Ketika Melianor menyuruh Elia menikmati kue buatannya seorang diri di taman sambil memberi kode ingin bicara empat mata, Max jadi bergairah. Max mengikuti Melianor masuk ke dapur yang penuh dengan aroma rempah-rempah. Melianor menutup pintu ketika Max sudah masuk ke dalam. Setelah itu, Max menerima pelukan Melianor yang dilakukannya tanpa basa basi. Dia merasa senang ketika Melianor melingkarkan lengan ke lehernya. Max memeluk pinggang Melianor dan menariknya kuat-kuat sampai menempel ke tubuhnya, dalam posisi seperti itu, dia bisa merasakan degup jantung Melianor. Sementara itu, bibirnya bersentuhan dengan bibir lembut Melianor. Max menikmati ciuman basah dengan Melianor dalam waktu yang cukup lama.
Setelah itu, sambil masih berpelukan, Max menceritakan kejadian di rumahnya secara singkat tapi jelas dan lekas dimengerti oleh Melianor.
"Karena itu aku membawanya ke sini dan aku rasa ruang penyimpananmu lebih aman," kata Max. "Lagipula hanya kamu yang bisa kuandalkan untuk menjelaskan sedikit demi sedikit padanya tentang dunia bawah, kartu ini mungkin akan menuntunmu, Melianor.... aku butuh bantuanmu."
Max mengucapkan semua itu sambil dengan lembut merenggangkan lengan Melianor di lehernya dan mereka kini sama-sama melihat silinder kayu berisi kartu tarot yang dipegang oleh Melianor.
"Kamu punya dugaan siapa yang mengincarnya?"
"Awalnya tidak," jawab Max, "Tapi aku menemukan ini." Dia lalu mengambil kantong plastik barang bukti dari saku celana jeansnya. Dia memperlihatkan isinya.
"Bulu kucing?"
Max mengangguk. "Kucing yang cukup besar," ada nada gurauan tragis dari kata-katanya. "Aku rasa dia mengecilkan ukuran tubuhnya. Aku ingat saat membukakan pintu untuk Elia, ada seekor kucing hitam melintas. Saat itu aku tidak menyadarinya sebagai jelmaan. Sampai aku menemukan bulu ini saat mencari-cari tas Elia. Dia melemparkannya sembarangan," Max meghela nafas. "Benar-benar gadis kacau."
Melianor fokus pada bulu kucing itu. "Apa dia tahu?"
"Tidak, tentu saja aku merahasiakannya. Dia belum tahu apa-apa tentang Dunia Bawah. Kalau kuberi tahu dia hanya akan tertawa dan menganggapku gila atau dia akan panik dan menjadi semakin tak waras. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk menghandlenya. Untungnya saat itu, siapapun yang mengendalikan kucing besar ini, prioritasnya saat itu hanya ingin mengambil tas Elia."
"Dengan kata lain, siapapun tersangkanya belum memperhitungkan peran Elia bisa lebih penting dari hape ibunya? tapi, kenapa harus di rumahmu. Bukankah lebih mudah menyergapnya kapan saja, di jalan, misalnya?"
"Entahlah. Mungkin sudah dicoba tapi sesuatu membuat mereka gagal."
"Misalnya?"
"Dugaanku, saat itu sistem pertahanan alam bawah sadar Elia bekerja mengaktifkan pendampingnya, sehingga mereka tidak bisa menyentuhnya. Di rumahku, Elia melepaskan tas itu. Rumahku juga tidak dilapisi oleh penjagaan magi yang ketat karena aku menyembunyikan sisi silumanku." Max merasa menyesal, namun itu tidak dikatakannya pada Melianor.
"Kau jadi terlihat menyalahkan diri sendiri," Melianor bisa menebak.
Max terkesiap, "Yah, kurasa begitu, seandainya waktu itu aku lebih peka, mungkin tidak akan melibatkanmu."
Melianor menggeleng. "Kamu salah. Kalaupun kamu berhasil menghadapinya saat itu, hal itu hanya akan mempersingkat waktu pencarian kita. Lagipula beberapa hari ini Gelombang memperlihatkan gerakan tak wajar. Seandainya kamu berniat tak melibatkanku, jelas itu mustahil."
Kedua mata Max memicing. Terlintas sesuatu di benaknya dan kata-kata Melianor membuka pikiran Max.
"Kamu benar. Kesempatan kita saat ini hanyalah menyembunyikan Elia sampai tahu betul siapa yang kita hadapi. Dugaanku, ini berkaitan dengan rumor yang ku dengar. Aku sudah mencoba membuktikan keberadaannya selama lima tahun ini."
"Rumor? apa itu?"
"Seorang manusia atau sekelompok manusia telah melewati batas tiga dunia. Ada suatu penelitian yang berdasarkan rumor yang beredar mereka melakukan kloning, percobaan mencampurkan gen manusia dan binatang. Mereka tidak akan berhasil, kecuali mereka punya cara untuk memanfaatkan kekuatan magi," Max menghalau kegelisahannya dengan menggerakkan pergelangan tangannya di depan wajah. Dia tak ingin melanjutkan pembicaraan tentang rumor itu.
