Raka Kamandaka langsung mengangguk setuju. Setelah itu, kedua pendekar muda tersebut segera pergi dari sana. Mereka akan menuju ke tempat terjadinya pertempuran hebat tadi.
Wushh!!! Wushh!!!
Dua bayangan manusia melesat secepat kilat. Karena ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tahap sempurna, maka hanya sesaat saja, kedua orang muda itu telah tiba di tempat kejadian sebelumnya.
Namun begitu mereka tiba, Arya dan Raka dibuat terkejut. Kejadian yang saat ini terpampang di depan matanya benar-benar diluar dugaan.
Bagaimana tidak? Puluhan mayat orang-orang berbaju hitam, sekarang semuan telah lenyap. Malah termasuk mayat si Pedang Biru dan si Manusia Elang juga hilang entah ke mana.
Apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa mayat-mayat mereka bisa hilang begitu saja? Apakah puluhan mayat tersebut dapat berjalan sendiri, ataukah bagaimana?
Dibilang diangkut atau dibawa oleh rekannya yang lain dengan memakai kuda, rasanya hal itu tidak masuk akal. Sebab di sekitar tempat kejadian tidak terlihat adanya bekas kaki kuda.
Kalaupun benar demikian, dengan mengandalkan sepasang telinganya yang sangat tajam, rasanya tidak mungkin suara derap langkah ataupun ringkik kuda tidak terdengar oleh mereka berdua.
Kalau begitu, lantas apa yang sebenarnya sudah terjadi?
Raka kamandaka memandang Arya Saloka. Kedua pendekar muda tersebut kemudian saling pandang, mereka dibuat bingung dan keheranan tentang peristiwa saat ini.
"Sepertinya mereka sudah menduga bahwa kita akan melakukan hal ini," ujar Raka Kamandaka sambil tersenyum getir.
"Kemungkinan besar begitu. Aih, sungguh hebat sekali mereka. Tak kusangka, sampai kejadian kecil seperti ini pun sudah mereka perhitungkan," keluh Arya.
Jika ada seseorang yang dapat menebak langkah hal apa yang akan dilakukan, maka siapa pun sudah tentu kalau orang itu pasti bukan sembarangan manusia.
Jika bukan manusia yang terlampau cerdas, pastilah dia merupakan manusia yang benar-benar sangat ahli dalam hal ini.
Raka Kamandaka tidak menjawab ucapan Arya Saloka. Pemuda itu tiba-tiba berjalan ke sekeliling tempat yang baginya patut dicurigai. Langkahnya teramat pelan. Sepasang matanya selalu menunduk ke bawah, dia memperhatikan bagian-bagian yang terdapat sebuah kemungkinan.
Begitu dirinya tiba di bawah pohon asem, Raka lantas berjongkok. Raka menyaksikan bahwa tanah sekarang seperti berbeda dengan tanah yang dia lihat sebelumnya. Jika tanah tadi tidak berdebu, sekarang tanah itu justru diselimuti oleh debu yang cukup tebal.
Tiba-tiba sekulum senyuman tersungging di bibirnya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Arya penasaran karena melihat gerak-gerik sahabatnya tersebut.
"Aku sudah mendapatkan jawaban atas keanehan ini,"
"Apa yang kau dapat?"
"Coba lihat tanah berdebu ini, jika diperhatikan dengan seksama, bukankah tampak seperti berbeda dengan tanah sebelumnya? Tadi pada saat kita melakukan pertarungan, bukankah tanah di sini tidak mempunyai debu setebal ini?"
Arya segera memandangi tanah yang dimaksud oleh Raka. Dia mulai mengamati dengan pasti. Ternyata benar, tanah yang dia lihat sekarang jauh berbeda.
Pemuda itu kemudian berpaling ke arah Raka. Arya tidak mengucapkan perkataan apapun. Hanya saja sepasang matanya menggambarkan bahwa dia masih belum mengerti.
"Menurut pendapatku, puluhan mayat tadi telah dibawa oleh kelompok lainnya. Mereka yang datang pastinya adalah orang-orang berilmu tinggi. Setidaknya setara dengan pendekar kelas satu. Yang datang kali ini cukup banyak, yang pertama bertugas untuk membawa semua mayat, dan yang kedua bertugas untuk menaburi tanah di sini dengan debu agar tapak kaki mereka tidak nampak,"
Selagi bicara, tangan kanan Raka tidak tinggal diam. Tangan itu membersihkan debu tersebut secara perlahan. Begitu debunya menghilang, Arya langsung terkejut.
