Pintu lift terbuka. Koridor ini memang selalu sepi. Hanya ada OB saja yang rutin membersihkannya tiap pagi, sebelum sang ceo datang. Shanum menoleh ke sana ke mari. Mencari karyawan lain yang mungkin akan ia temui.
Sampai di meja sekretaris yang ada di depan ruangan ceo, Elang berhenti. Ia menunjuk ke meja lebar itu.
"Itu tempatmu. Bekerjalah dengan baik. Satu lagi, jangan hanya karena kita saling mengenal maka aku akan bersikap lunak padamu. Kalau pekerjaanmu kacau, kau tetap akan ku marahi seperti mereka tadi." Elang berjalan masuk ke ruangannya. Sementara Shanum masih diam mematung. Walau pada akhirnya ia duduk di kursi miliknya.
Nama Lian sudah digantikan oleh Shanum. Baru beberapa menit, ia duduk, dan mencoba beradaptasi dengan suasana baru. Dering telepon membuyarkan lamunannya.
Ia mengambil gagang telepon itu, dan menempatkannya di dekat telinga. Sambil ragu ia menyapa, "Halo?"
"Ke ruanganku sekarang!" Suara dari seberang mampu ia kenali. Suara pria yang sudah beberapa hari ini ia pikirkan siang malam. Suara Elang yang dingin tapi mampu menggetarkan hati Shanum hingga jantungnya akan berdetak makin cepat.
Shanum menarik nafas dalam-dalam, mengisi rongga pernafasannya dengan lebih banyak oksigen. Langkahnya pelan menuju pintu ruangan Elang berkali-kali ia menarik nafas dan menekan dadanya. Tiba-tiba ia menjadi sulit bernafas, tapi ia terus mencoba setenang mungkin.
Pintu diketuk sebanyak 3 kali, pelan tapi sangat jelas terdengar. Karena di lantai ini hanya ada dua orang manusia saja. Wajar, sekecil suara apa pun pasti akan terdengar. Kecuali di dalam ruangan ceo, karena dilengkapi peredam suara.
"Masuk!"
Dengan ragu Shanum memutar kenop pintu. Ia masuk sambil menundukkan kepala. "Maaf, bapak memanggil saya?"
"Iya. Sini!" panggil Elang, menyuruh Shanum duduk di kursi depannya. Sementara pria itu masih fokus pada monitor di hadapannya. Jemarinya piawai memainkan keyboard, tatapan matanya fokus ke depan. Tanpa memperdulikan sekitar. Bahkan saat Shanum datang ia tidak menoleh sedikitpun.
"Jadwalku hari ini apa saja?"
"Hah?! Jadwal? " pekik Shanum dengan pertanyaan yang membuatnya terlihat makin bodoh.
"Iya, jadwalku hari ini. Kau, kan sekretarisku! Tugasmu ya mengatur jadwalku!" Nada suara Elang naik 1 oktaf. Shanum terus menunduk ke bawah.
"Baik, Pak. Saya permisi dulu."
"Iya!"
Gadis itu kembali ke tempatnya. Ia terlihat lemas, tidak bergairah. Menghempaskan tubuhnya ke kursi kebanggaannya. Ia sedikit patah semangat. Tapi, beberapa detik berikutnya. Senyum terukir di bibirnya. Ia segera mencari hal-hal yang memang seharusnya ia kerjakan sebagai sekretaris Elang. Beberapa nomor ponsel dari nama-nama orang tertempel di secarik kertas yang ditempel di dekat monitor.
Beruntung Lian termasuk karyawan yang cekatan. Ia sudah mencatat semua hal tentang bosnya dan segudang kegiatan Elang selama sebulan ini. Ia mulai mengerti dan kini makin nyaman. Beberapa dering telepon membuat senyumnya tercetak jelas.
Jarum jam menunjukan pukul 12.00 siang. Saking sibuknya Shanum, ia tidak melihat kalau kini seseorang tengah berdiri di depannya.
"Hei!"
Shanum yang terkejut, ia mendongam dan mendapati Elang sudah berdiri di depannya. "Eh, eum, ada apa, pak Elang? Ada yang bisa saya bantu?"
"Ayo, kita makan siang."
Elang langsung berjalan menuju lift. Shanum yang sempat bengong, langsung melebarkan senyum dan menyusul Elang.
Mereka seharian ini menjadi sorotan karyawan yang lain. Bahkan saat sudah masuk mobil, banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa Lian harus dipindahkan digantikan Shanum.
Beruntung gosip ini tidak di dengar Elang. Jika sampai Elang mendengarnya, ia pasti akan murka.
Elang menyetir sendiri dengan Shanum duduk di sampingnya. "Bagaimana hari pertamamu bekerja?" tanya elang tetap fokus pada kemudinya.
"Lumayan, Pak. Memang saya harus beradaptasi perlahan, tapi sejauh ini semua lancar. "
"Tidak perlu memanggilku dengan formal seperti itu kalau kita sedang berdua saja. " Kalimat Elang membuat tanda tanya besar dalam benak Shanum.
'Apa maksudnya? '
Mobil melesat menembus jalanan yamg cukup ramai kendaraan. Ini memang jam makan siang dan wajar saja jika banyak orang yang pergi mencari tempat makan yang memang mereka inginkan untuk mengganjal perut mereka.
Mereka sampai di sebuah restoran. Shanum hanya diam di kursinya dan menatap ke luar. "Mewah sekali, " batin Shanum.
