webnovel

37. cairan aneh

Dengan sekuat tenaga Abi berenang hingga dekat kapal yang lewat itu. Menerobos air laut yang makin lama makin dingin. Semangatnya menggebu agar dapat mencari bantuan di kapal itu. Tapi tiba-tiba ia berhenti. Saat melihat salah satu penghuni kapal.

"Kallandra?"

Orang yang disebut, seolah mendengar. Ia tengak tengok ke dalam air. Mencurigai kehadiran Abimanyu yang kini sudah berada di dalam air. Bersembunyi. Ia memperhatikan dari bawah air, gerak gerik pria di atas kapal, tapi makin lama Abi memutuskan menjauh. Ia sadar kalau tindakannya tidak dapat diteruskan. Akan berbahaya bagi dirinya dan teman-temannya.

Abi menyelam dan kembali ke pantai. Langkahnya gontai. Tubuhnya lemas karena sekuat tenaga mengejar kapal tadi. Namun ternyata hasilnya sia-sia. Bukannya dia mendapat bantuan, tapi justru mengejar musuhnya. Adi dan Gio mendekati Abi, memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Abi hanya diam hingga ia sampai di pantai, menghempaskan tubuhnya, dan tiduran begitu saja di hamparan pasir putih itu.

"Hei, kau diam saja, anak bodoh?! Bagaimana kapal tadi?" tanya Gio sedikit kesal karena Abimanyu tak menanggapi apa pun.

Abi menatap pamannya itu lalu menggeleng pelan.

"Maksudmu apa?" tanya Gio lagi. Mencecar pemuda yang kini sedang menetralkan nafasnya yang hampir habis.

"Ada Kallandra di kapal itu, paman. Jadi aku kembali ke sini."

Kalimat tadi sangat menohok Adi dan Gio. Pantas saja Abimanyu bersikap seperti tadi. Batin mereka berdua.

"Lebih baik, kau mengeringkan tubuhmu saja. Nanti kau sakit, Bi," suruh Adi.

Abimanyu hanya diam. Kedua tangannya yang bertumpu pada lutut, terus menatap sekitar. Ia meneguk air minum dari Adi. Matanya memincing saat melihat ke bukit di atasnya. Ia melihat sesosok pria berdiri di sana. Pria yang ia kenal baik. Hanya saja sedang apa dia.

"Paman ... Itu, paman Elang?"

Adi dan Gio menoleh ke arah yang Abi tunjuk. Mereka berdua juga melihat Elang yang sedang berdiri menatap ke arah pantai. "Dia kenapa, Di?" tanya Gio pada rekannya.

Adi hanya mengerdikan kedua bahunya. Tapi juga penasaran pada apa yang sedang Elang lakukan. Bahkan keduanya tidak tau kapan Elang berjalan ke atas sana.

"Biar aku yang ke sana," kata Abi, namun Adi langsung menahannya. "Kau di sini saja. Keringkan dulu tubuhmu. Angin makin lama makin kencang. Dingin sekali." Adi segera berjalan menyusul Elang.

Tak perlu susah payah, Adi kini sudah sampai di atas. "Lang?!"

Elang hanya menoleh sedikit. Ia sangat mengerti kalau rekannya pasti khawatir. "Kau kenapa? Apa ada sesuatu, Lang?"

"Di, ini semua adalah tanggung jawabku, bukan?"

"Apa maksudmu?"

"Aku harus membawa kalian pergi dari sini."

"Iya, kita pasti bisa pergi dari sini, Lang. Sementara kita bertahan dulu di pulau ini. Bukan, kah, Kalla tidak akan bisa mendekati kita jika kita ada di pulau Saphire ini?"

Elang menarik nafas panjang. "Aku tidak yakin, Di. Siapa sebenarnya musuh kita sekarang. Kalla, anak buahnya, bahkan sekarang ada Kallandra. Tidak mungkin juga kita terus menerus mengandalkan Abimanyu. Itu sangat berbahaya."

"Kau benar. Kita harus cari cara lain."

"Dan aku tidak tau apa itu! Sungguh bodoh, bukan?"

"Lang ... Kita hadapi ini bersama. Jadi jangan pernah merasa semua masalah ini karena dirimu sendiri. Dan jangan pernah berfikir ini tanggung jawabmu saja."

Elang mengerutkan kening. Melihat ke langit yang tiba-tiba berwarna biru terang. "Di? Kau lihat itu?"

Adi ikut menatap ke arah yang Elang tunjuk. "Lang, apa itu?" mereka berdua nampak tercengang.

