webnovel

Rezeki tidak kemana

Suasana hati Reno senang sekali, karena untuk pertama kalinya Sigit mengajak dirinya untuk jalan-jalan. Karena hubungan mereka sebatas murid dan guru, tentu ini jarang sekali terjadi. Maka dari itu, Reno tidak bisa menyembunyikan senyumannya yang lebar itu.

"Kenapa senyum-senyum terus?" Sigit terheran karena Reno tidak berhenti tersenyum kepadanya.

"Seneng Pak, aku seneng banget diajak Pak Sigit jalan-jalan" jawab Reno.

"Sebenernya saya udah mau ngajak kamu jalan-jalan dari dulu Ren, tapi ya kurang enak aja kalau ngajak kamu. Lagian kamu sendiri tau kan kalau ada rumor-rumor yang nggak enak tentang kita berdua?" ucap Sigit.

Senyuman Reno semakin bertambah ketika tau kalau guru olahraganya itu sudah ada niatan mengajaknya jalan-jalan dari dulu. Namun senyuman itu hilang ketika ia mendengar kata rumor yang tidak enak tentang mereka berdua.

Reno tau apa rumor yang dimaksud oleh Sigit. Kalau soal rumor Reno adalah anak Pak Sigit alias murid kesayangan Pak Sigit, itu memang benar adanya. Tapi soal rumor tentang Reno berpacaran dengan Pak Sigit, itu benar-benar mengganggunya.

Bukannya gimana, Reno hanya takut kalau Sigit mengetahui tentang orientasi seksualnya ini, soal dirinya yang diam-diam jatuh cinta kepada Sigit. Ia takut, kalau Sigit akan membencinya dan mereka tidak bisa dekat seperti ini lagi.

Tiba-tiba saja kepala Reno tertunduk. "Maaf" ucap Reno pelan.

Sigit mengerutkan keningnya. "Maaf kenapa? Perasaan kamu nggak ngapa-ngapain?" bingung Sigit.

"Karena aku sering bantuin Pak Sigit, jadinya rumor itu ada. Maaf kalau karena itu Pak Sigit jadi terganggu" jawab Reno.

Terdengar suara tertawa dari Sigit, yang membuat Reno menaikkan lagi kepalanya dan melihat ke wajah Sigit. Reno cemberut, sementara Sigit tersenyum lebar.

"Kalau saya terganggu, kenapa saya terus minta bantuan kamu? Kalau saya terganggu, kenapa saya minta kamu tetap jadi penanggung jawab pelajaran saya? Kalau saya terganggu, kenapa saya terang-terangan menunjukkan kalau kamu murid kesayangan saya?"

Perkataan Sigit membuat Reno terdiam menatapnya kagum. Tidak salah kalau dirinya memang mengagumi sosok yang sedang saling tatap dengannya sekarang.

"Julukan atau rumor yang bilang kalau kamu anak saya, itu bukan masalah sama sekali. Karena gimana pun juga kamu murid kesayangan saya, kamu udah saya anggap sebagai anak saya sendiri" jelas Sigit.

Reno terbengong, mulutnya membentuk huruf 'O' mendengar perkataan Sigit barusan.

"A-aku, a-anaknya Pak Sigit?" ucapnya gagap.

"Ya, saya nganggepnya gitu. Emangnya kamu nggak mau punya bapak kayak saya?" goda Sigit.

Mendengar itu, kembali senyuman Reno mengembang. Pipinya memerah karena melihat senyuman indah milik Sigit. Segera Reno memeluk lagi tubuh Sigit dengan mengalungkan kedua tangannya di leher kokoh milik Sigit dan membenamkan wajahnya di leher Sigit.

"Mau lah Pak, siapa yang nggak mau jadi anaknya Pak Sigit coba?" jawab Reno, yang masih bersembunyi di leher Sigit.

"Yaudah, mulai sekarang kamu anak saya. Anggap aja saya wali kamu di sini" sahut Sigit. Reno mengangguk, menuruti perkataannya.

Sigit memang tau banyak tentang Reno, tak lain karena Reno sering bercerita kepadanya. Meski semua itu perlu banyak pertanyaan agar Reno mau bercerita kepadanya.

Bagaimana pun juga Reno tau kalau Sigit itu adalah gurunya, atau lebih tepatnya adalah guru yang dicintainya. Makanya ia selalu menjaga, agar jati dirinya tidak diketahui oleh Sigit.

"Nggak mau turun? Kapan jalan-jalannya kita kalau kamu peluk saya terus?" ucap Sigit.

Reno yang tersadar langsung menarik kepalanya dari leher Sigit, lalu menatapnya ragu karena ia malu sekaligus takut. "Eh iya, ma-maaf Pak, hehe." Reno cengengesan lalu turun dari Sigit yang masih menggendongnya.

"Pak Sigit pergi pake baju apa kalau aku pake baju Pak Sigit? Baju aku kan basah, nggak muat juga kalo dipake Pak Sigit" bingung Reno.

