webnovel

Susi Beraksi

"Ada apa dengan wajahmu? Mengapa kau terlihat takut saat aku mengatakan pria tua itu?" tanya Ruri kepada gadis gembel.

"A, anu ... apa kau tidak tahu akan rumor yang beredar?" tanya gadis itu setengah berbisik, matanya mendelik dengan bibir yang terlihat sulit menganga.

Ruri hanya menggeleng, namun seketika ia ikut kaget dan menunjukkan ekspresi takut setelah mendengar penjelasan gadis itu.

"Kau yakin?" tanya Sesilia setelah mendengar apa yang Ruri katakan padanya.

"Yah, begitulah yang gadis itu katakan. Awalnya aku tidak mengira itu benar, sampai gadis itu bilang mereka melihat si pria tua pulang dengan baju penuh darah."

"Entahlah, aku merasa tak percaya dengan gadis itu. Apa kau datang hanya untuk mengatakan ini padaku? Apa kau benar-benar takut? Kau seperti bocah. Bocah bodoh, Ruri. Kau meninggalkanku dan mencari informasi itu sendiri. Kau tidak setia kawan. Kau, kau pria ...."

"Ada apa, kenapa kau berbicara dengan berteriak Sesil?" tanya Ayah yang tiba-tiba berdiri di pintu kamarnya.

"Tidak, kami tidak bertengkar. Sesilia hanya sedang merajuk," jelas Ruri dengan segera.

"Apa kau bilang? Merajuk? Kau pikir aku seperti gadis di luar sana yang suka merajuk dan harus dipujuk," ungkap Sesilia dengan kesal.

"Oke, oke, mulai besok sepertinya aku harus memasang kedap suara. Agar kebisingan dari kamar ini enggak terdengar keluar," ungkap Ayah yang kemudian pergi setelah menutup pintu kamar Sesilia.

"Huh! Nyaris saja," ucap Sesilia yang mlai merasa lebih tenang.

"Sebaiknya mulai sekarang kau latihan bersuara pelan, Sesil," bisik Ruri yang kini mendekatkan wajahnya ke arah Sesilia.

Bukannya menghindar, Sesilia justru terdiam cukup lama sambil menatap ke arah bibir Ruri. Ia sepertinya salah menduga akan tindakan yang akan Ruri perbuat padanya. Namun, syukurnya Ruri tidak mengira hal yang sama. Hingga ia tetap tenang dan hanya tersenyum meski hidung keduanya nyaris bersentuhan.

Pintu kembali terbuka dan terlihat Dino berdiri sambil menunjukkan wajah kesal.

"Ibu ... kau salah waktu menyuruhku masuk sekarang," ucapnya yang kemudian pergi menjauh dari pintu.

"Ya Tuhan ... Dino! Apa maksudmu?" tanya Sesilia yang segera menyusul keluar kamar. Wajah dan nadanya terlihat kesal, namun tidak dengan hatinya. Karena kini ia merasa cemas dengan jantung yang berdegup tak karuan. Pipi memerah dan sikap tubuh yang tak terkendali. Ia benar-benar merasa salah tingkah. Itulah mengapa ia memutuskan untuk keluar dari kamar menjauhi Ruri. Sedangkan Ruri masih saja tenang dan menatap kesekitaran. Memandangi tulisan di dinding Sesilia yang kini terlihat semakin ramai.

Seakan janjian, Ruri dan Sesilia memutuskan untuk tidak pergi kemana-mana hari ini. Ruri membantu Ibu merapikan taman, begitu pula Dino yang suka memetik buah yang siap panen. Sedangkan Sesilia mengunci diri di kamar, entah apa yang ia lakukan di sana. Hingga sore menjelang, semua penghuni rumah sudah berkumpul bersama.

"Apa ada perayaan hari ini?" tanya Ayah kepada Ibu setelah memastikan ketiga anaknya berada di rumah. Yah, sejak kedatangan Ruri tempo hari ia telah dianggap bagian dari keluarga ini. Meski ia tidak kehilangan seseorang dalam hidupnya, setidaknya ia kehilangan ingatannya.

"Tidak," sahut ibu yang masih asik bergumul dengan kuali dan panci. Begitu pula Dino yang hanya mengangkat kedua bahunya sebagai ganti jawaban akan ketidak tahuannya. Sedangkan Ruri terlihat cuek sambil membaca koran lama yang tertumpuk di sudut ruang.

