webnovel

Menyamar jadi Tentara

Allice hanya memperhatikan, karena ia tahu itulah tujuan utama Claretta ingin ke Geneva.

"Terakhir, kabar yang kakek dengar Brixton dibawa oleh pamannya entah ke mana. Tak ada kabar lagi setelah itu," jawab Lucas dengan wajah sedih.

Ia ingat sekali ketika terakhir bertemu dengan Brixton. Saat itu ia sedang mencari makanan untuk dimakan bersama istrinya.

Brixton yang berbaju lusuh dan kecil diseret seorang pria tinggi besar. Ia berusaha melepaskan cengkraman pria itu tapi tenaganya tak cukup kuat. Ia terus diseret sampai akhirnya menaiki mobil dan entah ke mana.

Baru setelah itu, Lucas tahu kalau itu paman Brixton saat bertemu secara diam-diam dengan kawan-kawannya di CERN.

"Jadi, Brixton sudah benar-benar tak ada di Geneva?" tanya Claretta yang masih ingin tahu soal keberadaan sahabat masa kecilnya itu.

"Kakek belum mendengar kabarnya lagi. Itu kabar terakhir yang kakek dengar, karena ayahnya pun meninggal dan tidak pernah bertemu lagi di laboratorium," jawab Lucas apa adanya.

"Ya sudah, Kek. Tak apa," ujar Claretta, ia tak ingin membuat kakeknya sedih dengan rasa ingin tahunya.

Mereka kemudian mengobrol hal-hal ringan dan menyenangkan. Allice memang pandai mengambil hati mertuanya. Ia ramah dan pandai bicara, kebalikan dari anaknya yang mirip Crish —suaminya.

Setelah malam larut, barulah mereka ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Claretta masih belum bisa terpejam di kamarnya. Ia hanya menatap langit-langit sambil memikirkan keberadaan Brixton.

Setahunya keluarga Brixton asli dari daerah Geneva. Maka, kemungkinan pamannya masih berada di sekitar sana. Mungkin hanya beda daerah saja.

Entah pukul berapa ia akhirnya tidur dan terbuai dalam mimpi.

*******

Keesokan paginya, Claretta bangun saat bias sinar matahari telah masuk di sela-sela gorden kamarnya.

Ia segera ke kamar mandi untuk menyegarkan diri yang baru bangun tidur. Di dapur Allice dan Neela telah sibuk menyiapkan sarapan.

Setelah selesai berganti baju dan mengoleskan skincare di wajahnya. Terdengar suara ketukan pintu yang bisa dipastikan itu adalah ibunya.

Claretta segera membukakan pintu. Nampak wajah semringah Allice di ambang pintu.

"Wah, sudah cantik putriku. Ayo, sarapan dulu, semuanya sudah siap untuk Tuan Putri," ajak Allice pada Claretta saat pintu terbuka.

"Oke, Ma." Claretta menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk O. Ia kemudian mengikuti langkah ibunya menuju ruang makan.

Neela memang tak menggunakan jasa pembantu, karena urusan makanan Lucas agak rewel. Beberes pun tak sulit karena tak ada anak kecil yang membuat berantakan. Terkadang ia juga memanggil jasa pembersih ruangan dan mencuci baju di laundry.

Mereka sampai di ruang makan yang terlihat estetik itu. Meja makan berbahan kayu yang dipelitur. Juga lukisan bergambar ikan di dinding ruangan. Membuat suasana makan terasa berada di restoran mewah zaman dulu.

Selesai makan, Claretta izin untuk berjalan-jalan di sekitar Geneva. Lama tak berkunjung, ia ingin melihat-lihat daerah sana.

"Jangan terlalu jauh. Ada penjagaan setiap desa. Jadi, kalau hendak keluar desa tanpa keperluan kamu akan langsung dipulangkan," tutur Lucas menerangkan keadaan Geneva sekarang.

Claretta mengernyit, bagaimana mungkin ia bisa mencari tahu soal Brixton jika keluar desa saja tak boleh. Pantas saja saat masuk desa, mobil travel yang ia naiki dicegat. Supir lalu memperlihatkan sebuah kertas pada penjaga.