"Saya pake singlet Ren, tenang aja" balas Sigit tanpa menengok ke Reno.

Dengan cepat Sigit meraih singlet berwarna hitam yang ia gantung bersamaan dengan kaos tadi yang sekarang dipakai oleh Reno. Kemudian ia berbalik, menatap Reno dengan senyum maskulinnya.

Yang ditatap menatap balik, memperhatikan singlet yang cukup ketat melekat di tubuh Sigit. Dada bidangnya tercetak jelas, otot lengannya terlihat dengan jelas, membuat Sigit menjadi lebih seksi dari sekedar memakai kaos biasa.

"Nanti saya boleh mampir ke kost kamu dulu? Saya mau numpang mandi, sekalian nitip barang-barang kita. Biar jalan-jalannya nggak banyak bawaan" usul Sigit.

"Boleh Pak, boleh banget. Yaudah, aku bantuin beres-beres ya Pak" jawab Reno, yang dianggukkan oleh Sigit.

~ ~ ~

Dengan mengendarai motor mereka masing-masing, mereka memasukkan motor mereka ke tempat parkir di tempat kost Reno. Membawa barang bawaan masing-masing, mereka berdua berjalan menuju ke kamar kost Reno.

"Assalamualaikum" ucap Reno, setelah pintu kamar kostnya terbuka. Meski tidak ada orang di dalam, Reno sudah terbiasa mengucap salam seperti itu. "Mari Pak, masuk" ucap Reno, mempersilakan Sigit masuk.

Sigit menjawab hanya dengan senyumnya, lalu masuk ke kamar kost Reno untuk pertama kalinya.

"Maaf ya Pak kalau berantakan" ucap Reno lagi.

"Berantakan dari mana? Rapih begini." Begitulah yang dilihat oleh mata Sigit, kamar kost Reno terlihat sangat rapih. Apalagi untuk kamar seorang laki-laki, Sigit cukup terkagum dengan kamar yang tertata dan tidak acak-acakan.

Setelah melihat kursi, Sigit menjatuhkan bokongnya lalu duduk di sana. Terlihat ia sedang membuang napas beratnya sambil menyandarkan dirinya ke sandaran kursi itu.

"Ini Pak diminum dulu." Reno membawa segelas air putih untuknya, meletakkan gelas itu di meja yang berada tepat di samping Sigit.

"Terima kasih Ren." Sigit mengambil gelas itu, lalu meneguk air dalam gelas itu sampai tak tersisa. Lalu ia kembali menyandarkan tubuhnya di kursi tadi.

"Mau tambah lagi Pak?" tanya Reno.

"Nggak usah Ren, udah cukup kok" jawab Sigit.

Reno terdiam melihat Sigit yang sedang bersandar di kursi sambil memijat keningnya sendiri. Pemandangan ini sangat tidak asing baginya.

Seketika Reno teringat kepada ayahnya, yang sering berposisi persis seperti Sigit sekarang ini. Ia tau, kalau ayahnya berposisi seperti itu menandakan kalau ayahnya sedang kelelahan.

"Pak Sigit capek ya? Mau aku pijitin?" usul Reno, karena ia merasa tidak enak melihat guru kesayangannya itu kelelahan.

"Lumayan capek Ren. Abis ngajar ekskul, harus ngisi banyak data juga kan tadi. Nggak usah pijitin saya Ren, saya nggak mau repotin kamu." Sigit menjawab tanpa melihat ke arah Reno, ia masih memijat lembut keningnya sendiri.

"Kayak sama siapa aja Pak. Tadi kata Pak Sigit, aku anaknya Pak Sigit? Masa anak nggak boleh bantuin ayahnya?" Reno tersenyum simpul ke arah Sigit yang sudah melihat ke arahnya.

Reno tidak ada maksud apa-apa, ia benar-benar khawatir dan merasa terganggu melihat guru kesayangannya itu tidak fit. Mungkin karena ini pertama kalinya Reno melihat Sigit kelelahan, makanya ia khawatir.

"Ayo Pak. Sini ke kasur aja, sekalian Pak Sigit istirahat sebentar" ucap Reno. Sigit pun bangkit, lalu berjalan ke kasur bersamaan dengan Reno.

Dengan tubuh yang tengkurap, Sigit sudah menempelkan tubuhnya di kasur Reno. Ia memeluk sebuah bantal, sambil matanya terpejam karena kelelahan.

"Tuh kan Pak Sigit capek. Yaudah, jalan-jalannya agak sore aja Pak, aku nggak mau Pak Sigit kecapean karena aku."

Tiba-tiba saja Sigit membuka matanya lalu duduk berhadapan dengan Reno. Mata mereka sama-sama mantap lekat, dengan jarak yang berdekatan. Kaki mereka juga saling bersentuhan, karena memang kasur yang diperuntukkan untuk satu orang.

