webnovel

Diminta bertanggungjawab

Jangan lupa dukung author dengan like novel ini sebelum membaca ya reader termuach

***^^***

"Ehm … aww!" 

Mentari meringis memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. Ia beranjak duduk bersandar di kepala ranjang rawat inap. Aroma obat-obatan sangat kuat menusuk indera penciumannya.

Ia mengedarkan pandangan sekeliling. Tirai putih menutup jendela. Tiang besi kecil berdiri menopang botol cairan infus.

Tari tidak ingat kejadian kemarin. Terakhir kali yang ia ingat adalah saat tidur di dalam rumah jamur. Ia pun bertanya-tanya dalam hati.

Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa berada di sini?

Tap! Tap! Tap!

Dua orang wanita masuk menemuinya di dalam ruang perawatan. Salah satunya adalah orang yang tidak ingin dilihat oleh Mentari. Laura, sang kakak angkat yang selalu merasa iri terhadapnya.

"Kamu kenapa, Sayang? Pak satpam bilang, kamu pingsan di sekolah. Apa itu benar?" Mirna bertanya dengan khawatir. Ia adalah ibu angkat yang mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada Mentari.

Mirna dan orang tua kandung Mentari bersahabat sejak kecil. Saat kedua orang tua gadis itu meninggal, ia mengangkatnya sebagai anak. Semua itu karena permintaan terakhir sahabatnya.

Ia tidak membeda-bedakan kasih sayang. Namun, sayangnya Laura tetap merasa kalau sang ibu lebih menyayangi Mentari. Sehingga, kebencian dan rasa iri di hati gadis itu semakin dalam.

"Iya, Ma. Mentari sedang melihat-lihat taman di sekitar sekolah, tapi karena cuaca terlalu panas, Tari jadi pingsan kepanasan."

"Dasar manja! Cuma kepanasan saja bisa sampai sakit. Heh, anak pungut! Jangan merepotkan orang lain seperti ini, dong!" Laura memaki-maki Mentari tanpa memedulikan kehadiran ibunya.

"Laura! Kamu ini apa-apaan, sih? Omongan kamu itu jelek sekali. Seorang gadis harus bisa mengendalikan ucapannya. Lihat perangaimu! Semakin hari semakin buruk," ucap Mirna membela Mentari.

"Ch! Selalu saja~" cibir Laura kesal. Ia meninggalkan ruangan rawat karena tidak suka dengan sikap ibunya. Mirna selalu dipandang lebih sayang kepada Mentari dibandingkan kepadanya.

"Hah," desah Mirna. Ia bingung harus bagaimana mendidik putri kandungnya seperti apa lagi. Padahal, ia tidak memihak salah satu dan selalu membagi rata kasih sayangnya.

"Maaf, ya, Ma. Lagi-lagi, karena Tari, Kak Laura marah."

"Kamu tidak salah, Sayang. Laura memang terlalu dimanja sejak kecil oleh ayahnya. Jika saja mas Wijaya masih hidup, dia pasti kecewa melihatnya." Mirna tampak sangat sedih dengan kelakuan Laura. 

"Kakak pasti akan berubah suatu saat nanti, Ma. Jangan sedih," ucap Mentari sambil memeluk wanita itu.

Di depan pintu, William melihat mereka. Saat Mirna hendak pergi, ia segera bersembunyi. Ia melihat keganjilan di antara mereka.

Wajah Laura sangat mirip dengan Mirna, tapi Mentari berbeda jauh. Mirna memiliki kulit putih, berperawakan tinggi, begitupun dengan Laura yang memiliki tubuh tinggi, dan kulit putih. Mentari berkeyakinan dengan mereka.

Tubuh Mentari hanya memiliki tinggi 155 cm, kulitnya sawo matang, wajahnya sama sekali tidak mirip dengan Mirna. Bisa saja gadis itu mirip ayahnya, William sempat berpikir begitu. Namun, mendengar kata-kata makian dari Laura tadi, akhirnya ia tahu kalau Mentari hanya anak angkat.

Tok! Tok!

William mengetuk pintu dua kali sebelum masuk dan menghampiri Mentari. Ia duduk di sofa yang berada di dekat kaki ranjang. Matanya tak lepas dari sosok gadis yang menjadi pengasuh putrinya.

"Jadi, kau adalah putri angkat pemilik TK. Glory, TK nomor satu se-indo. Apa lagi yang kamu sembunyikan dariku?" tanya William sambil menatap lurus tak berkedip.

"Tidak ada."

