webnovel

MERAYU

Pagi-pagi sekali Melinda sudah bangun dan menyiapkan sarapan pagi. Sengaja ia turun tangan sendiri ke dapur supaya hati Hans senang. Walau bagaimana dia tidak mau kerja kerasnya selama ini sia-sia.

"Tumben ibu masak sendiri," komentar Tania sambil melahap nasi goreng seafood buatan Melinda.

"Kau makan saja, ibu mau mengambil hati ayahmu lagi."

"Ayah masih di kamar kerjanya, bu. Coba ibu rayu, jangan mau kalah dengan perempuan itu, Bu," bisik Tania. Melinda tersenyum, diantara anak-anaknya Tania memang selalu ada di pihaknya. Itulah sebabnya Melinda paling sayang pada gadis remaja berusia 16 tahun itu.

Tak lama setelah semua siap, Mahendra dan Dara tampak memasuki ruang makan bersama Arsea.

"Kau tidur bersama kakakmu, sayang?" sapa Melinda pada Arsea.

"Iya, bu. Semalam aku tidur bersama kak Dara. Aku mau susu dan nasi goreng, Bu."

"Baik, ibu ambilkan."

Melinda langsung melayani putra bungsunya itu. Setelah itu, ia kembali ke dapur dan membuatkan kopi hitam kesukaan Hans dan juga membawakan nasi goreng spesial untuk suaminya serta segelas air putih. Melinda membawanya di atas nampan kemudian ia pun langsung menuju kamar kerja suaminya.

Pintu ruangan kerja Hans tidak terkunci, setelah mengetuk pintu ia pun segera masuk dan meletakkan nampan berisi makanan di atas meja lain di ruangan itu. Hans yang melihat Melinda hanya melirik tanpa bicara kemudian kembali fokus ke layar laptopnya. Ia belum tidur sejak semalam. Hatinya gundah memikirkan apa yang telah terjadi. Penyesalan yang ia rasakan dan juga dugaan-dugaan tentang Melinda.

"Mas, aku membawakan sarapan. Makanlah dulu, aku membuatkan nasi goreng seafood kesukaanmu," kata Melinda sambil memeluk suaminya dari belakang. Urusan rayu merayu Melinda memang jagonya. Dia dulu adalah seorang pemandu karaoke saat mengenal Hans untuk pertama kali.

"Bawa pergi makanan itu, aku tidak sudi memakannya!" kata Hans sambil menepiskan tangan Melinda.

Namun, bukan Melinda namanya jika menyerah begitu saja.

"Mas, ingatkah dulu pertama kali kita bertemu? Kau menceritakan bagaimana kerinduanmu untuk memiliki anak, waktu itu usia kita terpaut jauh. Aku baru 17 tahun saat kau akhirnya memintaku menjadi istrimu. Meskipun aku hanya istri siri, aku tetap mencintaimu dan juga mbak Karina. Dan, kau lihat kan aku bisa mmemberimu banyak anak. Aku tidak pernah marah saat kau membuat akte kelahiran anak-anaknya dengan namamu dan nama Mbak Karina. Aku juga tidak pernah menuntut dinikahi secara resmi karena anak-anak toh mendapatkan status jelas. Dan selama ini aku juga sudah menggurusmu dan anak-anak dengan baik. Apakah kau tidak bisa memaafkan aku untuk satu kesalahan saja? Aku hanya memotong jatah bulanan Mbak Karina karena aku pikir anak yang ada di rumah ini lebih banyak."

"Tetap saja kau salah. Selama ini aku memberimu lebih setiap bulannya, kan? Bahkan aku membuat dua rekening. Satu khusus untuk uang perusahaan dan yang satu uang keuntungan dari perusahaan yang bersih milik kita. Dan keuntungan tiap bulan bisa mencapai 30 juta rupiah. Masih ada 25 juta untuk di rumah ini. Hanya 5 juta yang perlu kau berikan pada Karina dan Gadis!" sentak Hans.

Melinda menghela napas panjang.

