webnovel

Apakah Sudah Waktunya?

"Hay, baru pulang?"

Langkah kakiku seketika terhenti. Mataku menatap lurus sosok yang sejak tadi sudah ada di depan wajahku.

Pantas saja tadi aku merasa aneh, kupikir saat semua penjaga menundukkan kepala itu murni karena mereka menghormati diriku yang tak lain adalah tuannya. Namun, dugaan tersebut salah kaprah ternyata. Mereka menundukkan kepala bukan karena menunjukkan rasa hormat tetapi para tikus sialan lagi-lagi membuat kesalahan.

Haruskah tengah malam begini aku menjambak rambut wanita ini?

"Kamu datang?"

"Hem, aku udah agak lama di sini," balas wanita sialan itu dengan senyumannya yang menjijikkan di mataku.

Ah, bahkan belum cukup dengan kedatangan wanita ini secara tiba-tiba jantungku makin diremukkan dengan fakta bahwa Joo menyambut kedatangannya. Seberapa pentingkah diriku dalam hidupmu, Joo?

"By, suami Astrid harus pergi ke Swiss mulai tadi pagi. Dia udah nunggu kita pulang tiga jam lalu, nggak masalah kan kalau Astrid tinggal bersama kita untuk seminggu ke depan?" Joo tersenyum lebar seolah ini bukan apa-apa.

Tiga jam lalu? Ah, bukankah itu tepat saat dia mencium bibirku?

Jika tahu bahwa yang tadi adalah taktik liciknya untuk bisa merayuku maka jangan harap akan kuterima kebaikannya. Akan tetapi apa gunanya memikirkan hal itu saat ini? Sama sekali tak ada gunanya, rasanya bahkan hatiku benar-benar tak bisa disatukan lagi. Remuk dan telah menjadi serpihan-serpihan menyedihkan.

"Serah," kataku yang malas berdebat.

Usia kandungan yang semakin bertambah tua membuatku tak bisa memiliki tenaga ekstra hanya untuk hal-hal remeh begini. Jika yang Joo inginkan adalah wanita sialan itu tinggal di rumahku ya sudah. Toh mungkin saja paling parah aku hanya akan dimadu bukan?

"By aku-"

"Joo aku capek, jangan bikin aku kesel ya? Anakku mungkin juga betul-betul ngantuk saat ini. Jadi bisa tolong jangan ganggu kami untuk malam ini?" pintaku lirih namun sungguh-sungguh.

Joo tak menjawab dan Astrid hanya tersenyum saja. Ah, melihat tubuhnya yang masih begitu indah bak model papan atas membuatku yang makin melebar jadi merasa rendah. Mungkin saja untuk saat ini Joo membuat pilihan yang tepat, dia memilih sosok yang benar.

Harusnya aku sadar, saat hamil begini tak akan ada laki-laki yang bisa begitu baik kepada istrinya. Wanita akan berubah sepenuhnya ketika mereka hamil. Entah dari segi emosi maupun fisik seperti diriku saat ini.

Lama menunggu kepastian aku hanya disuguhi dengan pemandangan yang menjijikkan. Kuputuskan untuk segera pergi ke kamar. Tanpa ada drama membanting pintu kali ini. Melempar high heels juga sling bag adalah hal pertama yang kulakukan begitu sampai di kamar.

Ingin mandi namun tubuhku lelah sekali saat ini. Pada akhirnya hanya mencuci muka saja yang menjadi pilihannya. Menghapus sisa-sisa make up tipis lantas menggunakan pelembab. Setidaknya meski fisik tak lagi bisa dibandingkan dengan Astrid namun masalah wajah aku rasa bisa sedikit lebih baik.

"Bagaimana kabar bunda?" bisikku pada angin malam.

Aku memang tak tahu bunda dan ayah memihak siapa. Terakhir kali mereka melarangku untuk masuk ke kamar Joo meski hanya sekadar melihat-lihat saja. Mereka berdua bahkan tak marah saat kami membuat kesalahan begitu fatal. Hanya saja, benarkah bunda berpihak padaku?

Malas memikirkan segala hal yang bisa mengganggu anakku membuatku lekas mengganti pakaian. Hanya sekadar menggunakan kimono tipis saja, jarang sekali kunyalakan AC. Jadi dari pada harus tidur dengan gelisah karena gerah mending pakai ini saja kan?