"Kalau soal Elia, siapapun mereka mungkin menginginkan informasi yang tersimpan di hape Bibi atau dia ingin memusnahkan barang bukti, entah berhubungan atau tidak dengan rumor itu, ini tetap perlu diwaspadai." Max mencoba yang terbaik untuk menerangkan dugaan-dugaannya. "Sampai detik ini tidak ada gerakan dari para petinggi, kau tahu maksudku bukan? perang terbuka, artinya kematian Bibi mungkin berhubungan dengan operasi senyap untuk menjaga keseimbangan. Apa kamu tahu apa misi terakhir Bibi? Kita akan tahu ada apa sebenarnya mulai dari mengetahui misi terakhir Bibi sebelum tewas."
Melianor bersandar lebih dulu pada tepian meja di samping Max. Lengan mereka bersentuhan. "Misi pembunuhan, tapi aku tidak tahu rinciannya. Haruskah kutanyakan pada kakek?" Dia menoleh dan menatap Max yang menatapnya.
"Mungkin sebaiknya tidak. Ada orang lain yang mungkin tahu?"
Melianor berpikir sejenak. "JoyDaG, anak itu mungkin tahu." Wajah Melianor jadi cerah, seperti seorang anak yang berhasil menyelesaikan soal matematika. "Akan kuhubungi dia."
Melianor lalu mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak di rak bumbu tak jauh darinya. Dia memencet nomor JoyDaG lalu menunggu respon.
"Tidak diangkat. Aku akan coba lagi nanti. Sekarang apa yang perlu kita lakukan?" Dia cepat-cepat mengubah tindakan.
"Kalau begitu, 'bacalah' dia," Max merujuk pada Elia. "Aku curiga ada sesuatu yang sengaja ditutup dari instingnya, tapi ada sesuatu juga yang bergerak otomatis melindunginya. Kita harus tahu apa itu dan siapa yang sengaja menutupinya. Semua yang terjadi padanya dalam semalam sangat ganjil, bahkan ada org yang dibunuh oleh Draft. Aku tidak bisa mengabaikan fakta-fakta itu bermunculan secara acak. Pasti ada pemicunya."
Melianor mengangguk mengerti sambil mempertimbangkan situasi remang-remang itu. "Dan kau sendiri apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan menyimpan barang-barang itu di ruang penyimpananmu dan setelah itu aku akan menemui seseorang."
Situasi remang-remang itu seperti membuatnya memasuki lorong dengan bayang-bayang hitam yang siap menjerat mereka kapan saja.
"Aku belum bisa mengatakannya secara mendetail apa yang perlu kita lakukan." Max berjaga-jaga seandainya Melianor dianggap remeh sebagai pasangannya.
"Aku mengerti. Kita kumpulkan informasi lebih dulu. Puzzlenya seperti berserakan di seluruh dunia. Firasatku jadi buruk soal ini. Akan ku 'baca' dia. Aku pun juga ingin tahu apa yang melindungi dan mengincarnya dan yang pasti itu telah mencelakai Bibi. Sekilas saat aku melihatnya tadi, ada sesuatu di matanya."
"Apa Theria bisa dilibatkan untuk membantu?" Max bertanya dengan hati-hati.
"Kita justru akan membutuhkannya. Terutama untuk membuat Elia terbiasa dengan Magi. Kita tidak bisa mengambil resiko Elia berkeliaran tanpa tahu apapun. Akan sulit bagi kita untuk mengantisipasi kejadian nantinya kalau Elia tidak di pihak kita."
"Kalau begitu, aku percayakan dia padamu sementara aku pergi dulu," Max mendekati Melianor. Dia membelai rambut Melianor dengan lembut kemudian mengecup bibirnya lagi.
"Kita sudah lama tidak bertemu, tapi sayang sekali pertemuan pertama kita setelah sekian lama seperti ini," bisik Max pada Melianor yang wajahnya merona.
"Aku sangat ingin melakukannya," aku Melianor.
"Masih bisa bersabar? ada hal penting yang harus dilakukan lebih dulu," kata Max menyadarkan Melianor ke realita.
Tugas sebagai penjaga membuat Melianor menyerah. Dia mengendurkan pelukannya pada Max. "Yah, apa boleh buat. Kau harus cepat kembali," katanya dengan wajah menggoda.
Max terkekeh. Mereka lalu melakukan perpisahan sementara itu dengan satu kecupan lagi. Setelah berhasil menahan diri, Max keluar dari ruang kerja beraroma rempah-rempah itu dari pintu belakang. Dia sengaja tidak berpamitan pada Elia. Baginya itu akan memperumit urusannya.
Terima kasih sudah membaca sampai bab 34.
Semoga kamu menikmati naskah ini, tidak hanya sebagai hiburan, tapi ada sesuatu yang kau rasakan dalam hatimu.
Salam hangat,