webnovel

Titipan Eyang

CHAPTER 24 : Titipan Eyang

Sudah tiga minggu berlalu, semenjak aku meminta David dan temannya melakukan rencana yang kukatakan. Hari ini, adalah hari terakhir aku berada dirumah. Aku memutuskan untuk seterusnya berada di kost, agar bisa lebih fokus dalam menyelesaikan kasus Rara.

"Kok kamu jadi jarang pulang sih Ram." ucap Ibuku dengan raut wajah khawatir. "Emangnya gak kangen sama mama apa?" lanjutnya

"Bukannya gak kangen ma, tapi emang udah mau masuk kuliah lagi." jawabku pelan.

"Bukannya masih ada satu mingguan lagi liburnya?" tanya ibuku sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Iya sih ma... tapi ada urusan buat bantuin temen juga disana." jawabku sambil menggaruk-garuk rambut.

Melihat responku yang canggung, ia pun berkata "Asal jangan sampe macem-macem ya disana." ucap Ibuku mewanti-wanti.

"Iya ma... Rama gak bakal macem-macem kok." ucapku, walau sebenarnya aku sadar, bahwa kemungkinan aku akan melibatkan diriku dengan sesuatu yang berbahaya kedepannya.

"Hati-hati ya disana... makan yang teratur... jangan begadang." ucap ibuku lembut sambil memelukku dengan erat.

Tiba-tiba Ayahku memberiku sebuah kotak kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan perhiasan.

Aku hanya diam sambil memandang Ayahku dengan tatapan bingung, layaknya sedang bertanya-tanya, apa isi dari kotak kecil itu.

"Buka..." ucap Ayahku singkat sambil menjulurkan kotak itu kearahku.

Spontan aku langsung mengambil kotak kecil itu, lalu membuka pelan penutupnya. Yang ada dipandanganku saat itu adalah sebuah gelang emas dengan dua kepala naga diujungnya. Jika kuperhatikan, gelang itu tampak antik serta menyimpan energi yang sangat halus. Getaran yang kurasakan dari gelang itu sangat lembut dan sulit dideteksi.

"Itu titipan dari Eyang untuk kamu. Jadi jangan sampai hilang, apalagi sampai dijual, bisa-bisa kualat kamu nanti." ucap Ayahku dengan serius.

Aku terdiam seketika, sebab aku merasa terharu akan perhatian yang diberikan oleh Eyangku, bahkan di akhir hayatnya, dia masih menitipkan sesuatu kepadaku.

"Eyang ada ngasih pesan atau semacamnya gak pak? Selain dari titipan gelang ini." tanyaku penasaran.

"Ada... Tapi kamu belum perlu tau, nanti bapak bakal cerita kalau kamu udah siap." jawab Ayahku mencoba untuk mengelak.

Aku pun menyerah, karena aku tau akan watak keras kepala Ayahku. Walau beribu-ribu kali kubujuk, dia tak akan mengubah pikirannya. Sebab dia juga tidak suka dipaksa dan hanya mau melakukan sesuatu sesuai keinginannya saja.

"Yaudah deh, Rama pergi dulu ya." ucapku kepada Ibu dan Ayahku. Lalu aku memasukkan kotak yang berisikan gelang itu ke dalam tasku. Setelah itu, aku pun melangkah keluar dari rumah, disana sudah ada Steven yang sedang berdiri menungguku.

"Pamit dulu ya om... tante..." ucap Steven sambil menundukkan kepalanya.

"Iya... hati-hati ya." ucap Ibuku. Sedangkan Ayahku hanya diam dan mengangguk pelan ke arah Steven.

Aku pun melambaikan tangan ke orangtuaku sesaat, lalu masuk ke dalam mobil Steven.

"Lets go mamen!" ucap Steven dengan semangatnya.

Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang tak pernah bisa tenang. Di sepanjang perjalanan, kami bercanda ria sambil memutar musik agar suasana bisa lebih hidup.

"Melissa masih dikamar lo Ram?" tanya Steven.

"Kagak, kemarin dia baru pindah ke sebelah kost-an kita." jawabku

Steven menatapku heran, lalu bertanya "Kostnya Adel?"

"Iya..." ucapku dengan canggung.

Tiba-tiba ponselku berbunyi, tanda ada pesan yang masuk. Aku spontan langsung mengeceknya.

14.00 - David : Gw sama Bagas udah ngelakuin semua apa yang lo suruh dan ternyata hasilnya berjalan sesuai dengan rencana lo.