Ternyata benar pendapatny Raka barusan. Semua mayat dibawa oleh kelompok orang yang ahli dalam hal ilmu meringankan tubuh. Para mayat dibawa oleh manusia, bukan oleh kuda seperti dugaan sebelumnya.
"Coba kau lihat ke dalam hutan yang menurutmu menjadi jalan mereka. Apakah di sana juga terdapat banyak sekali tapak kaki manusia?"
Pendekar Tangan Sakti mengangguk. Dia langsung memeriksa ke kedalaman hutan. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya dia dikejutkan kembali oleh penemuannya.
Ternyata benar. Di sana terdapat banyak sekali jejak kaki manusia yang tidak beraturan.
"Apakah dugaanku benar?" tanya Raka begitu Arya sudah tiba di hadapannya kembali.
"Tidak salah. Apa yang baru saja kau ucapkan memang tepat sekali,"
"Hebat, hebat. Aku kagum mempunyai musuh seperti orang-orang ini. Ternyata mereka benar-benar musuh istimewa. Jika benar aku dapat membongkar rahasianya, maka sedikit banyak aku akan merasa sangat puas dan bangga sekali,"
"Benar, aku juga berpikir sama sepertimu,"
Meskipun tidak ada imbalan berarti jika berhasil mengungkap persoalan sekarang, namun kalau sampai dirinya bisa merasa puas, maka hal itu saja rasanya sudah lebih daripada cukup.
Bagi sebagian orang, sebuah kepuasan itu melebihi segalanya.
"Kita harus kejar mereka sekarang," ucap Arya.
Tanpa menunggu jawaban Raka, Pendekar Tangan Sakti sudah melesat ke depan lebih dulu. Tubuhnya meluncur deras ke depan bagaikan sebatang anak panah yang dilepaskan dengan sekuat tenaga.
Melihat rekannya sudah mengambil tindakan, maka Raka tidak bisa berdiam saja. Pendekar Pedang Pencabut Nyawa juga turut melesat menyusul sahabatnya sendiri, Arya Saloka.
###
Malam telah tiba. Malam ini langit mendung. Sang Dewi Malam tertutup oleh awan tebal yang kelabu. Alam mayapada diliputi oleh kegelapan yang mencekam. Hawa dingin seperti es. Angin malam terasa menyayat kulit.
Raka Kamandaka dan Arya Saloka sedang berjalan di tengah kerumunan orang-orang yang berlalu lalang. Kedua pendekar muda itu tidak berhasil mendapatkan jejak musuhnya.
Oleh sebab itulah hingga saat ini, keduanya belum berhasil mengetahui siapakah musuhnya.
"Sebenarnya terkait pembunuhan keluargaku, aku mendapatan satu tersangka yang masih orang dekat. Namun meskipun benar dia terkait dalam peristiwa berdarah tersebut, aku sendiri tidak yakin kalau dia adalah dalang utamanya," ucap Raka Kamandaka sambil terus berjalan ke depan.
"Benarkah? Kalau boleh tahu, siapakah nama orang dekat yang kau maksud itu?" tanya Arya mulai tertarik.
"Ragadenta. Dia bukan lain adalah Adik dari Ayahku sendiri," katanya dengan perlahan dan penuh penekanan.
Pada saat berucap demikian, rasanya seluruh tubuh Raka sedikit bergetar karenanya. Entah kenapa, ketika menyebutkan nama itu, darah dalam dirinya terasa bergolak hebat.
Entah apakah perasaan itu disebabkan karena dendam yang membara, ataukah karena apa?
"Ragadenta? Hemm … sepertinya aku pernah mendengar nama ini," kata Arya Saloka.
Pemuda itu langsung diam tak bicara lagi. Sepertinya dia sedang mengingat-ingat apakah benar dirinya pernah mendengar, ataukah belum.
"Ah, iya. Apakah yang kau maksudkan adalah Ragadenta si Pedang Penggetar Jiwa?" tanyanya sedikit berteriak.
"Benar. Bagaimana kau bisa tahu bahwa dialah pemilik julukan Pedang Penggetar Jiwa?" tanya Raka terkejut. Sambil bicara, wajahnya sambil berpaling ke arah Arya Saloka.
"Tentu saja tahu. Karena beberapa waktu lalu aku pun pernah mendengar nama itu disebut. Konon katanya, tepat pada saat bulan purnama nanti, dia akan melakukan duel maut dengan seorang tokoh yang setara dengannya,"