, Arya akhirnya tetap meladeni meski enggan.

"Iya, Ma. Arya masih ingat," sahut pemuda itu.

"Nah, jadi siang ini, mama sama Tante Devi mau janjian buat ketemu. Tadinya, Cuma berdua aja. Tapi, kebetulan anaknya Tante Devi ikut. Perempuan seumuran kamu, Ar. Namanya Tania, anaknya baik dan sopan kok, mama udah pernah ketemu waktu itu, sekali. Jadi ...." Suara mama kandung Arya tersebut mulai terdengar rendah, sedangkan Arya tetap mendengar dengan saksama.

"Jadi?" Arya bertanya sebab sang ibu tiba-tiba hening.

"Jadi, kamu datang ke sana ya? Nanti mama share lokasinya, kamu cukup datang aja temani mama di sana. Gimana? Mau 'kan?"

Arya mengembuskan napas panjang, ia sudah tahu apa yang dimaksud oleh wanita itu. Kedatangan Arya ke sana bukan untuk menemani sang ibu, melainkan karena ada hal lain.

Tentu saja tidak jauh-jauh dari perjodohan, mengingat bagaimana mama Arya sering kali membahas soal pasangan saat di rumah. Wajar saja seorang ibu memiliki kekhawatiran untuk anaknya, apalagi Arya adalah anak tunggal di keluarganya.

Arya juga tak menyalahkan sang ibu, ia justru memaklumi dan sebenarnya merasa iba pada kedua orang tuanya. Hanya saja, Arya belum siap, ditambah lagi di hatinya masih bersemayam satu nama yang tak kunjung pergi dari sana.

"Gimana, Sayang? Mau 'kan?" Sosok di ujung telepon sana rupanya menunggu dengan harap-harap cemas akan keputusan sang putra.

Demi membahagiakan ibunya, demi tak membuat wanita itu merasa kecewa, akhirnya Arya pun setuju meski dengan hati terpaksa.

"Oke, Ma. Nanti Arya bakal datang, kabari aja waktu dan tempatnya."

"Wah, senangnya mama. Oke, nanti mama kabarin lagi ya. Terima kasih, kamu sudah menyempatkan waktu di sela-sela kesibukan kamu."

Arya menyunggingkan senyum samar mendengar penuturan sang ibu, bagaimana ia tidak menyayangi serta menghormati wanita itu. Sosoknya yang penyayang serta bertutur kata lembut, membuat Arya tak sanggup jika harus mengukir kecewa di hatinya. Malaikat tanpa sayap yang sudah melahirkannya ke dunia.

"Iya, Ma."

Telepon akhirnya ditutup, Arya kembali menyimpan benda elektronik tersebut ke dalam saku. Sejenak, ia merenung memikirkan pergolakan batin dan logika dalam dirinya.

Akalnya berkata bahwa pria itu harus memikirkan tentang kesiapan hatinya, sedangkan batinnya mengatakan bahwa, jika ia menyayangi sang ibu, maka ia tak boleh mengecewakan wanita itu.

"Jalani ajalah, siapa tahu jodoh." Arya berucap lirih sambil menggigit bibir bawahnya. Entah mengapa kalimat yang baru saja terlontar tersebut sangat membuatnya ragu. Ia sedang membohongi dirinya sendiri.

Tepat pukul dua belas siang, Arya mendapat telepon dari mamanya. Memberitahu pria itu bahwa sang ibu sudah mengirimkan lokasi, tempat di mana mamanya tersebut akan bertemu dengan sahabat lamanya.

Arya harus bersiap, dan segera berangkat ke sana. Ia tak mau membuat wanita yang disayanginya menunggu terlalu lama.

Arya melangkah keluar dengan gagahnya, pria berambut klimis itu berjalan melewati meja sang sekretarisnya, sejenak Arya melirik sekilas ke arah Andine, rupanya gadis itu sedang sibuk bermain ponsel dengan posisi kepala menunduk.

Wajar saja, karena memang sudah masuk waktu istirahat.

Arya tidak menegurnya, ia kembali meneruskan langkah.

"Pak Arya!"

Ayunan kakinya langsung terhenti begitu mendengar suara yang begitu familiar di telinganya ternyata memanggil. Itu suara Andine, Arya bergegas menoleh dan melihat sosok berwajah manis itu berdiri dan menatap ke arahnya.

Andine bergegas melangkah mendekati pria itu, "Temen-temen lain ngajakin makan siang bareng, Pak. Di resto yang baru buka di depan kantor kita itu. Semua di ruangan ini pada ikut, Pak. Bapak mau ikut?" tawar perempuan bertubuh langsing itu, ia bahkan menyunggingkan senyum lebar ke arah sang bos dengan manisnya.

Arya terpesona untuk beberapa lama, pria itu kemudian membalas senyum Andine dengan sorot mata menyiratkan sebuah ketulusan.

Betapa indahnya ciptaan Tuhan yang satu ini, batin Arya mengagumi sosok Andine. Sungguh, ingin sekali ia ikut agar bisa bersama dengan sekretarisnya yang satu ini. Namun, Arya sudah janji pada mamanya akan segera datang.

Apa yang harus dipilihnya?

"Memangnya kalau saya ikut, yang lain tidak keberatan?" tanya Arya sedikit ragu. Karena biasanya, para pekerja tidak akan mau bergabung dengan bos mereka andai bukan urusan resmi. Mereka bisa saja tak nyaman atau canggung satu sama lain.

Andine menggeleng pelan dengan penuh percaya diri, "Bahkan mereka yang meminta saya untuk mengajak, Bapak ikut," jawab Andine kemudian.

Bersambung.

下一章