"Iya, Mas aku tau salah. Maafkan aku. Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku? Apa kau tau semalam Arsea sampai terbangun gara-gara mendengar teriakanmu? Jangan kau pandang aku, Mas. Tapi, lihatlah anak kita. Dia itu anak hadiah di masa tuamu, Mas. Apa kau tidak kasian padanya jika kita bertengkar seperti ini?"

Hans menatap Melinda. Istri keduanya ini memang masih sangat muda. Usia mereka terpaut jauh, Melinda berusia 17 tahun saat ia nikahi. Sementara waktu itu usianya sendiri sudah 30 tahun. Dan, Hans sudah 10 tahun menikah tanpa anak pada waktu itu. Ia harus mengakui bahwa Melinda juga sudah melahirkan anak-anak yang begitu tampan dan cantik baginya. Sejak dulu Hans memimpikan untuk memiliki banyak anak supaya kehidupannya menjadi lebih berwarna.

"Bawa kemari makanan itu, biar ku makan. Dan tolong siapkan pakaian kerjaku. Aku mau ke kantor. Jika kau memang mencintai aku dan sayang kepada anak-anak kita saat pernikahan Gadis nanti kau harus datang. Dan, kau belikan satu set berlian untuk kau berikan pada Gadis. Anggap saja itu adalah balasan karena selama ini kau sudah mengurangi uang belanja mereka."

Melinda menelan salivanya, dalam hati ia ingin memaki, namun dia ingat misinya untuk merayu suaminya itu.

"Baik, sayang. Siang ini juga aku akan ke toko berlian langganan kita. Aku akan membelikan satu set berlian untuk hadiah pernikahan Gadis. Kau jangan khawatir ya. Aku juga akan datang ke pernikahan Gadis nanti. Kau makan dulu , ya. Aku akan siapkan pakaianmu di kamar."

"Iya."

Nada bicara Hans sudah kembali melunak, dan itu membuat Melinda bahagia. 'Memang dasar tua bangka. Untung saja aku memiiki banyak anak darinya,' maki Melinda dalam hati. Ia pun segera meletakkan makanan di atas meja kerja Hans kemudian langsung keluar dan menuju ke kamar untuk menyiapkan pakaian kerja suaminya itu. Biarlah dia harus keluar uang untuk membeli berlian, yang penting apa yang ia mau akan tercapai pada akhirnya.

Setelah selesai dengan urusannya Melinda pun kembali ke ruang makan. Ia tidak melihat Mahendra. Hanya tinggal Dara dan Tania juga Arsea di meja makan.

"Ke mana kakak kalian?" tanyanya.

"Mas Hendra sudah pergi bekerja, Bu. Apa dia tidak pamit pada Ayah dan Ibu?" kata Dara.

"Kalau dia pamit aku pasti tau. Kapan wisudamu, Dara?"

"Bulan depan, Bu. Dan setelah itu aku bisa melamar pekerjaan."

"Apa? Melamar pekerjaan? Kau bisa bekerja di perusahaan ayahmu! Untuk apa kau bekerja di perusahaan orang lain!" hardik Melinda.

"Tapi, Bu. Meskipun itu perusahaan Ayah, bukankah lebih baik kalau aku bekerja di perusahaan orang lain. Supaya tidak dianggap memanfaatkan harta orang tua."

"Lalu, untuk apa Ayahmu membuang uang untuk membiayai kuliahmu jika pada akhirnya kau memakai kepandaian otakmu untuk perusahaan orang lain?!" hardik Melinda kesal.

"Untuk hal ini, Ibumu benar, Dara. Kau bekerja di perusahaan Ayah saat kau sudah wisuda nanti. Kau tetap akan melewati tes seperti karyawan biasa. Hanya saja, jabatanmu tentu akan disesuaikan sebagai putriku."

Melinda menoleh pada Hans yang tampak berjalan mendekat. Dengan penuh sayang ia memeluk Arsea. Ya, Arsea adalah si bungsu kesayangan Hans.

"Tuh, Ayahmu saja setuju jika kau bekerja di perusahaan."

"Lagi pula, ayah sudah tua, Dara. Jika bukan anak-anak ayah, siapa lagi yang akan melanjutkan bisnis yang sudah lama ayah bangun?"

下一章