"Baik, Kek. Aku pergi dulu ya, Nek, Ma," pamit Claretta akhirnya.

Ia keluar rumah dan menyusuri halaman untuk bisa keluar pagar. Suasana di luar rumah kakeknya rupanya benar-benar berubah. Tak ada orang lalu lalang seperti biasanya. Karena yang keluar hanya yang berkepentingan saja.

Claretta menyusuri jalanan yang kosong itu. Daya tarik desa Eropa itu seakan hilang entah ke mana. Taman yang biasanya ramai canda anak-anak dengan para pengasuh mereka pun kini sepi. Tamannya masih terlihat rapi, mungkin ada petugas kebersihan yang selalu membersihkan.

Ia terus berjalan hingga tak terasa sepuluh meter di depan, ia akan sampai di ujung desa. Tampak beberapa orang berseragam tentara berjaga di sana. Mereka kelihatan santai sambil duduk-duduk di kursi. Mungkin saking sudah jarangnya orang keluar rumah tanpa kepentingan.

Di jalanan besar pun hanya ada satu dua tentara yang berjalan ke sana ke mari untuk berjaga.

'Berarti aku harus menjadi tentara untuk bebas ke mana-mana,' gumam Claretta dalam hati.

Ia kemudian pergi ke sebuah laundry yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengendap-ngendap ke belakang bangunan itu. Rupanya tempat menjemur pakaian ada di lantai tiga sekarang. Dulu, seingatnya ketika kecil, tempat menjemur pakaian ada di belakang bangunan.

Tentu saja banyak berubah. Itu sudah belasan tahun lalu. Ketika ia masih kecil sekali.

'Jika pulang aku pasti tak bisa keluar lagi dari rumah kakek. Bagaimana aku bisa memanjat ke lantai tiga tanpa tali?' Claretta menatap ke atas.

Memikirkan cara untuk naik ke lantai tiga laundry tersebut. Ia yakin salah satu jemuran itu adalah baju tentara. Bahkan mungkin banyak. Ia menyentuh dinding luar bangunan itu. Beton, tak mungkin bisa di naiki seperti naik tebing.

"Pasti ada cara, pasti," gumam Claretta pelan sambil melihat sekeliling. Siapa tahu ada yang bisa digunakan untuk menaiki bangunan tersebut.

Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah tambang jemuran yang tergeletak di sisi bangunan. Nampaknya tali itu jatuh dari atas. Tapi, merupakan keberuntungan untuk Claretta.

Ia membuat simpul untuk bisa mengikatkan tali pada pagar lantai dua. Menuju lantai tiga tentunya sulit jika melemparkannya sejauh itu. Maka ia dahulukan dengan naik ke lantai dua.

Claretta berusaha melemparkan tali itu agar terkait di pagar lantai dua. Rupanya agak sulit, tapi ia tak menyerah. Berkali-kali mencobanya sampai akhirnya berhasil.

Dengan pelan dan sekuat tenaga ia naik ke atas dengan tali yang dikait itu. Napasnya sedikit tersengal karena kelelahan. Tapi, ia tak mau menyerah. Ia terus naik ke atas.

Saat hampir tiba di atas. Samar ia mendengar suara orang bicara. Khawatir ketahuan akhirnya Claretta menggantung di tali saat hampir sampai di lantai dua.

Setelah dipastikan tak ada lagi orang di sana. Barulah ia naik ke lantai dua. Sekitar lima belas menit ia menunggu. di tali dengan kaki berpijak di dinding luar.

Rupanya lantai dua adalah tempat menyetrika pakaian. Banyak pakaian di dalamnya.

Ceklek, Claretta mencoba membuka pintu balkon itu. Rupanya tak dikunci. Ia pun segera masuk dan mencari baju-baju tentara untuk dipakainya.

Benar saja dugaannya, banyak sekali baju tentara berwarna biru muda di sana. Ia mengambil satu yang pas di badannya. Kemudian segera memakainya.

Lalu, kembali turun dari lantai dua dengan tali yang tadi. Hanya saja kali ini ia ubah posisinya di tempat yang sekiranya tak terlihat.

下一章