Perempuan itu datang entah dari mana. Akan tetapi, aksinya telah menyelamatkan nyawa Renjana. Dalam sekejap perempuan itu sudah berdiri di depan Renjana dengan pisau berlumuran darah. Dia memakai kemeja putih dan celana panjang elastis warna hitam. Bahan kain celana yang dipakainya memudahkannya bergerak. Beberapa saat yang lalu, gerakannya cepat dan akurat. Tubuh laki-laki yang lebih besar darinya tumbang. Urat nadi di leher laki-laki itu terpotong, mengakibatkan darah muncrat dan mengalir ke batang leher sampai membasahi tanah dan tubuhnya.
Renjana terngaga. Darah laki-laki itu pun menempel lembek di seluruh wajahnya. Tubuhnya gemetaran. Saat perempuan itu mengulurkan tangannya, Renjana merasa perempuan itu sangat keren.
"Kamu baik-baik saja?" tanya perempuan itu.
Renjana mengangguk, tapi kemudian tubuhnya yang menggigil menjebolkan pertahanan dirinya. Dia menangis sekencang-kencangnya dengan tubuhnya yang telanjang dan terkoyak di sana-sini oleh ranting pohon dan perlakuan kasar orang itu. Renjana tak menangis ketika kedua orang tuanya meninggal, tapi detik itu ketika seseorang bertanya apakah dia baik-baik saja, hatinya bergetar hebat sampai berbuah tangisan. Darimana kesalahan itu bermula? kenapa hidupku sangat menyedihkan?
Renjana merunduk memeluk tubuhnya sendiri dengan kepalanya hampir menempel pada tanah. Hidungnya bisa mencium bau tanah bercampur darah dan juga air matanya sendiri. Dia menangis sekencang-kencangnya, seperti melampiaskan dendam.
Saat dia sudah lebih tenang dan mendongakkan kepalanya. Perempuan itu sedang merokok dan sedang menyalakan api unggun beberapa langkah di depannya. Jadi api itu yang membuatku jadi lebih hangat?
Renjana terkejut ketika menyadari kemeja putih perempuan itu memeluk tubuhnya. Dia melihat bercak darah di lengan kanan dan kiri kemeja itu.
"Pakai saja," kata perempuan itu. Suaranya tegas.
Renjana melihatnya memakai kaos turtle neck tak berlengan sebagai atasan. Dia duduk bermandikan cahaya api unggun dan cahaya bulan. Kedua cahaya itu membuat rambut hitam panjang perempuan itu berkilau. Ketika perempuan itu melepaskan ikatan kuncir kudanya, background pegunungan dan langit hitam berkabut membuat perempuan itu terlihat seperti roh penyelamat bagi Renjana dan malaikat maut bagi orang yang telah dibunuhnya. Entah bagaimana, pemandangan itu membuat Renjana menjadi tenang dan merasa aman. Meskipun saat menoleh ke sisi lain, dia melihat laki-laki yang tadi mengerjainya sudah terkapar tak bernyawa.
"Apa yang akan terjadi padanya?" tanya Renjana sambil mengancingkan kemeja yang dipinjamkan perempuan itu padanya.
"Biarkan saja di sini, anjing gunung akan mengoyaknya sampai habis," kata perempuan itu dengan enteng. "Aku Bibi, namamu?"
Renjana menelan ludah, dia haus, sehingga kerongkongannya kering dan dia kesulitan untuk membuat kata-kata. "Ren ... ah," dia batuk sedikit. Lalu melengkapi kata-katanya yang tak selesai, "Renjana."
Bibi mengetahui Renjana haus, jadi dia melemparkan termos bekalnya. Renjana menangkapnya dengan tepat dan tanpa ragu meminum isinya. Kesegaran teh tawar segera memulihkan konsentrasinya. Renjana lalu berdiri dan menghampiri Bibi. Dia menyerahkan kembali termos teh itu pada Bibi lalu mencari-cari celana dalamnya di sekitar tempat kejadian. Bibi mengamatinya sampai selesai memakai celananya. Renjana menemukan bawahannya, karena sudah memiliki kemeja pemberian Bibi, dia tak ambil pusing untuk mencari-cari atasannya. Dia bergegas kembali mendekati api unggun dan duduk di dekatnya. Instingnya memberitahunya untuk menghangatkan diri.