14.02 - David : Bagas cerita, kalau Dipa sama Yudha sekarang lagi paranoid, mereka berdua bahkan ga berani tidur dirumahnya sendiri. Bahkan waktu tidur di hotel, katanya mereka digangguin setan mulu.

14.05 - David : Ujung-ujungnya mereka jadi tidur didalam mobil berduaan. Itu pun katanya mereka tidurnya gak nyenyak sama sekali karena dapat mimpi yang aneh-aneh terus. Info ini gw dapat karena mereka habis curhat sama Bagas kemarin malam.

14.06 - Rama : Malam ini, lo sama Bagas datang ke lokasi biasa.

14.08 - David : Ok, gw bakal datang jam sembilan kayak biasa.

14.09 - Rama : Ok sip.

"Lo lagi balas chat siapa Ram?" tanya Steven penasaran.

"David." jawabku singkat.

"David? Mantannya Riska?" ucap Steven dengan heran sambil menatapku layaknya sedang bertanya-tanya.

"Iya Ven. Gw lagi kerjasama bareng dia." balasku datar.

Steven mengernyitkan dahinya lalu bertanya, "Kok bisa? Bukannya lo musuhan sama dia ya?"

"Gw butuh bantuan dia buat nolong hidup orang Ven. Menurut gw nyawa lebih berharga ketimbang rasa emosi dan ego sesaat." ucapku perlahan.

"Emangnya lo mau nolong siapa Ram?" tanya Steven lagi.

"Temennya Melissa, namanya Rara." jawabku.

"Terus masalahnya apa? Masalah kesehatan atau apaan?" tanya Steven.

Aku pun mulai menceritakan permasalahannya, dari awal mula Melissa yang ada di club, sampai dengan kisah Rara yang dijebak oleh kedua pria yang bernama Dipa dan Yudha.

"Gila... lo yakin sanggup buat ngurusin masalah segede gitu Ram?" tanya Steven dengan ragu.

Aku memandang kosong kearah depan lalu berkata,"Kalo masalah yakin sih masalah belakangan Ven, yang penting gw sebisa mungkin untuk berusaha bantuin mereka dulu." jawabku.

"Gw takutnya lo bakal kena imbasnya Ram. Soalnya itu udah termasuk masalah kriminal. Salah dikit, nyawa lo bisa jadi taruhannya." ucap Steven khawatir.

"Tenang aja Ven. Gw cuma berperan sebagai orang yang ada dibalik layar doang kok. Yang jadi pemeran utamanya itu si David." balasku sambil tersenyum santai.

"Widih... gaya ngomong lo udah kaya sutradara aja. Tapi lo cocoknya jadi sutradara film bokep sih, hahaha." ejek Steven sambil tertawa terbahak-bahak.

"Otak lo doang tuh yang isinya bokep semua." balasku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

Aku diam sejenak, lalu bertanya dengan nada yang canggung, "Omong-omong, gw boleh minta tolong gak Ven?"

Steven menatapku dengan bingung, lalu berkata "Minta tolong apaan emangnya?"

"Minta tolong supaya lo nyamar." balasku.

"Nyamar? Nyamar jadi apaan?" tanya Steven dengan heran.

"Jadi dukun." jawabku tiba-tiba.

Steven secara spontan menginjak rem, sampai-sampai aku hampir terhempas dari jok mobil. Untung saja aku telah memasang sabuk pengaman. Saat aku mengecek kebelakang, untungnya tidak ada kendaraan lain yang sedang berada dibelakang kami. Jika iya, sudah pasti telah terjadi kecelakaan akibat kecerobohan kami berdua.

Steven menatapku dengan mata yang membelalak lalu bertanya dengan pelan, "Lo lagi bercanda kan?"

"Menurut lo gimana?" tanyaku balik.

"Gw gak bisa Ram, apalagi kalo berhubungan sama yang ghoib-ghoib gitu." jawab Steven cepat, sebab aku tau bahwa dia masih menyimpan trauma dari tragedi pelet dulu.

"Lo tega Ven? Ngeliat Rara disiksa sama mereka berdua? Apa lo tega ngeliat Rara sampai bunuh diri nantinya?" tanyaku bertubi-tubi, berusaha untuk mengambil rasa simpati darinya.

"Ya maksud gw bukan gitu juga Ram..." ucap Steven panik. "Apa ga ada cara yang lain buat bantuin dia?" tanya Steven lesu.