Warna biru terang itu makin terang hingga akhirnya meledak begitu saja. Suara debuman membuat tanah yang mereka injak bergetar. Gempa terjadi selama beberapa saat. Elang dan adi segera turun ke bawah untuk memperingatkan teman-temannya.

"Larii!" jerit Adi, berlari turun dari atas. Abimanyu dan Gio membangunkan Ellea dan Shanum. Getaran tanah makin hebat dirasakan. Mereka bingung harus pergi ke mana sekarang. Ledakan makin menjadi. Seolah kejadian ini beruntun. "Di mana ledakan tadi berasal?" tanya Abi pada Elang.

"Sepertinya tugu batu saphire telah hancur. Sinarnya kini sudah pudar dan tidak ada lagi."

"Lalu bagaimana sekarang?"

Belum sempat hal itu terjawab, pulau seakan benar-benar kiamat. Ledakan tidak hanya berasal dari satu tempat, tapi terus menjalar ke tempat lain, hingga sampai di pantai.

"Pergi dari sini!" suruh Elang, menarik tangan Shanum menuju laut.

Di saat bersamaan pulau Saphire hancur. Mereka hanya mampu menatap tempat itu dari jarak jauh. Serpihan pulau membuat ke udara. Material kasar terasa di kepala mereka. Mereka lelah. Sangat.

_____

Ellea batuk-batuk. "Ell, kau tidak apa?" Suara Shanum sangat ia kenali. Hingga Ellea benar-benar memuka matamu dan mendapati Shanum ada disamping. Ellea segera memeluk gadis yang kini menjadi sahabat terbaiknya.

"Di mana kita? Mana yang lain?" tanya Ellea gusar. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan pasir pantai. Dan suasana sudah siang.

"Ada, Ell. Mereka sedang mencari yang lain. Kita tunggu di sini."

"Ngomong-ngomong apa yang terjadi kemarin? Seingatku, kita berenang karena pulau Saphire meledak? Apakah itu benar?"

Shanum mengangguk pelan. Wajahnya pucat, dengan sekujur tubuh yang basah. Sama seperti Ellea.

"Iya, itu benar. Kita tidak bermimpi. Pulau Saphire sudah hancur," kata Shanum getir.

"Tapi bagaimana bisa? Bukan, kah, pulau itu sangat aman."

"Mereka meledakannya. Menanam banyak bom di bawah tanah. Kini pulau itu tak seperti pulau saphire yang kita tau. Hanya sebidang tanah gersang tanpa satu pun pohon di sana."

"Astaga."

"Rupanya tugu batu Saphire memiliki banyak material yang mudah meledak."

"Tapi di mana kita?"

"Kita ada di desa Abimanyu."

"Apa?"

Para pria kembali, lalu mereka pergi ke tempat yang jauh lebih aman. Kembali ke rumah. Rumah Arya dan Nayla. Rumah Abimanyu Maheswara.

Desa Cheladon.

Desa yang tenang dan bersahabat. Bahkan sejak Abimanyu datang, warga tidak ada yang melupakannya dan tentu menyambut Abi dengan suka cita. Desa ini di dominasi hutan pinus dan pohon ketapang.

"Aku pulang," gumam Abi saat ia sampai di halaman rumahnya. Rumahnya nampak sama seperti saat terakhir kali ia melihatnya. Mobil usang ayahnya masih terparkir di garasi dengan kondisi sama. Sama seperti terakhir kali ayahnya meninggalkannya.

Suara gemerincing hiasan buatan Nayla membuat Ellea tertarik dan menyentuhnya. Pintu di buka. Abi mempersilakan para tamunya untuk masuk ke dalam. "Kalian ke kamar ibuku saja. Mandi dan segera berganti pakaian. Sepertinya Baju ibu ku akan muat di badan kalian."

Ellea dan Shanum hanya tersenyum dan segera pergi ke kamar yang Abi tunjuk.

Elang berdiri di sebuah lukisan keluarga. Ada Arya, Nayla dan Abimanyu. Mereka dilukis di rumah mereka sendiri. Karena bufet yant ada di canvas sama seperti bufet di ruang tengah. Ada satu hal yang membuat Elang antusias.

"Ini apa?" tanya Elang menunjuk sesuatu berwarna biru dalam sebuah botol kaca yang ada di bufet Abi. Elang bahkan sampai mendekat ke bufet dan mencari benda yang ia lihat di lukisan.

"Memangnya kenapa, Paman?"

"Botol nya sama ...." kata Elang mengambil botol dengan cairan berwarna biru terang. Mereka berdua saling pandang.

下一章