webnovel

Mencari Jalan Pulang

Guncangan kian dahsyat, membuat Riko dan Dito mau tak mau harus memaksa bangkit dan bergerak mendekati tubuh Andin dan Jessy yang masih terbaring. Dito mengangkat tubuh Andin, sedangkan Riko mengangkat tubuh Jessy. Mereka seperti bersiap-siap untuk menghadapi ujian selanjutnya.

Guncangan semakin dahsyat, membuat mereka hanya bisa berdiri bersandar pada dinding berharap tak benda rubuh yang menimpah mereka. Guncangan ini cukup lama, namun tanpa sadar Andin dan Jessy terbangun dari ketidak sadarannya. Dengan mata yang sayup Andin dan Jessy terlihat kaget akan keberadaan tubuh mereka yang kini tengah di dalam gendongan Dito dan Riko.

"Lu, enggak apa-apa?" tanya Dito dengan lembutnya.

Anding menggeleng dengan senyuman kecut. Ia sepertinya merasa begitu malu saat ini. sedangkan Riko yang sangat anti dengan cewek, dengan segera menurunkan Jessy begitu tahu Jessy telah siuman.

"Terima kasih," ucap Jessy lembut, diikuti senyum manis dan pipi yang merona.

"Hem ...," ucap Riko dengan wajah tegang.

Sontak saja sikap kaku dan kikuk keduanya menjadi bahan tertawaan Andin dan Riko. Tanpa mereka sadari guncangan perlahan berhenti dengan keadaan kelas yang terlihat rapi kembali seperti semula.

"Yeeey!" ucap Dito dan Riko serempak setelah saling pandang. Sedangkan Jessy dan Andin hanya bisa saling tatap dengan tatapan bingung.

"Berarti kita menang!" ucap Dito dengan girang

"Yah!" jawab Riko dengan wajah puas.

"Eh, ada apa sih?" tanya Andin kepada Dito.

"Begini, kita sekarang berada dalam permainan virtual," jelas Dito.

"Nah, kalau kita enggak ada yang menang. Maka kita semua akan benar-benar mati atau mungkin bisa terkena gangguan syaraf," sambung Riko.

"Jadi, maksud Lu ini enggak nyata? Terus gimana cara keluar dari sini?" tanya Jessy dengan wajah kesal.

Dito, Jessy dan Andin menatap ke arah Riko. Sedangkan Riko hanya bisa terdiam, karena dia sendiri enggak tahu caranya keluar dari permainan ini.

"Ya ..." jawab mereka bertiga secara serempak.

"Tunggu dulu, menurut kalian siapa dalang dari semua ini?" tanya Andin yang tiba-tiba tersadar akan keadaan mereka.

"Hanya kelas XV C yang diminta masuk seminggu ini, dengan alasan ujian bukan?" sambung Jessy.

"Jika begitu, berarti ini ada sangkut pautnya dengan pihak sekolah," jelas Dito.

Mereka berempat mengangguk setuju. Namun, dengan segera Riko mengeluarkan pendapatnya.

"Tapi, tadi aku sempat ketemu Ketua Yayasan. Beliau di tangkap dan di kurung dalam gudang bersama Gua," ungkapnya.

"Oh ya, Lu baru datangkan? Kapan Lu ikut permainan ini, bukannya Lu awalnya enggak termasuk yah?" tanya Andin.

"Tadi, Riko datang saat aku nyaris tenggelam. Tepatnya saat kelas ini dipenuhi dengan air. Hanya aku dan Beni yang sadarkan diri, sedangkan kalian berdua masih terlelap. Beni terhempas dinding kepalanya, dan ikut enggak sadarkan diri kembali. Sedangkan aku, aku enggak punya tenaga untuk mengangkat batu penghalang lubang. Saat itu aku nyaris putus asa, namun syukurnya Riko datang tepat waktu dan menolongku," jelas Dito sambil menatap Riko dengan aura persahabatan.

"Kalau begitu, berarti Lu ikut di tengah permainan? Kok bisa ikut, bukannya Lu telat sekolah ya?" tanya Jessy yang masih belum benar-benar paham akan keadaan.

"Ya, Gua telat. Gua lihat ada keanehan. Gua juga sempat nemuin Ketua Yayasan. Beliau juga yang beri ide ke Gua untuk ikut permainan guna menolong kalian. Jika tidak, kita semua akan mati katanya. Begitu pula dia juga ikut mati."

Ucapan Riko membuat teman-temannya terdiam. Mereka begitu bingung dengan keadaan yang harus mereka alami.

"Bukannya ada banyak kelas XV. Tapi kenapa justru kelas kita yang dipilih?" tanya Andin.

Dito mengangguk dan ia pun kembali mengeluarkan pendapatnya, "Apa karena ada Lu, Jes?"

"Lah, kok Gua? Emang apa hubungannya ama Gua?" tanya Jessy sambil nyolot.