"Ga ada Ven... ini satu-satunya cara yang bisa gw pikirin buat nangkep mereka berdua, tanpa harus menyebarkan aib itu ke publik dan keluarga Rara nantinya." jawabku dengan lesu, walau sebenarnya itu hanya akting agar Steven bisa percaya.

"...." Steven pun terdiam lesu. Jarang-jarang dia memasang ekspresi seperti itu didepanku, sebab setauku, selama ini dia hanya memasang ekspresi itu saat berhadapan dengan hal yang dia takuti saja.

"Tapi kalo lo gabisa gapapa deh Ven, gw ga mau maksa lo juga." ucapku sambil menepuk pundaknya.

"Kapan?" ucap Steven tiba-tiba.

"Maksudnya?" tanyaku seolah-olah tidak mengerti akan maksudnya.

"Lo pura-pura lagi... gw batalin nih." ucap Steven dengan kesal.

Senyum kemenangan pun muncul dibibirku, "Minggu ini Ven." balasku cepat-cepat.

"Entar gw kabarin lagi lebih jelasnya." ucapku sambil menepuk-nepuk pundaknya.

"Terus?" tanya Steven sambil menaikkan salah satu alisnya.

"Apaan?" tanyaku balik karena kebingungan.

"Makasihnya mana?" tanya Steven dengan ekspresi angkuhnya.

"Makasih tuan muda Steven." ucapku sambil menundukkan kepalaku.

"Cuma gitu aja?" balas Steven dengan senyuman jahilnya.

"Makasih tuan muda Steven yang ganteng dan juga tajir melintir." ucapku lagi dengan senyuman palsu yang terpaksa.

"Nah gitu dong." balas Steven puas.

Setelah berhasil membujuk Steven dengan susah payah, aku pun melanjutkan rencanaku selanjutnya, yaitu dengan menghubungi Putra. Tapi karena dia adalah orang yang sibuk, aku memutuskan untuk mengirim pesan terlebih dahulu.

14.36 - Rama : Minggu ini lo ada waktu kosong gak Put?

14.36 - Putra : Emangnya ada apaan Ram?

14.37 - Rama : Gw mau ngomong sesuatu sama lo. Kalo dijelasinnya lewat telpon bakal susah. Jadi gw langsung ketemu lo aja, supaya lebih enak.

14.40 - Putra : Yaudah Ram, besok aja ketemuannya. Soalnya gw lagi ada pasien hari ini.

14.41 - Rama : Oke put, makasih banyak ya.

Aku menutup ponselku, "Semoga bisa berjalan sesuai rencana." ucapku dalam hati.

***

Malam ini, sesuai dengan perjanjian, aku, David dan Bagas bertemu di lokasi yang sama pada jam sembilan.

Sesampainya di lokasi, David dan Bagas sudah menungguku dengan santai disana. Tampaknya mereka tidak was-was lagi, seperti pertemuan sebelumnya.

"Rencana selanjutnya apaan nih?" tanya David penasaran. Berbeda dari yang sebelumnya, sepertinya dia sudah cukup mempercayaiku sekarang.

"Lo siapin kamera pengintai buat ngerekam mereka." jawabku, sebab aku mengetahui bahwa David memiliki kemampuan finansial yang tinggi. Jadi menurutku, itu adalah hal yang mudah baginya.

"Emangnya lo mau rekam mereka dimana?" tanya David

"Entar gw kabarin lagi, nanti kita bakal kumpul sama dua temen gw yang lain, buat bahas rencananya." jawabku

David mengangguk pelan, sebagai tanda setuju akan ucapanku.

"Terus buat Bagas... lo harus pura-pura kena santet, sama kayak Dipa dan Yudha." ucapku

"Maksudnya kena santet gimana?" tanya Bagas dengan bingung.

"Lo bilang aja, kalo lo kena gangguan, entah itu dapat mimpi buruk sama ngeliat penampakan makhluk halus. Terus karena takut, lo coba konsultasi sama paranormal kenalan lo, dan ternyata penyebabnya itu karena lo deket-deket sama mereka berdua." jawabku

Bagas mengusap-usap dagunya lalu bertanya, "Hmmm... jadi harus rekomendasiin paranormal ke mereka ya?"

Aku mengangguk sambil tersenyum. Setelah melihat hasil kerjanya, aku mengakui kecerdasan dan kemampuan aktingnya. Tanpa perlu kujelaskan lebih detail, sepertinya Bagas sudah paham akan maksud dan tujuanku.

Aku menatap mereka dengan serius lalu berkata,"Minggu ini kita eksekusi." ucapku dengan pelan.

Bersambung...

下一章