"Ada apa? Apa mereka tidak ada yang keluar rumah hari ini?" tanya Ayah yang kini sudah berdiri tepat di samping Ibu. Ia meninggalkan kursi nyamannya demi mendapatkan jawaban akan rasa penasarannya.

Terdiam dan merenung, lalu menatap Ruri juga Dino. Ibu seketika tersadar akan satu hal. Kini wajah Ibu menunjukkan rasa bingung sekaligus curiga.

"Apa kau baru menyadarinya sekarang?" tanya Ayah diikuti tawa geli dan gelengan kepala. Lalu kembali duduk menikmati kopi hangat yang ada di hadapannnya.

"Mereka semua di rumah seharian bersamaku. Tidak ada yang pergi, begitu pula aku. Karena aku sudah membeli belanjaan cukup banyak kemarin. Tapi Sesilia terus berada di kamarnya. Ia tidak keluar sedetik pun," bisik Ibu sambil menyerahkan sepiring mie goreng buatannya.

"Aku tidak yakin, tapi dia tidak perlu kabur dari jendela jika ingin pergi kan?" ucap Ayah yang kemudian melangkah mendekati kamar Sesilia.

"Gadis, apa kau tidak lapar? Ada mie goreng dan teh hangat di sini," ucap Ayah di depan pintu kamar.

Tak ada jawaban, bahkan meski ayah tengah mengetok kamarnya berulang kali. Kejadian ribut ini cukup membuat Ruri dan Dino menjadi tidak nyaman. Hingga semua mata menatap ke arahnya. Tanpa meragu, layaknya seorang ayah, ia pun mendobrak pintu kamar Sesilia.

Terlihat Sesilia terbaring dengan wajah pucat tak bergerak. Bukan seperti tidur, tetapi mati.

***

Terjadi keriuhan di rumah sakit Sehati. Ada banyak pencari berita duduk menanti di area lobi. Mereka seperti sedang menunggu seseorang untuk diwawancarai. Ternyata orang yang mereka incar adalah Tuan Alinski-Presiden direktur dari perusahaan obat yang tengah naik daun.

Seorang pria tegap berjas lengkap berjalan mendekati para wartawan. Mengenakan kaca mata hitam dan wajah tak ramah, pria itu benar-benar menakutkan.

"Tidak ada wawancara dan tidak ada pertemuan," ucapnya lantang kepada mereka.

"Biarkan kami bertanya!" ucap salah satu media.

"Keadaan Tuan Alinski sedang tidak baik. Dia tidak bisa bertemu dengan siapapun, terima kasih," ungkapnya yang kembali berjalan masuk ke dalam ruangan rumah sakit.

Wajah kekecewaan pun terlihat jelas, mereka begitu kesal karena sudah menunggu lama di sana. Sebuah ide gila tercetus dari reporter lainnya.

"Bagaimana kalau kita menyelinap masuk?" tanyanya pada rekan kerjanya.

"Kau gila? Apa kau tidak melihat tubuh pengawalnya yang besar itu? aku yakin, kau akan mendapatkan patah tulang cukup banyak jika saja pria itu menolakmu. Yah, hanya menolak, belum menghajar. Lihat tubuh kita yang kurus ini. Daripada terlihat seperti dokter, kita jauh lebih mirip dengan pasien paru," ledek pria itu.

Salah seorang gadis yang berada di belakang mereka terlihat tersenyum penuh licik. Kedua alis matanya naik diiringi senyuman penuh ide.

"Terima kasih kawan," gumamnya yang kemudian pergi meninggalkan keramaian.

Mata mereka pun menatap bingung ke arah gadis itu. Mereka mengira gadis itu akan menyerah dan pergi. Namun, dugaan mereka salah. Karena kini gadis itu keluar dari gedung dan masuk dari gedung belakang. Tempat di mana para pekerja dapur berada. Ia dengan ramahnya masuk ke dalam dapur dan mengaku sebagai pengganti temannya yang tidak bisa hadir. Sebuah keberuntungan, pengakuannya diterima begitu saja. Kebenaran ada seseorang yang tidak datang dan bilang akan mengirim pengganti. Baju pelayan diberikan dan ia diminta membawa sebuah meja berisi banyak makanan untuk diantarkan ke ruangan pasien.

"Oke, jangan panggil aku Susi jika aku tidak bisa mendapatkan berita," ucapnya penuh percaya diri sambil mulai mendorong meja beroda.

下一章