Semakin lama, wajah Sigit semakin mendekat ke wajah Reno. Hembusan napas mereka sudah bisa mereka rasakan di wajah masing-masing. Hingga...

Cup...

Mata Reno terbelalak, jantungnya berdebar lebih cepat lagi dari sebelumnya. Ia tidak percaya, karena Sigit baru saja memberinya sebuah kecupan. Meski, itu hanya di keningnya, bukan di bibirnya.

"Makasih karena sudah mengkhawatirkan saya, baru kali ini saya merasa senang dikhawatirkan seperti itu." Sigit tersenyum, menatap Reno yang sedang terbengong karena kecupannya baruan. "Yaudah, saya numpang mandi dulu ya Ren?" sambung Sigit.

Yang ditanya tidak menjawab, karena pikirannya masih melayang entah kemana. Membuatnya tidak mendengar apa yang barusan diucapkan oleh lawan bicaranya itu.

"Kebiasaan, kalau diajak ngomong bengong terus." Sigit bangkit dari duduknya lalu mengusap lembut kepala Reno, membuatnya tersadar dari lamunannya.

Ketika Reno menengok ke belakang, Sigit sudah membuka singletnya dan digantung ke salah satu cantolan di sana. Lalu terdengar suara cucuran air shower dari arah kamar mandi, yang tandanya kalau Sigit sedang membersihkan dirinya di dalam sana.

Pikiran kotor tiba-tiba masuk ke kepala Reno. Ada rasa penasaran di dalam hatinya, penasaran seberapa besar alat kelamin milik guru olahraganya itu. Napasnya mulai memburu, hatinya berdebar-debar tidak karuan, membuatnya membulatkan tekad untuk mengintip orang yang sedang mandi itu.

Namun sayang, kamar mandi tertutup rapat sekali. Pintu yang digunakan untuk kamar mandi juga pintu berkualitas, sehingga tidak ada sedikitpun celah untuk mengintip.

"Huft..." Reno membuang napas gusar, lalu meneguk segelas air putih untuk menjernihkan pikirannya. "Mungkin nggak ditakdirkan buat liat anunya" batin Reno.

Pandangan Reno melihat ke arah kaos singlet milik Sigit yang digantung di samping pintu kamar mandi, lalu ia melihat ke arah tubuhnya yang masih memakai kaos olahraga milik gurunya itu. Lalu ia teringat, kalau habis mandi pasti perlu handukan. Jadi Reno mengambil handuk bersih miliknya lalu menggantungnya di sebelah singlet tadi.

"Pak Sigit, handuknya di sebelah singlet Pak Sigit ya!" teriak Reno agak keras.

"Ya!" balas Sigit dari dalam kamar mandi.

Sambil menunggu, Reno mencari baju bersih untuk dipakai oleh gurunya itu. Ia tau kalau Sigit tidak membawa pakaian ganti, jadi ia menyiapkan kaos polos dan celana panjang yang kebesaran untuknya. Reno meletakkan baju itu di sebuah meja kecil tepat di bawah handuk tadi.

Reno berjalan ke arah kasurnya tadi, lalu merobohkan tubuhnya di atas kasur yang sangat empuk itu. Matanya terpejam, saat aroma maskulin tubuh Sigit tertinggal di bantalnya itu. Ditambah lagi Reno memakai bajunya yang tadinya sangat basah oleh keringat, sehingga aromanya menambah pekat dan tak kunjung hilang di hidungnya.

Namun beberapa saat kemudian, mata Reno terpejam dengan sendirinya. Tubuhnya yang lelah dan udara dingin karena AC di kamarnya membuatnya sangat mengantuk. Kurang dari tiga menit, ia benar-benar sudah terlelap.

Pintu kamar mandi terbuka, terlihat Sigit keluar dari kamar mandi tanpa sehelai benang pun. Kejantannya yang berukuran besar dan berwarna gelap terlihat sangat jelas, begitupun dengan tubuhnya yang masih basah karena air.

Sigit mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang sudah disediakan Reno tadi. Setelah tubuhnya lumayan kering, ia melilitkan handuk itu di pinggangnya.

"Kamu ada baju yang agak lebar Ren? Boleh saya pinjem?" tanya Sigit. Tak terdengar ada jawaban dari Reno, membuat Sigit berjalan lalu menoleh ke arah dimana harusnya Reno berada.

Senyum Sigit mengembang, saat melihat murid kesayangannya itu tertidur dan mendengkur. Perlahan ia mendekati Reno yang tertidur pulas, lalu mengusap lembut kepalanya.

Kembali ia ke dalam kamar mandi untuk mengambil celana dalam boxer yang dipakainya tadi, untuk dipakai lagi karena belum ada gantinya. Lalu Sigit duduk kembali di kursi tadi, memejamkan matanya dan beristirahat sebentar sambil menunggu Reno bangun dari tidurnya.

* * *

下一章