Toh niatku bukan untuk menggoda seseorang. Lagi pula sejak kapan Joo akan tertarik padaku hmm?

Memejamkan mata cukup lama. Namun bukannya tidur aku malah benar-benar gelisah saat ini. Bukan karena gerah bodi akan tetapi memikirkan Astrid akan berulah dengan Joo di lantai bawah membuatku pusing bukan main. Lebih dari itu, aku merasa agak gengsi jika keluar saat ini.

Bagaimana jika aku justru mendapati mereka yang tidur bersama dalam artian beda? Kugigit bibir bawah guna menekan rasa khawatir ini.

Gawai yang ada di meja kun kuambil segera. 00.45, begitulah waktu yang tertulis di atas layar tersebut. Rasanya aku ingin ke bawah akan tetapi-

Dagh!

Bunyi ponsel yang berbenturan dengan keningku. Meski samar-samar aku masih bisa mendengar suara ini dengan jelas. Apa lagi yang mereka lakukan di rumah ini? Suara manja Astrid saat memanggil nama Joo juga desahan dan bed yang berdecit pelan ini. Bukankah mereka membuatnya menjadi sempurna?

Ya, dua orang ini sama-sama sempurna dalam hal memporak-porandakan hatiku. Haruskah aku bertahan Tuhan? Mampukah aku melakukannya?

"Joo, aku siapa sih?" tanyaku sambil membekap mulut guna menahan isakan.

Tidak bisa, nggak boleh dan jangan sampai! Jika aku menangis suaranya akan terdengar sampai ke ruangan sebelah. Aku tak ingin Astrid tertawa karena berhasil membuatku terluka. Meski ini benar-benar menyakitkan rasanya tapi demi anakku aku pasti bisa.

Di dunia ini tak ada hal yang nggak bisa kulakukan. Aku pasti kuat, demi diriku sendiri dan juga anak ini. Aku yakin bahwa aku ....

... silau.

Benar-benar silau sekali. Perlahan aku mencoba untuk membuka mata meski berat rasanya. Tak tahu bagaimana bisa semua ini terjadi. Hanya saja ini di mana?

Nuansanya benar-benar seram. Bak di kamar ... mayat? Gegas aku duduk. Menatap banyaknya orang yang terbaring di atas bed patient ini lagi. Sudah berapa kali? Berapa kali aku memimpikan terbangun di ruang mayat ini?!

Hiks ... hiks ....

Tak bisa kubendung lagi, isak tangis ini kian menjadi-jadi saja. Ah jantungku serasa meledak rasanya haruskah aku-

"Hey?"

Hem? Suara siapa itu?

"Ahahaha, kau pasti tak bisa bicara ya? Malang sekali nasibmu, ke Bandung saja lain kali jangan ke ruangan pengap ini. Itu ibumu sudah terbaring di sana, mau menyusulnya?"

"A-"

Ah, kelu, segala ucapan yang keluar dari bibirku tak akan pernah bisa didengar oleh sosok itu. Aku paham, sangattt memahami situasi ini. Namun, selama bermimpi jarang sekali ada yang membuatku ingin berbicara. Siapa sosok ini? Semenjak hamil memimpikan terbangun di kamar mayat sudah menjadi makanan sehari-hari untukku.

Terkejut itu pasti dan menangis dalam mimpi seolah hal yang alami. Aku menangis bukan karena mati dengan, yang membuatku takut ialah benar-benar tiada tanpa bisa memelukku bayi yang ada di dalam sini. Jika aku mati siapa yang mau menjadi suka relawan untuk mengurusnya?

Jawabannya tak ada, karena semua orang hanya sibuk memperkaya dirinya sendiri!

"Kenapa malah diam saja? Setidaknya jika kau mau mat-."

Melihat sosok itu yang berhenti bicara aku pun menatapnya dengan tatapan kebingungan. Lebih lagi dia juga mengumpat saat ini.

"Sial! Suamimu itu selalu saja mengganggu!" bentaknya membuatku terkejut dan ....

... hap!

Pasokan udara yang semula tak dapat kurasakan kini perlahan kembali. Mataku menatap ke arah pria dengan alat kejut jantung di tangannya.

A-APA YANG SEBENARNYA TERJADI?!

-Bersambung ....

下一章