"Kamu tidak takut padaku?" Bibi memancing.
Renjana menggeleng. "Kalau setelah ini Anda akan membunuh saya, saya tak masalah, saya tak punya harapan untuk hidup. Saya tak yakin Anda membunuhnya hanya karena mendengar teriakan saya," katanya.
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Karena rasanya ini mimpi saja. Siapa tahu sebenarnya saat ini saya sedang dikoyak-koyak olehnya dan karena pingsan oleh suatu alasan saya jadi bermimpi ada seseorang yang muncul dan membunuhnya."
"Ini bukan mimpi. Memang benar kalau aku datang dan membunuhnya bukan karena mau menyelamatkanmu," Bibi mengatakan yang sebenarnya, "Aku hanya harus membunuhnya."
"Anda punya dendam padanya?"
Bibi mengangguk.
"Apa dia juga pernah memperkosa Anda? bagaimana Anda menemukannya?"
"Tidak. Dia tidak memperkosaku. Dia berkeliaran, memperkosa banyak gadis, dan aku putuskan untuk menghabisinya," kata Bibi, sorot matanya tajam. Renjana mengagumi sorot mata yang seperti mata pisau itu.
"Lalu bagaimana Anda menemukannya?"
Bibi tersenyum. "Aku seorang pemburu dan pembunuh profesional."
Kata-katanya membuat angin berhenti bergerak di sekitar Renjana. Dia membeku.
"Profesional? Pemburu? Pembunuh?"
Bibi tidak memberi penjelasan lainnya.
"Apa kamu ingat bagaimana kamu bertemu dengannya?" tanya Bibi.
"Samar-samar, aku rasa aku ingat. Setelah menguburkan kedua orang tuaku yang mati bunuh diri dengan menenggak racun, aku berjalan lontang lantung di jalan. Sepertinya.... orang yang baru saja Anda bunuh adalah orang yang menawariku tumpangan, makanan, minuman, dan tempat tidur yang nyaman. Pikiran saya teramat sangat kosong beberapa hari ini, saya tidak menolak saat dia membawa saya kemana pun dia mau. Saya pikir, hidup saya telah berakhir, tidak ada yang ingin saya lakukan lagi, apapun yang dia perbuat pada saya sejak dua hari lalu, saya hanya diam saja, tapi..." sekonyong-konyong air mata meleleh lagi dan Renjana berhenti bercerita selama beberapa saat.
Setelah memiliki cukup energi lagi, Renjana kembali tegak dan mengatakan yang ingin dikatakannya, "Tapi, ketika dia membawa saya ke tepi gunung ini, tiba-tiba saya sadar, saya tidak ingin mati. Saya dengar dia bicara dengan seseorang lewat telepone, mengatakan saya adalah tumbal terakhir dan ilmu kekebalan tubuhnya jadi sempurna, saya tak mengerti apa yang dikatakannya, hati saya tiba-tiba ngeri, kemudian saya berusaha melarikan diri, tapi saya tertangkap. Saat saya sadar, saya sudah di sana." Renjana menunjukkan sebuah batu yang terlihat seperti kepala buaya.
Renjana ingat dia membuka kedua matanya tak bisa fokus saat melihat titik manapun. Matanya seperti mengkhianatinya. Hatinya yang diselimuti ketakutanlah yang menyuruhnya untuk secepatnya bangkit dan mengambil kesempatan untuk lari sebelum orang itu membunuhnya.
Renjana yang tidak dapat melihat dengan jelas sisi manapun terhuyung-huyung saat berjalan. Dia tidak menyadari, orang yang memburunya memergokinya. Orang itu menerjang Renjana dari samping. Dalam pelukan orang itu, Renjana meronta-ronta hingga keduanya terjatuh ke tanah. Ranting pohon dan tanaman berduri mengiris-iris tubuhnya yang berbalut kain sehelaipun. Sekeras apapun dia berusaha, kekuatannya tak cukup untuk melawan orang itu, Renjana semakin lemah, dia seperti kelinci yang dililit oleh ular. Dalam kondisi lemah itu, dia hanya bisa menatap langit dan berpikir biarlah dirinya menjadi tumbal.