Elang langsung turun dari mobil entah mendapat angin apa, ia segera membuka pintu mobil samping Shanum. Tentu saja gadis itu tertegun. Tak menyangka orang sedingin ini terkadang mampu melakukan hal yang manis.
Tak hanya sampai di situ, Elang kini menggandeng Shanum masuk ke dalam. Wajah Shanum nampak merona. Ia menunduk dan memegang satu pipinya. "Kenapa? " tanya Elang.
"Eum, tidak apa-apa, kita makan di sini?" Pertanyaan Shanum ia buat untuk, mengalihkan perhatiandan rasa gugupnya sendiri.
"Tentu saja. Ini restoran terbaik. Kamu pasti akan suka makanan di sini."
Makan siang yang cukup romantis bgi Shanum. Mereka ada di rooftop berdua saja. Di atas mereka ada semacam payung lebar, semilir angin membuat suasana sejuk. Obrolan demi obrolan mereka buat, hingga tak terasa Elang tersenyum. Ini kali pertama Shanum melihat Elang tersenyum.
______
Adi dan Gio duduk di kursi depan, sementara Vin di belakang mereka. Vin membawa sebuah tas berisi beberapa potong pakaiannya. Ia memang berencana menginap di kampung.
Gio yang menyetir beberapa kali bersenandung. Adi hanya sibuk bermain game di gawai miliknya untuk membunuh waktu.
Stasiun kota hanya berjarak 3 KM saja. Akhirnya mereka sampai juga di tempat itu. Beragam jenis manusia ada di sana. Mereka bertiga turun. Adi menghirup nafas dalam-dalam. Dahinya berkerut dan netranya liar menatap sekitar. Beberapa pasang mata menatap mereka tajam.
"Kalau begitu aku masuk. Terima kasih kalian sudah mengantarku," ucap Vin yang berdiri di sebelah Adi. Saat Vin hendak pergi, Adi segera menahan tangannya. "Tunggu!"
"Kenapa?"
"Biar kami mengantarmu saja sampai desa. Kau tidak perlu naik bus. Lekas masuk," suruh Adi dan ia juga segera masuk ke dalam mobi. Gio menggaruk kepalanya, menatap sekitar dengan bingung.
Setelah semua duduk, Gio menatap Adi yang terus gelisah. "Kau kenapa?"
"Gi, lekas pergi dari sini!"
"Jangan-jangan?" Gio Yang sebenarnya sedikit paham dengan sikap Adi, tanpa bertanya lagi langsung menyalakan mesin mobilnya. Beberapa sorot mata tajam itu, terus menatap liar ke mobil mereka. "Di, kenapa mereka?" Tanya Vin Yang rupanya juga nelihat keanehan orang-orang tadi.
"Kalla!"
"Apa?! Oh, shit!" Umpat Gio, Dan segera memacu mobilnya melesat pergi.
"Hei kenapa kita malah pergi. Bukannya lebih baik kita bunuh mereka? Ini kesempatan baik, bukan?" Vin bingung dengan dua sikap pria di depannya Yang terlihat cemas.
"Kau ini bodoh atau apa? Kita hanya bertiga! Dan mereka sangat banyak. Justru kita Yang akan mati konyol nanti." Adi gusar menatap luar jendela. Sesekali tatapannya mengarah pada spion sampingnya. Takut kalau beberapa dari Kalla akan menyusul mereka.
_____
Akhirnya mereka mengantar Vin ke desa. Hiruk pikuk kota mereka tinggalkan. Kini pemandangan di sekitar didominasi pepohonan Yang menjulang tinggi. Laju mobil sudah stabil. Jalanan juga tidak begitu ramai kendaraan. Hanya sesekali saja mereka berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan. Hingga mereka melewati sebuah gapura Yang berbentuk setengah lingkaran di atas. Bertuliskan nama desa itu. Akhirnya mereka sampai di desa Yang Vin maksud. Jalanan beraspal sudah habis sejak beberapa meter tadi. Berganti jalanan berbatu Yang memang disusun rapi, membuat ban mobil mereka aman dari tergelincir dengan kondisi jalanan yang becek seperti sekarang. Sepertinya hujan baru reda di tempat ini.
Rumah-rumah sederhana dari kayu sudah mulai terlihat di sepanjang kanan dan kiri jalan. Ada beberapa rumah yang sudah modern, tapi tetap saja terlihat sederhana timbang rumah yang ada di kota.
"Masih jauh rumahnya?" tanya Gio yang menyetir dengan sangat hati-hati. Karena beberapa kali ada anak- anak kecil yang tengah bermain di pinggir jalan.
"Di ujung sana. Kita akan sampai di pelabuhan kecil. Nanti kita naik perahu setelahnya."
Sekalipun desa ini bersih dari bau Kalla, tapi tatapan mereka terlihat tidak menyenangkan bagi Adi. Ada sesuatu yang ia tangkap dari rasa ketidaksukaan warga desa. Namun ia simpan saja dalam hati.
"Nah, itu!" tunjuk Vin ke sebuah dermaga penyebrangan. Mereka sampai di tempat paling ujung desa.
"Oh, brengsek!" umpat Adi.
"Kenapa?"
"Banyak sekali Kalla di dermaga ini?!"
Vin, Gio, dan Adi saling adu pandangan. Bingung harus memilih, akan melanjutkan perjalanan atau kembali ke kota.