"Lu enggak dengar kabar apa gitu dari Bokap, Lu? Bukannya Bokap Lu anggota yayasan?" sambung Andin.

"Enggak, enggak ada yang aneh-aneh kok. Gua kan dekat dengan Bokap. Buktinya Bokap Gua enggak datang kan hari ini? Hanya ketua Yayasan doang," ucap Jessy membenarkan diri.

"Jadi sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita enggak akan nemu jawaban kalau kita masih di dalam permainan ini," ungkap Riko yang kembali teringat akan sosok dibalik pembuat permainan ini. Sosok yang sempat ia dengar berbicara dengan wanita bergaun serba hitam.

Andin, Jessy dan Dito justru menatap ke arah Riko. Setidaknya hanya Riko yang menjadi sumber informasi mereka saat ini.

"Ada sesuatu yang hilang enggak sih?" tanya Andin yang kembali menatap seluruh ruangan kelas.

"Beni!" teriak Jessy dengan wajah ceria. "Di mana Beni?"

Riko dan Dito saling tatap, mereka terlihat ikut bingung akan hilangnya Beni.

"Bukannya tadi Beni masih ada dan sempat ikut bertarung dengan kita?" ucap Dito yang dengan segera dijawab dengan anggukan oleh Riko.

"Apa? Beni ikut bertarung? Lu enggak salah lihat? Beni, ketua kelas kita bertarung?" tanya Jessy dengan raut wajah tak percaya.

"Tidak ada yang tidak mungkin saat ini. Karena sekarang ini kita hanyalah pemain yang mungkin punya kekuatan. Pernah enggak sih, Lu lihat orang main game. Gendut, jelek, tua jorok, tapi figurnya di dalam permainan itu justru gagah, tampan, bahkan sebagai anak muda karena memiliki banyak kekuatan super," jelas Dito.

Jessy terdiam. Ia baru benar-benar mengerti sekarang, akan keadaan mereka saat ini.

"Ngomong-ngomong soal permainan. Apa mungkin kita harus nemu kunci dulu baru bisa keluar dari kelas alias keluar dari permainan?" tanya Andin diikuti anggukan penuh percaya diri.

"Nah, itu dia! Solusi, bukan omongan dengan suara nyaring yang memekak telinga," ucap Riko sambil mendeli ke arah Jessy. Sepertinya ia begitu sebal akan sosok Jessy saat ini yang sama sekali enggak ngebantu.

Jessy yang sadar bahwa dirinya tengah disinggung pun hanya bisa melongos kesal dan memilih duduk di kursi tempat biasa ia duduk.

"Sudah, sudah. Bukan waktunya bertengkar. Sekarang kita coba cari aja yang menjadi kunci pintu ruangan ini. Sebelum ujian kembali datang. Kalau kalian berantem terus, entar malah jadi cinta," ucap Dito sembari menepuk lembut pundak kanan Riko.

"Apaan sih Lu. Enggak lucu, Bro!" ucap Riko yang berpaling dan kini memilih melangkah mendekati pintu.

Jessy hanya tersenyum dan senyumannya itu disaksikan oleh Dito dan Andin. Mereka hanya bisa ikut tersenyum, sepertinya mereka menyadari kalau Andin ada rasa suka kepada Riko.

Andin bergerak mendekati lemari dan mulai mencari sesuatu yang mirip seperti kunci. Begitu pula dengan Dito, ia mencari ke dalam laci-laci meja. Sedangkan Jessy hanya duduk dengan santainya bersikap tak mau tahu. Begitu pula dengan Riko yang terus memandangi pintu. Ia berusaha membobol pintu dengan tenaganya. Namun, pintu yang terbuat dari kayu itu berasa keras seperti besi.

"Sama aja kalian berdua. Bukannya cari kunci malah santuy," ledek Dito sambil terus mencari.

"Sama? Ogah?" ucap Jessy.

"Gua enggak santuy ya. Gua lagi usaha bobol ni pintu," sambung Riko enggak mau kalah.

"Ini permainan, Ko. Bukan dunia nyata. Enggak bisa di bobol, tapi di hack!" ledek Dito kembali.

Riko dan Jessy hanya diam melongos. Sedangkan Andin dan Dito sibuk mencari-cari keseluruh ruangan.

Kelas itu masih sama seperti keadaan kelas biasanya. Rapi dan tertata sesuai di dunia nyata. Meskipun ada banyak kejadian mengerikan di dalamnya, namun keadaannya selalu kembali seperti semula. Begitu pula dengan cuaca, keadaan luar terlihat terus terang seperti keadaan di pagi hari.

Tiba-tiba angin berhembus begitu kencang. Membuat Andin dan Jessy merasa kedinginan. Semakin lama, cuaca terasa semakin dingin dan itu membuat wajah-wajah mereka kembali menunjukkan kehawatiran.

下一章