"Kenapa memilih menjadi pengasuh putriku? Kau bisa bekerja di sekolah milik ibu angkatmu, tapi kau memilih menjadi pengasuh. Apa tujuanmu yang sebenarnya?" 

Tujuan? Kenapa dia tahu kalau aku memiliki tujuan lain selain bekerja? Aku memang sengaja bekerja menjadi pengasuh agar kakakku tidak merasa tersaingi. Dengan memiliki pekerjaan lebih rendah dari Laura, baru aku bisa bebas dari niat jahatnya.

"Kenapa Anda bertanya seperti itu? Tujuanku menjadi pengasuh, ya … jelas untuk men-mencari uang," jawab Mentari gugup.

William bangkit dari tempat duduknya. Langkahnya lambat dan terkesan penuh intimidasi saat tatapan matanya beradu dengan mata sendu Mentari. Ia menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.

Mentari memundurkan tubuhnya, tetapi ia tidak bisa karena terhalang dinding. Ia mulai gemetar ketakutan melihat kedua mata laki-laki itu mengkilap merah. Matanya terpejam rapat sekali saat wajah  laki-laki semakin maju dan mendekat padanya.

"Kau pikir ... aku laki-laki idiot yang bisa kau tipu?" tanya William pelan dan ditekan setiap kalimatnya. 

Aura dingin menyeruak di sekujur tubuh Mentari. Sepertinya ia telah salah menjadikan dirinya pengasuh di rumah itu. Kini, sang majikan sudah mencurigainya, bahkan mengintimidasi dirinya.

"Saya akan berhenti, jika Anda takut saya berbuat jahat."

"No! Tidak semudah itu kau bisa pergi dari rumahku. Aku sudah membantumu merahasiakan hal ini dari keluargamu, terutama ibumu. Kau, harus membayar jasaku," ucapnya sambil menjauhkan wajahnya. William berdiri tegak di samping ranjang rawat.

"Apa? Saya tidak pernah meminta Anda untuk melakukan hal itu. Bagaimana bisa, Anda meminta saya membayar?" tanya Mentari dengan suara bergetar. 

"Aku sangat sibuk. Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Sebentar lagi, asistenku, Pram, akan datang dan menjelaskannya untukmu. Cepat sembuh dan bersiaplah," pungkas William sebelum keluar dari ruangan itu.

Mentari menarik napas lega. Ia tidak menyangka sama sekali, kalau akhirnya ia ketahuan oleh sang majikan. Jantungnya berdebar-debar menantikan laki-laki bernama Pram yang disebutkan oleh William.

Tidak lama setelah kepergian William, seorang laki-laki bertubuh tambun, masuk ke ruang perawatan Mentari. Ia membawa sebuah dokumen dan memberikannya kepada wanita itu. Pram menunggu wanita itu selesai membaca isi dokumen itu, baru berbicara saat Mentari bertanya.

"Apa maksud semua ini? Kalian menyelidiki aku?" tanya Mentari dengan tatapan tajam.

"Tuan Will ingin memastikan semuanya sebelum acara pernikahan dilangsungkan," jawab Pram dengan wajah tenang dan datar.

"Apa?! Pernikahan apa maksudmu? Siapa yang akan menikah?"

"Tentu saja, Anda dan Tuan Will."

"Gila! Kalian sudah gila! Kenapa aku harus menikah dengannya?"

"Anda menyembunyikan bisnis resto Anda dari semua orang, berpura-pura menjadi pengasuh, membuat nama Tuan Will tercemar. Jadi, Tuan ingin Anda bertanggungjawab."

"Makin ngaco, nih. Aku merahasiakan bisnis resto milikku, berpura-pura menjadi pengasuh juga tidak merugikan apa-apa, lalu mencemarkan nama baik …. Memangnya apa yang sudah kulakukan sampai namanya tercemar?" Mentari semakin meradang. Impiannya adalah menikah dengan orang yang dicintai. Bagaimana bisa, tiba-tiba diminta menikah dengan orang tua dari anak yang diasuhnya.

"Saat Anda pingsan, Tuan membawa Anda ke rumah sakit ini. Gosip bahwa Anda adalah kekasih Tuan Will, telah memengaruhi kemungkinan Tuan Will mencari ibu pengganti bagi Non Monic. Jadi, Tuan akan menjadikan Anda sebagai istri dan ibu pengganti."

Mentari menganga tak percaya. Alasan konyol apa yang dikatakan Pram padanya. Kenapa seolah-olah Tari sudah meruntuhkan semua dunia Will, hingga ia harus bertanggung jawab.

Kalian sudah gila!

*BERSAMBUNG*

下一章