Tepat saat dia mengira tak ada kesempatan untuk selamat, Bibi muncul dengan kecepatan dan keakuratannya. Leher laki-laki yang sedang menindihnya ditebas. Darah muncrat ke tubuhnya dan Bibi menyingkirkan tubuh laki-laki itu dari atasnya. Bibi berdiri di depannya dengan gagah.
"Kalau Anda seorang pembunuh, artinya ada orang yang menyewa jasa Anda?"
"Ya."
"Orang itu pasti dendam padanya ya?" Renjana tersenyum miris.
"Para perempuan yang menjadi tumbalnya tak pernah kembali," kata Bibi.
Hal itu membuat Renjana kembali terngaga. Sadar apa arti kata-kata Bibi, Renjana menunduk. "Hanya aku yang selamat?" pertanyaannya diungkapkan seperti bukan pertanyaan. "Apa itu artinya mereka sungguh-sungguh jadi tumbal? jaman sekarang masih ada hal-hal seperti itu?"
"Kau bebas untuk percaya atau tidak. Ada banyak hal di dunia ini yang kebenarannya tak bisa diungkapkan, tapi ada dan hanya bisa diyakini saja. Orang itu meyakini kebenaran bisa memiliki ilmu kekebalan tubuh setelah menyetubuhi 40 wanita dan menumbalkannya di sana." Bibi menunjuk batu yang tadi ditunjuk oleh Renjana. "Aku tidak perlu mencarinya, aku hanya perlu menunggunya di sekitar tempat itu, dari sejak korban terakhir dilaporkan."
"Apa?"
"Korbannya selama ini orang-orang sepertimu, tunawisma, orang yang tak punya orang tua atau tak punya teman dan kerabat yang memperhatikannya, sehingga kepergian mereka selama beberapa hari tidak akan dianggap sebagai orang hilang. Pelaku melakukan kesalahan. Korban terakhir, sebelum kamu, memiliki seseorang yang mencemaskannya, sehingga kepergiannya dilaporkan. Dari laporan ganjil itu, seseorang memanggilku untuk menyelidiki. Singkat cerita, aku berhasil menemukan orang terakhir yang ditemui korban yang mana dia adalah korban ke 39," Bibi menghela nafas sebentar.
"Dari mana Anda tahu dia korban ke 39?" Renjana menyela.
"Dari kesaksianmu tadi, kau bilang tersangka menelpon seseorang dan mengatakan kamu adalah korban terakhir untuk melengkapi tumbal ilmu kekebalan tubuh," Bibi menjawab dengan ekspresi yang tak berubah.
Renjana menutup mulutnya. "Lalu, bagaimana Anda menemukan tempat ini?"
"Dari berhasil menemukan identitas pelaku, aku menemukan kebiasaan pelaku dan lokasi ritualnya. Karena sulit untuk menghabisinya di luar, aku mengincarnya di sini, tidak ada orang, tidak ada saksi mata, aku bisa beraksi."
Saat Bibi mengatakan saksi mata, Renjana gemetar. "Bukankah saya saksi mata?"
Tersungging senyum di bibir Bibi.
"Kamu mau melapor?"
Renjana menggeleng.
"Nah sekarang apa yang akan kamu lakukan? bunuh diri?" Bibi membuat jantung Renjana berdegup kencang. "Kalau kamu mau ikut denganku, mimpi burukmu selama ini akan terasa biasa karena kamu akan hidup dengan tangan berlumuran darah, bagaimana?"
Anehnya, Renjana merasa tawaran dari Bibi adalah angin segar. Dia mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman dan Bibi mulai menjadi mentornya.
Dalam perjalanan kembali ke kota, Bibi merekomendasikan sesuatu padanya, "Kamu butuh nama samaran, bagaimana kalau JoyDaG?"
"Apa itu artinya?"
"Joy dari bahasa Inggris artinya bahagia. Da dari bahasa Inggris Day yang artinya hari, dan G dari Gunung Gong, tempatku menemukanmu dan tempatmu terlahir kembali. Jika dikombinasikan nama itu memiliki arti hari kelahiran yang penuh kebahagiaan di Gunung Gong."
Kening Renjana mengeryit. Dia ingin menyanggah karena arti dari kata-kata itu bertolak belakang dengan faktanya, tapi tak tahu apa yang harus diungkapkan. Karena tak bisa menyanggah, akhirnya dia dipanggil JoyDaG.